Setelah FOMO, Kini Ada FOGO dan FONO, Apakah Itu?

Selasa, 24 Agustus 2021 - 19:45 WIB
loading...
Setelah FOMO, Kini Ada FOGO dan FONO, Apakah Itu?
Istilah FOGO dan FONO muncul untuk menjawab fenomena kecemasan yang muncul saat pandemi. Foto/Fernando Gonzalez, Pexels
A A A
JAKARTA - Setelah istilah Fear of Missing Out (FOMO), kini ada lagi istilah FOGO dan FONO yang bisa juga terkait dengan pandemi COVID-19 .

Ketiganya mengacu pada jenis kecemasan baru yang dialami masyarakat. FOMO mengacu pada cemas akan ketinggalan hal-hal baru di media sosial, sementara FOGO dan FONO adalah rasa takut untuk keluar rumah dan takut menjalani kehidupan normal.

Meski secara klinis istilah dan jenis kecemasan ini masih perlu penelitian lebih lanjut, tapi banyak psikolog menganggap penamaan ini sebagai cara untuk membantu memahami keadaan emosi manusia yang rumit.

FEAR OR GOING OUT (FOGO)

Kalau kamu merasa gugup untuk pergi keluar dan berada di lingkungan yang ramai, bisa jadi kamu memiliki FOGO. Kalau FOGO terasa sangat ekstrem, kemungkinan kamu 'hanya' mengidap Cave Syndrome, yaitu kamu sebenarnya tidak takut untuk keluar rumah, tapi hanya tidak ingin kembali pada rutinitas harian.

“FOGO adalah persepsi bahwa ada sesuatu yang menakutkan di luar sana, bahkan setelah diberitahu bahwa bahaya tidak lagi ada,” kata Sarah Gundle, psikolog yang berbasis di Manhattan, New York City, mengutip dari Mic .

Setelah FOMO, Kini Ada FOGO dan FONO, Apakah Itu?

Foto:Cameron Casey/Pexels

Dengan kata lain, FOGO adalah ketika kamu takut keluar meskipun kondisi aman. Sebagian besar dari kita pernah merasakan beberapa tingkatan ketakutan untuk berada di di tengah keramaian selama pandemi.

Memang sangat mudah untuk cemas saat kita berpikir bahwa kita bisa mati hanya karena menghirup udara yang sama dengan orang yang terinfeksi COVID-19. Para psikolog menjelaskan bahwa perasaan ketakutan saat berada dalam situasi berisiko memang wajar. Namun FOGO punya perasaan yang lebih kuat terhadap kecemasan, dan sedikit lebih mengganggu.

“Ketakutan untuk keluar berhubungan langsung dengan kecemasan pandemi yang dipupuk pada setiap orang,” tutur Sarah. "Kita telah lama hidup dalam keadaan normal sehingga kebanyakan dari kita tidak dapat begitu saja melepaskan kecemasan, meskipun sebenarnya risiko yang dihadapi tidak benar-benar terjadi."

Baca Juga: Suka Iri di Medsos? Ini 4 Cara Mengelolanya Agar Kamu Jadi Lebih Baik

FOGO tidak termasuk dalam masalah psikologis dan tidak ada dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Kalau kamu mengalami masalah tersebut, tidak ada panduan khusus untuk menyembuhkannya. Selain itu, tidak ada yang tahu pasti dari mana akronim itu berasal.

Fakta menunjukan bahwa FOGO pada dasarnya merupakan diagnosis crowdsourced alias hasil perbincangan masyarakat. Orang-orang di seluruh dunia mulai menggunakannya di internet untuk menggambarkan pengalaman yang banyak dialami pada masa pandemi.

"Penggunaan istilah ini di mana-mana membuat kita jadi tidak merasa sendirian dalam kecemasan tersebut," ujarnya.

Setelah FOMO, Kini Ada FOGO dan FONO, Apakah Itu?

Foto:Hert Niks/Pexels

Sementara menurutpsikoterapisNikki Lacherza-Drew,FOGO adalah sesuatu yang dialami oleh individu dengan kecemasan sosial dan agorafobia (cemas berlebihan pada tempat atau situasi yang membuat penderitanya merasa panik) sebelum pandemi.

Ketika keadaan membaik dan negara-negara di dunia mulai kehidupan yang normal, banyak sekali orang-orang yang mengalami gelaja kecemasan serupa bermunculan.

Baca Juga: Bukan Introvert, Inilah Tanda-Tanda Gangguan Kepribadian Skizoid

Sebelum masa pandemi, kalau seseorang merasa takut untuk pergi ke luar, itu adalahhal yang wajar dan tidak perlu diobati. Namun beberapa orang beranggapan bahwa pandemi mengubah beberapa hal tentang kecemasan.

Menyebut kecemasan seseorang yang meninggalkan rumah dengan istilah FOGO adalah lebih baik daripada memakai istilah agorafobia. Ini karena agorafobia sudah jelas diagnosisnya. Sementara kalau kita menyebut FOGO, berarti hanya untuk mengekspresikan kecemasan yang sama seperti kebanyakan orang.


FEAR OF NORMAL (FONO)

Bagaimana dengan FONO? Bagaimana seseorang takut untuk tiba-tiba menjalani kehidupan normal lagi? “Kita telah hidup di dunia yang sangat berbeda selama 18 bulan terakhir,” kata Nikki. “Beberapa orang terbiasa dengan pekerjaan dan pembelajaran virtual dan tidak ingin kembali ke keadaan sebelum COVID.”

Khususnya dalam hal pekerjaan, terlihat jelas dari tingkat pengunduran diri yang tinggi bahwa banyak orang tidak ingin kembali ke kantor. “Kembali ke normal tidak semudah kedengarannya ketika kita dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan perubahan dan masuk ke rutinitas baru,” imbuhnya.

Beberapa orang menjadi terbiasa melakukan sesuatu secara virtual selama pandemi dan mereka tidak ingin kembali ke kehidupan normal. Semua hal yang terkait FONO dapat digunakan untuk menggambarkan tentang semua situasi yang dialami seseorang saat ini. Perasaan untuk tidak ingin kembali ke kehidupan normal sebelum pandemi juga dirasakan oleh banyak orang.

Setelah FOMO, Kini Ada FOGO dan FONO, Apakah Itu?

Foto:Guilherme Rossi/Pexels

Sebagian besar psikolog mengatakan bahwa meskipun akronim seperti FOGO dan FONO bukan diagnosis yang sesungguhnya, tapi bisa membantu seseorang untuk mengungkapkan perasaan yang sedang dialaminya. "Hal terbaik yang dapat dilakukan saat berjuang dengan masalah ini adalah mengakui bahwa kamu tidak sendirian dan bisa berbicara dengan orang lain tentang hal yang sedang dirasakan," kata Sarah.



Namun Sarah juga mengingatkan bahwa penting juga untuk mengenali tanda-tanda bahaya ketika kecemasan menjadi parah dan berbahaya.

"Kalau kamu merasakan gejala fisik — seperti nyeri dada atau jantung berdebar — atau kalau merasa benar-benar tidak dapat meninggalkan rumah atau melakukan hal-hal normal, segera cari perawatan medis," ucapnya.

Aldy Rahman
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @aldy_rahmn
(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2962 seconds (0.1#10.140)