Ini yang Terjadi pada Otak Manusia saat Senang Dapat Follower Baru di Media Sosial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sudah berapa banyak jumlah pengikut (follower) di akun media sosial milikmu saat ini? 500, 1.000, 2.000, atau bahkan lebih dari 10 ribu?
Dalam waktu tertentu, apakah kamu pernah merasakan dorongan untuk terus menambah jumlah follower kamu? Kalau iya, kemungkinan kamu sedang dalam tahap kecanduan.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Hootsuite (We are Social), total jumlah pengguna aktif media sosial di dunia berjumlah 3,800 miliar dari total populasi secara keseluruhan, yaitu 7,750 miliar. Di Indonesia, total jumlah pengguna media sosial aktif mencapai 160 juta dari 272,1 juta populasi.
Adapun rata-rata waktu penggunaan media sosial di Indonesia adalah 3 jam. 26 menit (3,26 jam). Dengan YouTube sebagai platform media sosial terbanyak yang digunakan oleh para pengguna (88% dari jumlah populasi), disusul WhatsApp (84% dari jumlah populasi), Facebook (82% dari jumlah populasi), dan Instagram (79% dari jumlah populasi).
Foto: Pixabay
Dari data di atas, banyak sekali alasan yang menjadi dorongan masing-masing indivdu dalam mengambil keputusan untuk mulai bermain media sosial. Beberapa alasan paling umum antara lain sebagai alat komunikasi, tempat untuk berbisnis, hingga memperoleh popularitas .
Nah, alasan terakhir yang telah disebutkan sebelumnya berkaitan erat dengan dampak yang dialami otak selepas mendapatkan pengikut di media sosial.
Mengutip Bustle, seorang psikolog saraf yang berbasis di New York, Amerika Serikat, Dr. Sanam Hafeez Ph.D., mengatakan bahwa mendapatkan pengikut di media sosial (Instagram) bisa menjadi dampak dopamin bagi otak seseorang.
Baca Juga: 15 Kata Gaul yang Lagi Viral di Media Sosial
Sebagai neurotransmiter, efek dari dopamin bisa membuat seseorang menjadi bahagia dan bahkan mabuk apabila jumlahnya berlebihan. Ia menambahkan, hal ini dapat dipicu secara khusus oleh perilaku komparatif, yaitu saat seseorang membandingkan jumlah pengikutnya dengan orang lain.
Foto: Pixabay
“Ini adalah bahan kimia yang terkait dengan kesenangan. Jumlah pengikut yang tidak dapat diprediksi menambah aspek sensasi yang membuatnya tetap menarik,” katanya.
Bukan cuma itu, seorang psikoterapis, LCSW (Licensed Clinical Social Worker), bernama Elizabeth Beecroft menyebut, apabila seseorang cenderung memantau jumlah pengikut di akun media sosialnya, hal tersebut dapat memicu munculnya kecemasan . Sebab munculnya kecemasan dikarenakan adanya keinginan untuk mempertahankan jumlah pengikut dan status (popularitas) yang telah diraih sebelumnya.
“Banyak pengikut dapat berarti bahwa seseorang memiliki lebih banyak ‘mata’ untuk menonton dan melihat akunnya, yang dapat menimbulkan gejala kecemasan seputar keinginan untuk mempertahankan statusnya tersebut,” jelas Elizabeth.
Foto: Pixabay
Tidak dapat dimungkiri memang, bahwa dengan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali dari pemerintah membuat sebagian orang memilih di rumah saja, dan lebih banyak bermain media sosial supaya tetap saling terkoneksi dengan teman-teman lainnya. Namun, hal tersebut seharusnya tidak menimbulkan sejumlah masalah lain seperti kasus di atas, bukan?
Lantas, bagaimana kalau kamu sudah telanjur kecanduan? Dikutip dari Lifehack, kamu bisa mulai membatasi penggunaan media sosial dengan membuat jadwal untuk mengurangi intensitas penggunaannya.
Selanjutnya, cobalah untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, dan menjalankan aktivitas-aktivitas lain yang lebih bermanfaat, baik untuk psikis dan tubuhmu, seperti berolahraga, membaca buku, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Mengulik Makna Bucin alias Budak Cinta dari Perspektif Sains
Kemudian, apabila beberapa cara di atas dinilai tidak berhasil, kamu disarankan untuk pergi ke psikolog atau ahli terapi agar mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Fazjri Abdillah
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Jakarta
Instagram: @rana.warta
Dalam waktu tertentu, apakah kamu pernah merasakan dorongan untuk terus menambah jumlah follower kamu? Kalau iya, kemungkinan kamu sedang dalam tahap kecanduan.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Hootsuite (We are Social), total jumlah pengguna aktif media sosial di dunia berjumlah 3,800 miliar dari total populasi secara keseluruhan, yaitu 7,750 miliar. Di Indonesia, total jumlah pengguna media sosial aktif mencapai 160 juta dari 272,1 juta populasi.
Adapun rata-rata waktu penggunaan media sosial di Indonesia adalah 3 jam. 26 menit (3,26 jam). Dengan YouTube sebagai platform media sosial terbanyak yang digunakan oleh para pengguna (88% dari jumlah populasi), disusul WhatsApp (84% dari jumlah populasi), Facebook (82% dari jumlah populasi), dan Instagram (79% dari jumlah populasi).
Foto: Pixabay
Dari data di atas, banyak sekali alasan yang menjadi dorongan masing-masing indivdu dalam mengambil keputusan untuk mulai bermain media sosial. Beberapa alasan paling umum antara lain sebagai alat komunikasi, tempat untuk berbisnis, hingga memperoleh popularitas .
Nah, alasan terakhir yang telah disebutkan sebelumnya berkaitan erat dengan dampak yang dialami otak selepas mendapatkan pengikut di media sosial.
Mengutip Bustle, seorang psikolog saraf yang berbasis di New York, Amerika Serikat, Dr. Sanam Hafeez Ph.D., mengatakan bahwa mendapatkan pengikut di media sosial (Instagram) bisa menjadi dampak dopamin bagi otak seseorang.
Baca Juga: 15 Kata Gaul yang Lagi Viral di Media Sosial
Sebagai neurotransmiter, efek dari dopamin bisa membuat seseorang menjadi bahagia dan bahkan mabuk apabila jumlahnya berlebihan. Ia menambahkan, hal ini dapat dipicu secara khusus oleh perilaku komparatif, yaitu saat seseorang membandingkan jumlah pengikutnya dengan orang lain.
Foto: Pixabay
“Ini adalah bahan kimia yang terkait dengan kesenangan. Jumlah pengikut yang tidak dapat diprediksi menambah aspek sensasi yang membuatnya tetap menarik,” katanya.
Bukan cuma itu, seorang psikoterapis, LCSW (Licensed Clinical Social Worker), bernama Elizabeth Beecroft menyebut, apabila seseorang cenderung memantau jumlah pengikut di akun media sosialnya, hal tersebut dapat memicu munculnya kecemasan . Sebab munculnya kecemasan dikarenakan adanya keinginan untuk mempertahankan jumlah pengikut dan status (popularitas) yang telah diraih sebelumnya.
“Banyak pengikut dapat berarti bahwa seseorang memiliki lebih banyak ‘mata’ untuk menonton dan melihat akunnya, yang dapat menimbulkan gejala kecemasan seputar keinginan untuk mempertahankan statusnya tersebut,” jelas Elizabeth.
Foto: Pixabay
Tidak dapat dimungkiri memang, bahwa dengan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali dari pemerintah membuat sebagian orang memilih di rumah saja, dan lebih banyak bermain media sosial supaya tetap saling terkoneksi dengan teman-teman lainnya. Namun, hal tersebut seharusnya tidak menimbulkan sejumlah masalah lain seperti kasus di atas, bukan?
Lantas, bagaimana kalau kamu sudah telanjur kecanduan? Dikutip dari Lifehack, kamu bisa mulai membatasi penggunaan media sosial dengan membuat jadwal untuk mengurangi intensitas penggunaannya.
Selanjutnya, cobalah untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, dan menjalankan aktivitas-aktivitas lain yang lebih bermanfaat, baik untuk psikis dan tubuhmu, seperti berolahraga, membaca buku, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Mengulik Makna Bucin alias Budak Cinta dari Perspektif Sains
Kemudian, apabila beberapa cara di atas dinilai tidak berhasil, kamu disarankan untuk pergi ke psikolog atau ahli terapi agar mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
Fazjri Abdillah
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Jakarta
Instagram: @rana.warta
(ita)