Selebgram Palsu Bermunculan, Mulai Saingi Manusia Jadi Bintang di Media Sosial
loading...
A
A
A
Peran Lain Virtual Influencer
Kehadiran virtual influencer tentunya jadi sebuah fenomena unik sekaligus bukti nyata perkembangan dunia digital yang lumayan pesat.
Selain menjadi salah satu saluran kegiatan marketing (pemasaran) daring, para visual influencer saat ini juga digunakan sebagai ‘media’ untuk mengangkat sejumlah permasalahan yang terjadi di dunia.
Liam Nikuro contohnya, influencer maya pria pertama di Jepang yang diciptakan pada Maret 2019 ini aktif untuk memerangi cyberbulling di negaranya.
Foto:Instagram:@liam_nikuro
Menurut penciptanya, Hirokuni Genie Miyaji, kehadiran Liam bukan sekadar influencer biasa. Dia diciptakan sebagai suatu ‘suara’ baru yang segar untuk membantu memerangi cyberbulling di Jepang.
Kasus kematian Hana Kimura, pegulat dan bintang Netflix berdarah Indonesia pada Mei lalu yang diduga melakukan bunuh diri akibat cyberbulling, jadi salah satu alasan Miyaji melaksanakan aksinya bersama Liam.
Miyaji bilang, dia mau memakai Liam untuk membantu orang-orang yang merasa ingin bunuh diri.
“Kami menerima DM pada akun Liam, mereka (bilang) mengalami hari yang buruk dan butuh seseorang untuk diajak bicara," ujar Miyaji pada South China Morning Post.
"Langkah kami selanjutnya adalah menciptakan suara untuknya (Liam) sehingga dia bisa berkomunikasi dengan orang sungguhan secara daring,” ungkap Miyaji. ( )
Foto: Instagram @avagram.ai
Hal serupa juga datang dari Singapura. Reyme Husaini yang merupakan mahasiswa lulusan LASALLE College of the Arts berusia 27 tahun, menciptakan virtual influencer Ava Gram pada April lalu.
Ava adalah influencerras campuran berusia 22 tahun yang bicara masalah poilitik dan sosial di Singapura. Husaini ingin Ava bisa memicu wacana tentang hak-hak kaum gay dan ketidaksetaraan ras.
Dilirik Sebagai Influencer Produk
Bukan cuma menyuarakan isu sosial, virtual influencer juga mulai dilirik jadi pemasar produk.
Berdasarkan survei The State of Influencer Marketing 2018 dari Lingia, awalnya sebanyak 39% marketer berencana untuk menambah angka anggaran influencer marketing mereka pada 2018, dan 66% dari angka tersebut dipakai untuk merek-merek mewah.
Seiring berkembangnya ide dan angka anggaran pemasaran, maka terciptalah tipe influencer terbaru yang melebur dan tergabung dalam cakupan influencer sosial, yaitu virtual influencer.
Foto:Instagram:@thalasya_
Menuju pertengahan 2018, semakin masif label yang menciptakan dan menggunakan virtual influencer.
Selain itu, menurut laporan HypeAuditor 2019, virtual influencerpunya rate engagement tiga kali lebih tinggi dibandingkan influencer manusia sungguhan.
Kehadiran virtual influencer tentunya jadi sebuah fenomena unik sekaligus bukti nyata perkembangan dunia digital yang lumayan pesat.
Selain menjadi salah satu saluran kegiatan marketing (pemasaran) daring, para visual influencer saat ini juga digunakan sebagai ‘media’ untuk mengangkat sejumlah permasalahan yang terjadi di dunia.
Liam Nikuro contohnya, influencer maya pria pertama di Jepang yang diciptakan pada Maret 2019 ini aktif untuk memerangi cyberbulling di negaranya.
Foto:Instagram:@liam_nikuro
Menurut penciptanya, Hirokuni Genie Miyaji, kehadiran Liam bukan sekadar influencer biasa. Dia diciptakan sebagai suatu ‘suara’ baru yang segar untuk membantu memerangi cyberbulling di Jepang.
Kasus kematian Hana Kimura, pegulat dan bintang Netflix berdarah Indonesia pada Mei lalu yang diduga melakukan bunuh diri akibat cyberbulling, jadi salah satu alasan Miyaji melaksanakan aksinya bersama Liam.
Miyaji bilang, dia mau memakai Liam untuk membantu orang-orang yang merasa ingin bunuh diri.
“Kami menerima DM pada akun Liam, mereka (bilang) mengalami hari yang buruk dan butuh seseorang untuk diajak bicara," ujar Miyaji pada South China Morning Post.
"Langkah kami selanjutnya adalah menciptakan suara untuknya (Liam) sehingga dia bisa berkomunikasi dengan orang sungguhan secara daring,” ungkap Miyaji. ( )
Foto: Instagram @avagram.ai
Hal serupa juga datang dari Singapura. Reyme Husaini yang merupakan mahasiswa lulusan LASALLE College of the Arts berusia 27 tahun, menciptakan virtual influencer Ava Gram pada April lalu.
Ava adalah influencerras campuran berusia 22 tahun yang bicara masalah poilitik dan sosial di Singapura. Husaini ingin Ava bisa memicu wacana tentang hak-hak kaum gay dan ketidaksetaraan ras.
Dilirik Sebagai Influencer Produk
Bukan cuma menyuarakan isu sosial, virtual influencer juga mulai dilirik jadi pemasar produk.
Berdasarkan survei The State of Influencer Marketing 2018 dari Lingia, awalnya sebanyak 39% marketer berencana untuk menambah angka anggaran influencer marketing mereka pada 2018, dan 66% dari angka tersebut dipakai untuk merek-merek mewah.
Seiring berkembangnya ide dan angka anggaran pemasaran, maka terciptalah tipe influencer terbaru yang melebur dan tergabung dalam cakupan influencer sosial, yaitu virtual influencer.
Foto:Instagram:@thalasya_
Menuju pertengahan 2018, semakin masif label yang menciptakan dan menggunakan virtual influencer.
Selain itu, menurut laporan HypeAuditor 2019, virtual influencerpunya rate engagement tiga kali lebih tinggi dibandingkan influencer manusia sungguhan.