Seperti Apa Konsultasi Ke Psikolog dan Psikiater? Ini Cerita Mereka yang Pernah Melakukannya
loading...
A
A
A
“Ada satu proses konsultasi yang menarik bagi aku, yaitu aku disuruh gambar dengan pensil warna tentang apa yang terlintas di otak aku pertama kali ketika mendengarkan sebuah lagu yang diputarkan oleh psikolog," cerita AA.
Butuh waktu lama untuk AA merasa menjadi lebih baik. Ini karena ia mengaku memiliki sifat keras kepala yang bisa memicu penyakitnya itu.
Foto: iStockphoto
AA mengatakan, ketika gangguan mentalnya menyerang secara tiba-tiba, maka dia akan mendengarkan murottal (rekaman orang mengaji) atau mendengarkan musik favoritnya. “Aku juga suka ngaca di depan cermin sambil ngomong sama diri sendiri bahwa enggak apa-apa merasa enggak baik-baik aja," katanya.
Ia juga sering mengepalkan tangannya untuk menyalurkan emosi. "Kalau masalahnya enggak terselesaikan juga, biasanya aku langsung menghubungi psikolog aku," imbuhnya.
Tak Perlu Takut Stigma
Sementara Dian, 23,mahasiswi Universitas Padjajaran yang mengalami anxiety disorder (gejala kecemasan yang membawa kepanikan dan gangguan pascastres dari peristiwa masa lalu) pernah melakukan konsultasi daring.
Pada awal proses konsultasi, Dian diminta menceritakan semua unek-unek atau permasalahan yang terjadi dan bagaimana perasaan yang dialami pada saat itu. Dari situ Dian disarakan beberapa hal untuk mengatasi masalahnya.
“Aku benar-benar dikasih tau bahwa menjalani hidup harus dengan rileks dan aku ditantang untuk mencoba menyisihkan waktu ku dari kehidupan sehari-hari untuk olahraga, menenangkan pikiran dan pernapasan jika serangan panik muncul tiba-tiba,” kata Dian yang saat ini masih rutin melakukan konsultasi dengan psikolognya.
Foto: Bigstock
Perihal stigma yang menimpa penderita gangguan mental, Devany mengatakan kekecewaannya. "Perlu digarisbawahi bahwa penyakit mental tidak seperti penyakit fisik, karena jika orang sudah mengalami gangguan mental, maka fisikinya pun akan ikut sakit," katanya.
Baca Juga: 3 Perbedaan Besar Business Proposal dengan Webtoon-nya yang Membuat Penonton Kecewa
Sementara AA mengatakan ia berusaha untuk mengabaikan anggapan buruk tentang penderita masalah kesehatan mental.
“Kita cuma punya dua tangan dan enggak mungkin dua tangan kita ini cukup untuk menutup mulut mereka yang berasumsi bahwa berkunjung ke psikolog merupakan hal yang gila. Yang kita lakukan sekarang hanyalah menutup kedua telinga kita dengan tangan kita sendiri untuk menjadi diri kita yang lebih baik lagi, karena hidupku adalah hidupku, dan hidupmu adalah hidup kamu," kata AA.
Amatu Syukur Naimah
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif
Instagram: @amatusyukur_
Butuh waktu lama untuk AA merasa menjadi lebih baik. Ini karena ia mengaku memiliki sifat keras kepala yang bisa memicu penyakitnya itu.
Foto: iStockphoto
AA mengatakan, ketika gangguan mentalnya menyerang secara tiba-tiba, maka dia akan mendengarkan murottal (rekaman orang mengaji) atau mendengarkan musik favoritnya. “Aku juga suka ngaca di depan cermin sambil ngomong sama diri sendiri bahwa enggak apa-apa merasa enggak baik-baik aja," katanya.
Ia juga sering mengepalkan tangannya untuk menyalurkan emosi. "Kalau masalahnya enggak terselesaikan juga, biasanya aku langsung menghubungi psikolog aku," imbuhnya.
Tak Perlu Takut Stigma
Sementara Dian, 23,mahasiswi Universitas Padjajaran yang mengalami anxiety disorder (gejala kecemasan yang membawa kepanikan dan gangguan pascastres dari peristiwa masa lalu) pernah melakukan konsultasi daring.
Pada awal proses konsultasi, Dian diminta menceritakan semua unek-unek atau permasalahan yang terjadi dan bagaimana perasaan yang dialami pada saat itu. Dari situ Dian disarakan beberapa hal untuk mengatasi masalahnya.
“Aku benar-benar dikasih tau bahwa menjalani hidup harus dengan rileks dan aku ditantang untuk mencoba menyisihkan waktu ku dari kehidupan sehari-hari untuk olahraga, menenangkan pikiran dan pernapasan jika serangan panik muncul tiba-tiba,” kata Dian yang saat ini masih rutin melakukan konsultasi dengan psikolognya.
Foto: Bigstock
Perihal stigma yang menimpa penderita gangguan mental, Devany mengatakan kekecewaannya. "Perlu digarisbawahi bahwa penyakit mental tidak seperti penyakit fisik, karena jika orang sudah mengalami gangguan mental, maka fisikinya pun akan ikut sakit," katanya.
Baca Juga: 3 Perbedaan Besar Business Proposal dengan Webtoon-nya yang Membuat Penonton Kecewa
Sementara AA mengatakan ia berusaha untuk mengabaikan anggapan buruk tentang penderita masalah kesehatan mental.
“Kita cuma punya dua tangan dan enggak mungkin dua tangan kita ini cukup untuk menutup mulut mereka yang berasumsi bahwa berkunjung ke psikolog merupakan hal yang gila. Yang kita lakukan sekarang hanyalah menutup kedua telinga kita dengan tangan kita sendiri untuk menjadi diri kita yang lebih baik lagi, karena hidupku adalah hidupku, dan hidupmu adalah hidup kamu," kata AA.
Amatu Syukur Naimah
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif
Instagram: @amatusyukur_
(ita)