Stereotip Feminis Galak, Mengapa Bisa Ada?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perempuan merupakan sosok yang digambarkan lemah lembut, emosional dan sensitif, hingga dianggap menjadi pihak yang tidak berdaya.
Perempuan juga punya stereotip untuk tetap tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan fokus mendidik anak, serta tidak perlu mendapatkan jenjang pendidikan yang tinggi.
Dari sinilah muncul para perempuan (juga laki-laki) yang aktif bersuara dan bergerak untuk mendorong hak perempuan mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki, yang sering disebut masyarakat sebagai feminis.
Sayangnya, belakangan kaum feminis malah diberi stereotip sebagai perempuan-perempuan galak yang sering ‘berisik’ memprotes ketimpangan yang dialami perempuan di tengah masyarakat.
Foto: Reuters
“Terutama di media sosial, contohnya seperti pada candaan atau humor seksis yang dianggap wajar bagi masyarakat dan selalu terulang, tapi sebenarnya candaan itu tidak baik. Hal itu yang membuat kaum feminis kesal dan melontarkan kalimat pedas kepada lawan bicaranya,” ujar Mutiara Annisa, salah satu anggota Gerakan Perempuan Universitas Negeri Jakarta.
Menurutnya, kesalahpahaman tersebut dapat dihindari oleh kaum feminis dengan memberikan komentar yang lebih sopan di media sosial.
Di sisi lain, masyarakat awam juga sebaiknya memahami hal yang menjadi perhatian bagi feminis.
Baca Juga: Sering Disangka dari Luar Negeri, Webtoon ini Asli Karya Penulis Indonesia
Ketika ada topik yang sedang hangat diperbincangkan, tak ada salahnya jika memahami terlebih dahulu isu sebelum berkomentar.
“Setidaknya masing-masing individu bisa mengambil langkah yang lebih baik dan menghindari perdebatan yang toxic,” imbuh Mutiara.
Foto: you.wemove.eu
Mutiara juga menyorot kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang terungkap di media sosial. Ketika para korban mencoba untuk bicara, sebagian netizen malah memberikan komentar yang menyudutkan para korban.
Hal ini membuat para korban merasa tidak didukung dan justru disalahkan. Saat itulah biasanya feminis turun tangan membela para korban, tapi lalu malah dianggap galak.
“Tentu hal tersebut tidak bisa didiamkan. Banyak kekeliruan yang terbangun dalam masyarakat tentang feminisme. Hal itu yang harus kita perbaiki bersama. Saling memahami satu sama lain bisa dilakukan," ucap Mutiara.
Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan Internasional, Bermula dari Aksi Buruh
Membaca, belajar, dan mencari pengetahuan lebih banyak tentang feminisme sangat dianjurkan. Dengan begitu kekeliruan dan saling hujat dapat dihindarkan. If you don’t have anything nice to say, keep it to your-self,” tegasnya.
GenSINDO
Widya Zhafirah Dezani
LSPR Communication & Business Institute
Perempuan juga punya stereotip untuk tetap tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan fokus mendidik anak, serta tidak perlu mendapatkan jenjang pendidikan yang tinggi.
Dari sinilah muncul para perempuan (juga laki-laki) yang aktif bersuara dan bergerak untuk mendorong hak perempuan mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki, yang sering disebut masyarakat sebagai feminis.
Sayangnya, belakangan kaum feminis malah diberi stereotip sebagai perempuan-perempuan galak yang sering ‘berisik’ memprotes ketimpangan yang dialami perempuan di tengah masyarakat.
Foto: Reuters
“Terutama di media sosial, contohnya seperti pada candaan atau humor seksis yang dianggap wajar bagi masyarakat dan selalu terulang, tapi sebenarnya candaan itu tidak baik. Hal itu yang membuat kaum feminis kesal dan melontarkan kalimat pedas kepada lawan bicaranya,” ujar Mutiara Annisa, salah satu anggota Gerakan Perempuan Universitas Negeri Jakarta.
Menurutnya, kesalahpahaman tersebut dapat dihindari oleh kaum feminis dengan memberikan komentar yang lebih sopan di media sosial.
Di sisi lain, masyarakat awam juga sebaiknya memahami hal yang menjadi perhatian bagi feminis.
Baca Juga: Sering Disangka dari Luar Negeri, Webtoon ini Asli Karya Penulis Indonesia
Ketika ada topik yang sedang hangat diperbincangkan, tak ada salahnya jika memahami terlebih dahulu isu sebelum berkomentar.
“Setidaknya masing-masing individu bisa mengambil langkah yang lebih baik dan menghindari perdebatan yang toxic,” imbuh Mutiara.
Foto: you.wemove.eu
Mutiara juga menyorot kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang terungkap di media sosial. Ketika para korban mencoba untuk bicara, sebagian netizen malah memberikan komentar yang menyudutkan para korban.
Hal ini membuat para korban merasa tidak didukung dan justru disalahkan. Saat itulah biasanya feminis turun tangan membela para korban, tapi lalu malah dianggap galak.
“Tentu hal tersebut tidak bisa didiamkan. Banyak kekeliruan yang terbangun dalam masyarakat tentang feminisme. Hal itu yang harus kita perbaiki bersama. Saling memahami satu sama lain bisa dilakukan," ucap Mutiara.
Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan Internasional, Bermula dari Aksi Buruh
Membaca, belajar, dan mencari pengetahuan lebih banyak tentang feminisme sangat dianjurkan. Dengan begitu kekeliruan dan saling hujat dapat dihindarkan. If you don’t have anything nice to say, keep it to your-self,” tegasnya.
GenSINDO
Widya Zhafirah Dezani
LSPR Communication & Business Institute
(ita)