Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka
loading...
A
A
A
Foto: A1
Untuk saat ini, sistem yang dimiliki oleh kepolisian terkadang tidak dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut mendorong para aktivis untuk mempertimbangkan masalah dari perspektif keadilan sosial daripada keadilan berbasis hukum. Gerakan ini disebut dengan abolition feminism.
Abolition feminism memiliki tujuan agar kita sadar bahwa negara juga turut menyebabkan kekerasan. Untuk benar-benar mengakhiri kekerasan, kita membutuhkan strategi yang menanganinya dalam segala bentuk, bukan hanya dari satu sudut pandang.
Melansir dari ethicalunicorn , gerakan ini dipengaruhi oleh beberapa tokoh feminis, seperti Angela Davis, Ruth Wilson Gilmore, dan Patricia Hill Collins. Di Inggris, organisasi seperti Organisasi Perempuan Afrika dan Keturunan Asia (OWAAD) dan Grup Perempuan Kulit Hitam Brixton, berkampanye pada 1970-an dan 1980-an untuk melawan kekerasan dan pelecehan oleh polisi.
Pada masa sekarang, ketimpangan hukum masih terjadi bagi orang-orang minoritas. Oleh karena itu, penyelesaian masalah dengan carceral feminism sangatlah riskan bagi mereka.
Baca Juga: 5 Film tentang Para Perempuan Melawan Diskriminasi
Apabila dilaksanakan, gerakan ini tentu juga harus diimbangi dengan keadilan hukum, yaitu memenjarakan pelaku yang tepat dan melindungi korban. Selain itu, korban juga harus dipenuhi pemulihan mentalnya oleh negara. Sistem memenjarakan korban yang salah tentu harus diperbaiki secepatnya.
Alifia Putri Yudanti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Twitter: @shcsei
(ita)