Sastra Wangi, Buah Pikir Perempuan yang Mengundang Perdebatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jangan salah dengan istilah sastra wangi. Ini bukan karya sastra yang membahas hal-hal yang harum wanginya atau sebuah buku yang akan mengeluarkan semerbak harum berbagai jenis bunga.
Sastra wangi adalah istilah yang muncul pada sekitar awal tahun 2000-an. Istilah ini memberi label pada karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan muda, dengan tema yang dianggap tabu dan vulgar, seperti seks dan tubuh.
Sastra wangi bukan merupakan genre atau aliran dalam sastra. Istilah ini sengaja diada-adakan dan dibuat-buat.
Jejak sastra wangi bisa ditelusuri pada akhir tahun 90-an, saat novel "Saman" karya Ayu Utami terbit. Novel pertama Ayu ini memberi pembaharuan dalam dunia sastra Indonesia dari segi cerita. Ayu Utami secara berani menjadi penulis perempuan pertama yang membahas isu-isu tabu dalam karyanya.
Foto: Kepustakaan Populer Gramedia
"Saman" dianggap sebagai karya sastra kanon, yaitu karya yang banyak dibicarakan karena mampu menjadi penanda suatu zaman serta menjadi trendsetter bagi karya-karya lain.
Sebagai trendsetter, maka setelah "Saman", muncul penulis-penulis perempuan yang menerbitkan karya dengan pembahasan serupa seperti Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari.
Mencuatnya istilah sastra wangi menimbulkan pro dan kontra. Melansir dari jurnal Leksika Vol.2 No.2 –Agustus 2008, dituliskan bahwa beberapa pihak menganggap bahwa sebaiknya isu-isu tabu tidak dibahas oleh pengarang perempuan karena hal tersebut dianggap melanggar standar moral adat ketimuran.
Komentar tersebut salah satunya dilontarkan oleh Taufiq Ismail yang menulis syair berikut:
"Penulis-penulis, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga hari di selokan pasar desa/Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya."
Foto: Freepik
Syair ini jelas merupakan kritikan pedas dari seorang Taufiq Ismail, yang memang dikenal sangat religius. Ia betul-betul tidak bisa menerima kehadiran karya-karya sastra wangi untuk hadir di Indonesia.
Yang lain juga menyebut bahwa label ini menafikan segala semangat, pencapaian, dan keunggulan yang telah dilakukan oleh penulis perempuan saat ini, dan mereduksi semuanya itu dalam penampilan fisik dan seksualitas belaka.
Sementara pihak yang pro berpendapat bahwa baik perempuan dan laki-laki berhak menulis mengenai apa saja. Perempuan sering dilihat sebagai objek seksual semata. Melalui karya sastra tersebut, masyarakat pun bisa menyadari bahwa perempuan juga punya hasrat seksual dan bukan sebuah objek pelampiasan hasrat.
Foto: Pixnio
Dikutip dari artikel BBC berjudul "Chick-lit Becomes Hip Lit in Indonesia", label sastra wangi juga dapat dikatakan sebagai ejekan dan cynical ploy. Karya sastra seharusnya dibedakan berdasarkan genre, gaya, atau semangatnya, dan bukan berdasarkan penampilan fisiknya.
Sumber utama kontroversi dari pelabelan sastra wangi ada pada kebebasan mendiskusikan seksualitas dan berbagai aspeknya. Penulis-penulis perempuan tersebut dianggap telah berlebihan dalam membahas perihal seksualitas dalam karyanya.
Namun, para penulis perempuan tersebut berargumen bahwa karya tersebut ditulis dengan upaya untuk jujur kepada diri sendiri dan menceritakan semua yang benar-benar dirasakan.
Terlepas dari segala pro dan kontra istilah tersebut, kemunculannya menjadi salah satu sejarah dalam perkembangan dunia sastra Indonesia. Istilah ini tidak akan mungkin hilang dalam ingatan publik.
Putri Melina Febrianti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @putri.melinaf
Sastra wangi adalah istilah yang muncul pada sekitar awal tahun 2000-an. Istilah ini memberi label pada karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan muda, dengan tema yang dianggap tabu dan vulgar, seperti seks dan tubuh.
Sastra wangi bukan merupakan genre atau aliran dalam sastra. Istilah ini sengaja diada-adakan dan dibuat-buat.
Jejak sastra wangi bisa ditelusuri pada akhir tahun 90-an, saat novel "Saman" karya Ayu Utami terbit. Novel pertama Ayu ini memberi pembaharuan dalam dunia sastra Indonesia dari segi cerita. Ayu Utami secara berani menjadi penulis perempuan pertama yang membahas isu-isu tabu dalam karyanya.
Foto: Kepustakaan Populer Gramedia
"Saman" dianggap sebagai karya sastra kanon, yaitu karya yang banyak dibicarakan karena mampu menjadi penanda suatu zaman serta menjadi trendsetter bagi karya-karya lain.
Sebagai trendsetter, maka setelah "Saman", muncul penulis-penulis perempuan yang menerbitkan karya dengan pembahasan serupa seperti Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari.
Mencuatnya istilah sastra wangi menimbulkan pro dan kontra. Melansir dari jurnal Leksika Vol.2 No.2 –Agustus 2008, dituliskan bahwa beberapa pihak menganggap bahwa sebaiknya isu-isu tabu tidak dibahas oleh pengarang perempuan karena hal tersebut dianggap melanggar standar moral adat ketimuran.
Komentar tersebut salah satunya dilontarkan oleh Taufiq Ismail yang menulis syair berikut:
"Penulis-penulis, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga hari di selokan pasar desa/Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu aku memikirkannya."
Foto: Freepik
Syair ini jelas merupakan kritikan pedas dari seorang Taufiq Ismail, yang memang dikenal sangat religius. Ia betul-betul tidak bisa menerima kehadiran karya-karya sastra wangi untuk hadir di Indonesia.
Yang lain juga menyebut bahwa label ini menafikan segala semangat, pencapaian, dan keunggulan yang telah dilakukan oleh penulis perempuan saat ini, dan mereduksi semuanya itu dalam penampilan fisik dan seksualitas belaka.
Sementara pihak yang pro berpendapat bahwa baik perempuan dan laki-laki berhak menulis mengenai apa saja. Perempuan sering dilihat sebagai objek seksual semata. Melalui karya sastra tersebut, masyarakat pun bisa menyadari bahwa perempuan juga punya hasrat seksual dan bukan sebuah objek pelampiasan hasrat.
Foto: Pixnio
Dikutip dari artikel BBC berjudul "Chick-lit Becomes Hip Lit in Indonesia", label sastra wangi juga dapat dikatakan sebagai ejekan dan cynical ploy. Karya sastra seharusnya dibedakan berdasarkan genre, gaya, atau semangatnya, dan bukan berdasarkan penampilan fisiknya.
Sumber utama kontroversi dari pelabelan sastra wangi ada pada kebebasan mendiskusikan seksualitas dan berbagai aspeknya. Penulis-penulis perempuan tersebut dianggap telah berlebihan dalam membahas perihal seksualitas dalam karyanya.
Namun, para penulis perempuan tersebut berargumen bahwa karya tersebut ditulis dengan upaya untuk jujur kepada diri sendiri dan menceritakan semua yang benar-benar dirasakan.
Terlepas dari segala pro dan kontra istilah tersebut, kemunculannya menjadi salah satu sejarah dalam perkembangan dunia sastra Indonesia. Istilah ini tidak akan mungkin hilang dalam ingatan publik.
Putri Melina Febrianti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @putri.melinaf
(it)