Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja

Senin, 31 Mei 2021 - 22:15 WIB
loading...
Tuol Sleng Genocide...
Tuol Sleng Genocide Museum jadi saksi kekejaman era Khmer Merah di Kamboja. Foto/getyourguide.com
A A A
JAKARTA - Setiap negara mempunyai sejarah , baik yang membanggakan maupun yang memilukan. Salah satu museum yang menjadi saksi bisu dari sejarah kelam suatu bangsa adalah Tuol Sleng Genocide Museum di Kamboja.

Mengutip dari situs resmi museum tersebut, Tuol Sleng Genocide Museum merupakan situs peringatan peristiwa interogasi dan penahanan 12.000 warga Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Rouge (Khmer Merah). Museum tersebut terletak di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, dan dibuka untuk publik dengan harapan pesan kedamaian dapat tersampaikan melalui museum tersebut.

Selama pandemi, dengan menerapkan protokol kesehatan, Tuol Sleng Genocide Museum buka setiap hari sejak pukul 08.00--17.00. Warga Kamboja yang ingin mengunjungi museum tersebut tidak perlu mengeluarkan sepeser pun sedangkan turis yang berasal dari luar Kamboja dikenakan biaya tiket masuk sebesar USD3--USD5 atau setara dengan Rp40.000--Rp70.000. Selain itu, pihak museum juga menyediakan panduan, baik berupa pemandu langsung di lokasi maupun panduan berupa audio.

1. DERITA KORBAN PENAHANAN S-21

Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja

Foto:Getty Images

Sebelum dijadikan tempat penahanan dan interogasi, Tuol Sleng sesungguhnya adalah sekolah dengan nama Tuol Svay Pray High School yang berlokasi di pinggiran kota Phnom Penh. Pada masa pemerintahan Khmer Merah, yaitu pada April 1975, sekolah tersebut dialihfungsikan dan dijadikan tempat menyiksa belasan ribu orang yang dianggap mencurigakan dan membahayakan kedudukannya sebagai pemimpin. Sejak saat itu pula sekolah itu berganti nama menjadi S-21.

Tempat tersebut mempunyai lima bangunan yang menghadap ke halaman rumput. Melansir dari Killing Fields Museum, ruang interogasi didesain sesederhana mungkin, yaitu hanya dilengkapi dengan meja dan kursi sekolah yang menghadap ke tempat tidur baja dengan belenggu di setiap ujungnya.

Kendati demikian, penampakan tersebut sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri mengingat penyiksaan yang dialami oleh para korban jauh dari kata manusiawi. Mereka dipukuli, dicabuti kukunya, bahkan disengat listrik.

Selain ruang interogasi, di bangunan lainnya, disediakan tembok khusus untuk menempel potret ribuan penghuni S-21. Sama halnya dengan foto tahanan pada umumnya, para korban S-21 disematkan nomor pada otot dadanya untuk menandai urutan masuknya orang tersebut ke S-21. Wajah-wajah yang ditampilkan dalam potret tersebut tentu saja menimbulkan kepiluan. Ada seorang anak yang wajahnya babak belur, seorang ibu yang menggendong bayinya, dan seorang tua yang sudah renta dan tampak tidak lagi mempunyai tenaga.

Penangkapan terhadap ribuan orang di Kamboja pada masa Khmer Merah benar-benar tidak memandang bulu. Tua, muda, perempuan, laki-laki, kalau ada gerakan yang mencurigakan atau laporan yang bernada mengancam, orang tersebut bisa segera diangkut dan dipaksa mengakui hal-hal yang bahkan tidak mereka ketahui.

Baca Juga: Brazen Bull, Mesin Pembunuh Keji Andalan Raja Tiran Yunani Kuno

2. DARI 12.000 ORANG, HANYA 15 ORANG YANG SELAMAT

Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja

Foto: Kirstie Brewer/BBC

Di antara 15 orang yang berhasil selamat, setidaknya ada dua orang yang masih hidup. Mengutip dari BBC , penyintas bernama Chum Mey dan Bou Meng membagikan kisahnya. Para pria berusia 80 tahunan itu turut mengabadikan ingatannya dalam bentuk memoar yang dijual seharga USD10 atau sekitar Rp140.000 untuk setiap kopinya.

Menurut Chum Mey, dirinya bekerja untuk Khmer Merah sebagai mekanik, tapi tiba-tiba, pada 28 Oktober 1978, dirinya dibawa ke S-21 dengan alasan yang tidak diketahuinya hingga kini. “Mataku ditutup dan tanganku diikat ke belakang, aku benar-benar memohon kepada penculikku untuk setidaknya membiarkanku memberitahu keluargaku agar mereka tidak tahu,” ujarnya.

Menurutnya, setibanya di S-21, dirinya dan tahanan lainnya langsung difoto lalu ditelanjangi dan dibelenggu. Dalam 12 hari setelah hari pertama penangkapannya, Chum Mey dikeluarkan dari selnya tiga kali sehari untuk disiksa dan diinterogasi di ruangan khusus. Chum Mey yang benar-benar tidak memahami alasan keberadaannya di S-21 dan tidak mengerti pertanyaan-pertanyaan yang penyidiknya utarakan hanya bisa menjawab apa adanya, yaitu, “Tidak tahu.”

Namun, karena siksaan yang sedemikian hebatnya, Chum Mey mengatakan bahwa dirinya pada akhirnya mulai mengatakan hal-hal yang ingin didengar oleh para penyidiknya saja. Ia bahkan tidak mengerti apakah yang diutarakannya itu salah atau benar. Pasalnya, kalau penyidik tersebut tidak mendapatkan pengakuan sebagaimana yang diperintahkan para atasan, para penyidik itulah yang akan dieksekusi.

Sama halnya dengan Chum Mey, Bou Meng yang disiksa dengan pukulan, tendangan, tusukan, bahkan setruman akhirnya mengakui dirinya sebagai bagian dari CIA dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan hati para penyidiknya guna menghentikan siksaan yang dihantamkan kepadanya.

Menurut pengakuannya kepada BBC, Bou Meng dibiarkan hidup karena kepandaiannya dalam melukis. Ketika kepala penjara, Duch, mengetahui bahwa dirinya adalah pelukis, ia memintanya mereproduksi foto Pol Pot dengan syarat lukisan dan fotonya harus mirip dan terlihat hidup. Kalau hasilnya tidak memuaskan, Bou Meng akan dibunuh. Meskipun Bou Meng berhasil bertahan hidup hingga sekarang, ia masih sering kali sedih ketika mengenang mendiang istrinya yang juga meninggal pada masa-masa kelam itu.

Chum Mey juga selamat berkat kepandaiannya dalam memperbaiki sesuatu. Menurut pengakuannya kepada BBC, dirinya mampu memperbaiki mesin tik yang pada saat itu sangat penting untuk keperluan menulis kesaksian.

3. DUKUNGAN UNTUK KORBAN S-21 DAN KELUARGANYA

Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja

Foto: ijrcenter.org

Dengan dibantu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Kamboja dibentuk sebuah pengadilan khusus bernama The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC). Mengutip dari United States Holocaust Memorial Museum , melalui ECCC, setidaknya ada tiga terdakwa yang dihukum.

Kendati demikian, pengadilan ini tetap mendapatkan kritik, baik dari dalam maupun luar Kamboja, karena ketidakpuasan terhadap kinerja ECCC. Pasalnya, sebelum sempat mendapat tindakan hukum, Pol Pot, pemimpin tertinggi sekaligus sosok yang menghadirkan kengerian selama bertahun-tahun, sudah meninggal terlebih dahulu.

Bahkan, ada pengikut Khmer Merah yang masih melenggang bebas dan menduduki posisi di pemerintahan Kamboja. Bagi masyarakat yang keluarganya menjadi korban S-21, tentu saja hal tersebut bukanlah hal mudah. Melihat sosok perenggut nyawa orang terkasih dapat hidup dengan tenang tanpa perasaan bersalah tentunya memberikan efek psikologis tersendiri.

Kendati demikian, pengadilan tersebut tetap dinilai efektif untuk menangani masalah S-21 dan pembantaian di Kamboja pada masa Khmer Merah. Terlepas dari upaya yang digencarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui ECCC, publik turut bahu-membahu untuk mengobati luka setelah kejadian di S-21.

Melansir dari United States Holocaust Memorial Museum , ada tiga upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, yaitu pendokumentasian, penyediaan layanan psikolog bagi para penyintas dan keluarganya, dan pemulihan kebudayaan.

Pendokumentasian dilakukan dengan didirikannya The Documentation Center of Cambodia (DC–Cam) pada tahun 1994 berkat dukungan dari lembaga-lembaga internasional. Sejak awal berdirinya, institusi tersebut mengumpulkan jutaan dokumen, artefak, dan berkas dari pemerintahan Kamboja, institusi di luar pemerintahan, dan donatur yang dirahasiakan.

Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Pemulihan kebudayaan dilakukan dengan membuka peluang dan memberikan wadah bagi masyarakat Kamboja untuk berekspresi melalui seni. Pada masa Khmer Merah, musik tradisional dan tarian Kamboja diredam dan diganti dengan lagu-lagu propaganda berbau politik. Akan tetapi, sekarang orang-orang di Kamboja sudah lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya melalui seni.

Yohanna Valerie Immanuella
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @yohannavalerie18
(ita)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1569 seconds (0.1#10.140)