Berpura-pura Sakit demi Cari Perhatian? Mungkin Kamu Terkena Sindrom Munchausen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berpura-pura sakit sering kali menjadi alasan paling ampuh untuk menghindari pekerjaan atau mencari perhatian orang lain. Kalau kamu sering melakukan ini bisa saja kamu menderita Sindrom Munchausen.
Sindrom Munchausen merupakan gangguan mental saat seseorang bertindak seolah-olah memiliki penyakit, bahkan dengan sengaja menghasilkan gejala dari penyakit itu. Mereka melakukan itu untuk menarik rasa peduli dan perhatian orang lain.
Penyebab dari sindrom ini belum diketahui secara pasti. Namun, para peneliti percaya bahwa faktor psikologis dan trauma masa kecil menjadi faktor pemicunya.
Untuk lebih mengenal mengenai Sindrom Munchausen, berikut fakta-faktanya.
1. Diambil dari nama Perwira Jerman
Foto: Lifeforstock/Freepik
Mengutip Australian Institute of Family Studies, nama Munchausen dicetuskan oleh dokter Richard Asher yang diambil dari nama seorang perwira Jerman yang hidup di abad ke-18, Baron von Munchausen. Ia dikenal dengan cerita-cerita bohong tentang petualangannya yang fantastis.
Pada tahun 1951, Asher menjelaskan tentang orang-orang yang merekayasa penyakit mereka dengan menciptakan gejala. Mereka melakukan tuntutan kepada pihak rumah sakit untuk melakukan perawatan, pengobatan, hingga pembedahan yang tidak perlu. Para pasien ini menceritakan kisah-kisah mereka untuk memperoleh simpati orang-orang.
2. Munchausen Syndrome dan Munchausen Syndrome by Proxy
Foto:Presstoto/Freepik
Meskipun kedua sindrom ini sama, tapi keduanya memiliki perbedaan. Munchausen Syndrome by Proxy merupakan gangguan buatan yang dikenakan pada orang lain. Penderitanya akan bersikap seolah-olah orang yang mereka rawat memiliki penyakit tertentu, padahal orang tersebut tidak benar-benar sakit.
Berbeda dengan Munchausen Syndrome by Proxy, Munchausen Syndrome bersikap seolah-olah dialah yang memiliki penyakit itu.
Baca Juga: 6 Jenis Rasa Marah, dari yang Positif sampai Destruktif
3. Belum Ada Pengobatan Khusus
Foto: Freepik
Sangat sulit bagi para dokter untuk menemukan sindrom ini pada pasiennya. Dikutip dari National Health Service (NHS), sampai saat ini, belum ada obat-obatan khusus bagi penderita Sindrom Munchausen.
Sejauh ini, pengobatan hanya dapat dilakukan melalui psikoterapi untuk mengubah pola pikir pasien. Dengan kombinasi psikoanalisis dan cognitive-behavioral therapy (CBT), gejala Sindrom Munchausen dapat dikendalikan.
Baca Juga: 8 Kostum Panggung Idol K-Pop Aneh tapi Unik, Sneakers dan Kaus Kaki Jadi Atasan!
4. Kaitan antara Narsisisme dan Sindrom Munchausen
Foto: Wirestock/Freepik
Penderita narsistik merasa dirinya spesial dan merasa takut jika dianggap tak berharga. Dengan berperan menjadi “orang sakit”, mereka mendapatkan posisi di masyarakat yang memungkinkannya untuk mendapatkan dukungan dari orang lain.
Ketidakstabilan jati diri ditemukan dalam diri mereka sehingga mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain. Dengan menjadi sakit, posisi mereka dalam masyarakat pun menjadi jelas.
Mirsya Anandari Utami
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta
Instagram: @anandamirsya
Sindrom Munchausen merupakan gangguan mental saat seseorang bertindak seolah-olah memiliki penyakit, bahkan dengan sengaja menghasilkan gejala dari penyakit itu. Mereka melakukan itu untuk menarik rasa peduli dan perhatian orang lain.
Penyebab dari sindrom ini belum diketahui secara pasti. Namun, para peneliti percaya bahwa faktor psikologis dan trauma masa kecil menjadi faktor pemicunya.
Untuk lebih mengenal mengenai Sindrom Munchausen, berikut fakta-faktanya.
1. Diambil dari nama Perwira Jerman
Foto: Lifeforstock/Freepik
Mengutip Australian Institute of Family Studies, nama Munchausen dicetuskan oleh dokter Richard Asher yang diambil dari nama seorang perwira Jerman yang hidup di abad ke-18, Baron von Munchausen. Ia dikenal dengan cerita-cerita bohong tentang petualangannya yang fantastis.
Pada tahun 1951, Asher menjelaskan tentang orang-orang yang merekayasa penyakit mereka dengan menciptakan gejala. Mereka melakukan tuntutan kepada pihak rumah sakit untuk melakukan perawatan, pengobatan, hingga pembedahan yang tidak perlu. Para pasien ini menceritakan kisah-kisah mereka untuk memperoleh simpati orang-orang.
2. Munchausen Syndrome dan Munchausen Syndrome by Proxy
Foto:Presstoto/Freepik
Meskipun kedua sindrom ini sama, tapi keduanya memiliki perbedaan. Munchausen Syndrome by Proxy merupakan gangguan buatan yang dikenakan pada orang lain. Penderitanya akan bersikap seolah-olah orang yang mereka rawat memiliki penyakit tertentu, padahal orang tersebut tidak benar-benar sakit.
Berbeda dengan Munchausen Syndrome by Proxy, Munchausen Syndrome bersikap seolah-olah dialah yang memiliki penyakit itu.
Baca Juga: 6 Jenis Rasa Marah, dari yang Positif sampai Destruktif
3. Belum Ada Pengobatan Khusus
Foto: Freepik
Sangat sulit bagi para dokter untuk menemukan sindrom ini pada pasiennya. Dikutip dari National Health Service (NHS), sampai saat ini, belum ada obat-obatan khusus bagi penderita Sindrom Munchausen.
Sejauh ini, pengobatan hanya dapat dilakukan melalui psikoterapi untuk mengubah pola pikir pasien. Dengan kombinasi psikoanalisis dan cognitive-behavioral therapy (CBT), gejala Sindrom Munchausen dapat dikendalikan.
Baca Juga: 8 Kostum Panggung Idol K-Pop Aneh tapi Unik, Sneakers dan Kaus Kaki Jadi Atasan!
4. Kaitan antara Narsisisme dan Sindrom Munchausen
Foto: Wirestock/Freepik
Penderita narsistik merasa dirinya spesial dan merasa takut jika dianggap tak berharga. Dengan berperan menjadi “orang sakit”, mereka mendapatkan posisi di masyarakat yang memungkinkannya untuk mendapatkan dukungan dari orang lain.
Ketidakstabilan jati diri ditemukan dalam diri mereka sehingga mereka mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain. Dengan menjadi sakit, posisi mereka dalam masyarakat pun menjadi jelas.
Mirsya Anandari Utami
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta
Instagram: @anandamirsya
(ita)