Sastra Melayu Tionghoa, Asing di Negeri Sendiri

Selasa, 25 Agustus 2020 - 22:05 WIB
Dalam karya sastra Melayu-Tionghoa, mereka menuliskan bahasa percakapan ke dalam karyanya. Bahasa Melayu rendah juga dapat diartikan sebagai bahasa yang mudah dimengerti dan menjadi bahasa sebagian besar penduduk Hindia Belanda.

Istilah bahasa Melayu Rendah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial untuk membedakan dengan bahasa Melayu Tinggi, bahasa Melayu yang lebih baku dan terpandang.

Karya-karya dalam kesusastraan Melayu-Tionghoa biasanya merupakan saduran atau terjemahan karya sastra berbahasa China, saduran atau terjrmahan novel Barat, atau hasil karya si penulis itu sendiri.

Di luar dari karya terjemahan atau saduran, biasanya penulis mengangkat tema mengenai kondisi sosial masyarakat. Mengenai keadaan ekonomi terdapat beberapa novel yang menggambarkan tema tersebut misalkan "Berdjoeang" (1934) yang ditulis oleh Liem Khing Hoo dan "Masjarakat" (1940) yang ditulis oleh Than Sioe Tjhay.

Dalam bagian pengantar buku "Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu" karya Claudines Salmon dikatakan bahwa sastra kaum peranakan ini pernah membuat pusing Balai Pustaka pada tahun 1930-an. ( )



Foto: epnri.indonesiaheritage.org

Karya-karya kaum peranakan Tionghoa ini dianggap sebagai bacaan liar oleh Balai Pustaka saat itu. Balai pustaka dengan kewenanangannya menganggap karya ini bermutu rendah karena tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi dan baku seperti yang Balai pustaka gunakan.

Juga, kandungan dari karya sastra Melayu Tionghoa ini tidak menggambarkan citra baik Belanda seperti yang Balai Pustaka bingkai dalam buku-buku terbitannya.

Tempat yang tidak setara yang diberikan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia kepada sastra MelayuTionghoa karena dahulu penulis keturunan Tionghoa belum dianggap sebagai bagian masyarakat Indonesia.

Penulis keturunan Tionghoa tersebut hanya dianggap sebagai kalangan perantau. Alasan lain adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra Melayu ionghoa adalah bahasa Melayu pasar dan bukan bahasa Melayu Tinggi. Melayu Tinggi dianggap sebagai cikal bakal Bahasa Indonesia modern saat ini.

Terlepas dari anggapan itu, karya-karya sastra Melayu Tionghoa sangat dekat dengan rakyat kebanyakan. Kemudahan memperoleh karya tersebut dan memahami karya tersebut adalah dampak yang dirasakan masyarakat secara luas.

Karya-karya sastra Melayu Tionghoa memberi dampak dari segi pengetahuan dan hiburan bagi masyarakat zaman tersebut. Sudah sepatutnya keberadaan sastra Melayu Tionghoa dianggap pentingnya dalam perkembangan sastra Indonesia.

Mungkin sudah saatnya kesusastraan Melayu Tionghoa diakui sebagai saudara kandung dalam keluarga kesusastraan Indonesia, dan bukannya dianggap sebagai saudara tiri. ( )

Putri Melina Febrianti

Kontributor GenSINDO

Universitas Indonesia

Instagram: @putri.melinaf
(it)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More