Penyebab Orang Masih Sering Kemakan dan Menyebar Hoaks
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seberapa sering kamu melihat teman atau keluarga kamu menyebar berita palsu alias hoaks? Atau kamu sendiri secara gak sadar pernah ikut menyebarnya?
Menurut penelitian David Rand, seorang ilmuwan kognisi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), orang rata-rata cenderung percaya hoaks setidaknya 20 persen dari waktu yang ada.
Foto: Shutterstock
Kenapa begitu? Salah satunya ternyata karena banyak orang yang kesulitan membedakan berita palsu dengan berita yang benar.
Kesulitan ini bukan gak berdasar. Sebuah studi oleh Soroush Vosoughi dan rekan-rekan ilmuwan komputer di Darmouth University menunjukkan bahwa hoaks mencapai lebih banyak orang dan menyebar lebih cepat dibanding kebenaran. Jadi, bukan gak mungkin kalo kita lebih sering mendengar hoaks dibanding berita yang benar.
Lantas, apa, sih, sebenarnya penyebab kita masih sering kemakan hoaks?
Melansir dari situs web American Psychological Association, salah satu penjelasan yang paling sering muncul adalah pemikiran termotivasi.
Foto: wexnermedical.osu.edu
Maksud dari pemikiran termotivasi ini adalah gagasan bahwa proses kognitif orang cenderung bias mempercayai hal-hal yang sesuai dengan pandangan dunia mereka.
Misalnya, seseorang memiliki pandangan A, maka orang tersebut akan lebih mudah mempercayai berita-berita yang belum dipastikan kebenarannya, tapi sejalan dengan pandangan A.
Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh Rand dan rekan-rekan dari behavioral science University of Regina di Canada, menunjukkan bahwa orang-orang yang memercayai berita palsu adalah mereka yang gak berpikir dengan cermat dan teliti.
Dengan kata lain, riset ini menunjukkan kerentanan seseorang dalam memercayai berita palsu lebih berkaitan dengan kemampuan bernalar mereka.
Foto: Freepik
Rand dan kawan-kawan menemukan bahwa orang-orang dengan skor yang lebih tinggi pada tes nalar punya kemampuan lebih baik dalam membedakan berita palsu dan berita yang benar.
Walau begitu, seorang ilmuwan kognisi asal Brown University, Steven Sloman, menunjukkan sebuah poin yang menarik dari penelitian Rand dan kawan-kawan. Sloman berkata, ada pengaturan yang berbeda antara studi yang dilakukan Rand dengan kondisi di dunia nyata.
Partisipan dalam studi Rand secara gak langsung berada dalam kondisi pikiran yang lebih kritis karena mereka sadar bahwa mereka sedang ditempatkan dalam pengujian kemampuan membedakan hoaks dengan berita yang benar.
Sementara itu, kondisi di dunia nyata jauh berbeda. Sering kali, kita menemui hoaks ketika sedang bersantai sambil scrolling media sosial atau berbincang santai dengan seorang teman.
Foto:Sean Gallup/Getty Images
Saat itu, kondisi pikiran kita bukanlah kondisi pikiran seseorang yang siap mengkritisi segala informasi yang masuk ke sistem pikiran.
Jadi, alasan kita masih sering kemakan hoaks cukup beragam. Kita mungkin gak punya banyak kuasa untuk menghentikan orang lain dalam membuat dan menyebarkan hoaks. Tapi, kita punya kuasa atas diri kita sendiri.
Kita bisa belajar untuk lebih kritis membedakan informasi hoaks dan fakta. Kita juga bisa belajar untuk lebih kritis sebelum menekan tombol share di media sosial.
Intinya, kalau kamu mau, penyebaran hoaks bisa berhenti dari kamu. Yuk, mulailah berpikir kritis!
Fauziatun Nabila Sudarko
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @fauziatunnabila
Menurut penelitian David Rand, seorang ilmuwan kognisi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), orang rata-rata cenderung percaya hoaks setidaknya 20 persen dari waktu yang ada.
Foto: Shutterstock
Kenapa begitu? Salah satunya ternyata karena banyak orang yang kesulitan membedakan berita palsu dengan berita yang benar.
Kesulitan ini bukan gak berdasar. Sebuah studi oleh Soroush Vosoughi dan rekan-rekan ilmuwan komputer di Darmouth University menunjukkan bahwa hoaks mencapai lebih banyak orang dan menyebar lebih cepat dibanding kebenaran. Jadi, bukan gak mungkin kalo kita lebih sering mendengar hoaks dibanding berita yang benar.
Lantas, apa, sih, sebenarnya penyebab kita masih sering kemakan hoaks?
Melansir dari situs web American Psychological Association, salah satu penjelasan yang paling sering muncul adalah pemikiran termotivasi.
Foto: wexnermedical.osu.edu
Maksud dari pemikiran termotivasi ini adalah gagasan bahwa proses kognitif orang cenderung bias mempercayai hal-hal yang sesuai dengan pandangan dunia mereka.
Misalnya, seseorang memiliki pandangan A, maka orang tersebut akan lebih mudah mempercayai berita-berita yang belum dipastikan kebenarannya, tapi sejalan dengan pandangan A.
Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh Rand dan rekan-rekan dari behavioral science University of Regina di Canada, menunjukkan bahwa orang-orang yang memercayai berita palsu adalah mereka yang gak berpikir dengan cermat dan teliti.
Dengan kata lain, riset ini menunjukkan kerentanan seseorang dalam memercayai berita palsu lebih berkaitan dengan kemampuan bernalar mereka.
Foto: Freepik
Rand dan kawan-kawan menemukan bahwa orang-orang dengan skor yang lebih tinggi pada tes nalar punya kemampuan lebih baik dalam membedakan berita palsu dan berita yang benar.
Walau begitu, seorang ilmuwan kognisi asal Brown University, Steven Sloman, menunjukkan sebuah poin yang menarik dari penelitian Rand dan kawan-kawan. Sloman berkata, ada pengaturan yang berbeda antara studi yang dilakukan Rand dengan kondisi di dunia nyata.
Partisipan dalam studi Rand secara gak langsung berada dalam kondisi pikiran yang lebih kritis karena mereka sadar bahwa mereka sedang ditempatkan dalam pengujian kemampuan membedakan hoaks dengan berita yang benar.
Sementara itu, kondisi di dunia nyata jauh berbeda. Sering kali, kita menemui hoaks ketika sedang bersantai sambil scrolling media sosial atau berbincang santai dengan seorang teman.
Foto:Sean Gallup/Getty Images
Saat itu, kondisi pikiran kita bukanlah kondisi pikiran seseorang yang siap mengkritisi segala informasi yang masuk ke sistem pikiran.
Jadi, alasan kita masih sering kemakan hoaks cukup beragam. Kita mungkin gak punya banyak kuasa untuk menghentikan orang lain dalam membuat dan menyebarkan hoaks. Tapi, kita punya kuasa atas diri kita sendiri.
Kita bisa belajar untuk lebih kritis membedakan informasi hoaks dan fakta. Kita juga bisa belajar untuk lebih kritis sebelum menekan tombol share di media sosial.
Intinya, kalau kamu mau, penyebaran hoaks bisa berhenti dari kamu. Yuk, mulailah berpikir kritis!
Fauziatun Nabila Sudarko
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @fauziatunnabila
(it)