Filter Bubble: Penjara Zona Nyaman yang Menyerang Mahasiswa Kekinian
Jum'at, 21 Agustus 2020 - 22:00 WIB
Keadaan ini membuat seseorang beranggapan bahwa ia adalah mayoritas, yang punya banyak dukungan di media sosial, dan mendefinisikan dunia dari satu sudut pandang saja.
Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siap apun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, atau konten yang disimpan seseorang pada suatu topik.
Sebagai pasar bisnis yang terbuka, hoaks bisa muncul di mana saja, bahkan pada unggahan yang memiliki banyak respons. Tak jauh dari ungkapan Joseph Goebbels di awal, hoaks hadir dengan sampul bak berita valid.
Foto:Fokusiert
Artinya, gelembung penyaring tidaklah benar-benar menyaring berita yang berkualitas dan valid. Setiap orang, termasuk mahasiswa berkemungkinan untuk memiliki lingkungan media sosial yang penuh hoaks.
Sebagai kelompok intelektual, keadaan ini merupakan tantangan yang perlu dikendalikan oleh keinginan. ( )
Polarisasi Warganet
“Sebuah dunia yang disusun dari kesamaan (familier), adalah tempat kita tak bisa belajar apa pun,” tutur Eli Pariser, melansir dari The Economist.
Karena dibangun atas kesamaan, gelembung ini mendorong seseorang untuk berkumpul dengan warganet dalam satu lingkup, dengan minat yang sama.
Kuatnya persamaan pandangan terhadap suatu topik membuat seseorang terpolarisasi dengan kelompok di sisi lawan. Ketika bertemu dengan orang lain yang tidak segelembung dengannya, ia akan menganggap bahwa mereka adalah minoritas, yang kemudian berdampak pada munculnya perilaku intoleran, perpecahan, sentimen, serta menolak adanya perbedaan.
Foto: Janinsanfran/Flickr
Bukan mahasiswa kalau cuma berpangku tangan di tengah tantangan. Dampak gelembung virtual di atas berpeluang menghampiri siapa saja, terlebih mahasiswa yang mayoritas merupakan pengguna media sosial.
Yang Bisa Kita Lakukan
Intensitas penggunaan media sosial yang meningkat selama pandemi, memperlebar peluang filter bubble setiap orang. Apa antisipasinya?
Pertama, sengaja mencari informasi yang berlainan dengan minat, adalah langkah awal menghilangkan filter bubble. Cara ini memungkinkan seseorang kembali mendapatkan informasi yang lebih banyak dan variatif, sehingga berdampak pada perubahan perilaku untuk melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja.
Kedua, menerapkan perilaku berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk memecahkan gelembung ini. Perilaku ini membawa seseorang untuk mengakar dari pertanyaan dan sikap skeptis, untuk menguji valid atau tidaknya suatu informasi.
“Berpikir kritis dan empati memungkinkan kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata ketakutan, tapi dengan kacamata keingintahuan,” ujar Emilia Tiurma, Senior Officer Indika Foundation saat menjadi narasumber kelas berpikir kritis.
Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siap apun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, atau konten yang disimpan seseorang pada suatu topik.
Sebagai pasar bisnis yang terbuka, hoaks bisa muncul di mana saja, bahkan pada unggahan yang memiliki banyak respons. Tak jauh dari ungkapan Joseph Goebbels di awal, hoaks hadir dengan sampul bak berita valid.
Foto:Fokusiert
Artinya, gelembung penyaring tidaklah benar-benar menyaring berita yang berkualitas dan valid. Setiap orang, termasuk mahasiswa berkemungkinan untuk memiliki lingkungan media sosial yang penuh hoaks.
Sebagai kelompok intelektual, keadaan ini merupakan tantangan yang perlu dikendalikan oleh keinginan. ( )
Polarisasi Warganet
“Sebuah dunia yang disusun dari kesamaan (familier), adalah tempat kita tak bisa belajar apa pun,” tutur Eli Pariser, melansir dari The Economist.
Karena dibangun atas kesamaan, gelembung ini mendorong seseorang untuk berkumpul dengan warganet dalam satu lingkup, dengan minat yang sama.
Kuatnya persamaan pandangan terhadap suatu topik membuat seseorang terpolarisasi dengan kelompok di sisi lawan. Ketika bertemu dengan orang lain yang tidak segelembung dengannya, ia akan menganggap bahwa mereka adalah minoritas, yang kemudian berdampak pada munculnya perilaku intoleran, perpecahan, sentimen, serta menolak adanya perbedaan.
Foto: Janinsanfran/Flickr
Bukan mahasiswa kalau cuma berpangku tangan di tengah tantangan. Dampak gelembung virtual di atas berpeluang menghampiri siapa saja, terlebih mahasiswa yang mayoritas merupakan pengguna media sosial.
Yang Bisa Kita Lakukan
Intensitas penggunaan media sosial yang meningkat selama pandemi, memperlebar peluang filter bubble setiap orang. Apa antisipasinya?
Pertama, sengaja mencari informasi yang berlainan dengan minat, adalah langkah awal menghilangkan filter bubble. Cara ini memungkinkan seseorang kembali mendapatkan informasi yang lebih banyak dan variatif, sehingga berdampak pada perubahan perilaku untuk melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja.
Kedua, menerapkan perilaku berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk memecahkan gelembung ini. Perilaku ini membawa seseorang untuk mengakar dari pertanyaan dan sikap skeptis, untuk menguji valid atau tidaknya suatu informasi.
“Berpikir kritis dan empati memungkinkan kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata ketakutan, tapi dengan kacamata keingintahuan,” ujar Emilia Tiurma, Senior Officer Indika Foundation saat menjadi narasumber kelas berpikir kritis.
tulis komentar anda