Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka

Rabu, 02 Juni 2021 - 18:38 WIB
loading...
Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka
Negara seringkali gagap dalam kasus terkait gender, yang malah menempatkan korban sebagai tersangka. Foto/StockSnap
A A A
JAKARTA - Pada 19 Mei lalu, sebuah akun Twitter @GeorgeNewHouse membuat cuitan yang berisi ajakan untuk menandatangani petisi. Petisi tersebut berisi tentang permintaan penyidikan atas kematian seorang bayi yang terpaksa harus ditinggal oleh ibunya.

Dijelaskan bahwa sang ibu ditangkap oleh polisi, padahal ia adalah korban kekerasan rumah tangga.

Cuitan tersebut tentu memunculkan banyak reaksi atas keterlibatan pihak berwenang yang menggunakan kekuasaan koersifnya. Mereka justru menangkap korban kekerasan, bukan pelakunya.

Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka

Foto:Twitter @GeorgeNewHouse

Alih-alih diperlakukan sebagai korban, polisi memperlakukan perempuan tersebut sebagai pelaku. Hal itu tentu memberikan konsekuensi yang sangat tragis untuk bayinya. Ia tidak diasuh dengan baik oleh polisi hingga akhirnya harus berujung kematian.

Terkait kasus ini, ada istilah yang dinamakan carceral feminism. Iniadalah upaya untuk menggunakan hukuman penjara pada kasus yang berhubungan dengan isu gender . Gerakan ini melihat upaya institusi negara, seperti polisi sebagai solusi yang tepat untuk mengatasi isu kekerasan berbasis gender .

Selain itu, gerakan ini juga punya keyakinan bahwa hukuman penjara yang lebih keras dan lama akan membantu menyelesaikan masalah kekerasan berbasis gender. Fokus pada gerakan ini adalah penangkapan pada korban, bukan pelaku kekerasan yang sesungguhnya.

AWAL MULA CARCERAL FEMINISM

Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka

Foto:Barnard Edu

Frasa ini pertama kali dimunculkan oleh Elizabeth Bernstein, profesor studi perempuan dan sosiologi di Barnard. Frasa ini muncul dalam artikelnya yang terbit pada 2007 berjudul “ The Sexual Politics of the 'New Abolitionism '”.

Elizabeth menggambarkan carceral feminisme sebagai kegagalan untuk mengatasi kondisi ekonomi yang menjadi akar dari kekerasan gender. "Neoliberalisme telah membentuk perubahan "carceral" dalam gerakan advokasi feminis yang sebelumnya diselenggarakan untuk memperjuangkan keadilan," tulisnya.

Baca Juga: 9 Istilah dalam Feminisme yang Perlu Kamu Tahu


ALASAN GERAKAN INI BANYAK DITENTANG

Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka

Foto: Getty Images

Seperti kasus di atas, dapat dilihat bahwa terkadang hukum yang dibuat negara tidak bisa melindungi korban dan keluarga. Justru korban yang mendapatkan hukuman, sementara pelaku masih bebas berkeliaran.

Selain itu, negara juga digadang-gadang melakukan pelecehan dan kontrol secara paksa terhadap perempuan atau kaum minoritas yang berstatus sebagai korban. Apabila korban dipenjara dan tidak mendapatkan perlakuan yang sesuai, tentu akan timbul trauma berkepanjangan atas perbuatan yang ia terima.

Penyelesaian kasus dengan menggunakan carceral feminismjuga dikatakan sangat berpusat pada pola pikir orang kulit putih (white-people centrist). Bagi orang kulit berwarna, terkadang putusan pengadilan dapat merugikan mereka apabila berstatus sebagai korban.

TINDAK KEKERASAN LEBIH RENTAN DILAKUKAN OLEH POLISI

Mengenal Carceral Feminism, saat Korban Kekerasan malah Jadi Tersangka

Foto: Getty Images

Melansir dari Vox , studi telah menemukan bahwa sekitar 40% keluarga dari polisi justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga, lebih tinggi daripada 10% keluarga dalam populasi umum. Selain itu, ditemukan tindakan dari petugas polisi yang justru melakukan pemerkosaan dan penyerangan seksual terhadap orang-orang yang mereka tangkap.


SAINGAN GERAKAN INI ADALAH ABOLITION FEMINISM
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1868 seconds (0.1#10.140)