Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Rabu, 04 September 2019 - 22:15 WIB
Belajar Filsafat, Beneran...
Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?
A A A
Filsafat sering dianggap sebagai ilmu yang berat dan membosankan. Belum lagi katanya bisa membawa kita jadi atheis. Emang, iya?

Kali pertama ketika mendengar kata filsafat, yang terlintas di benak banyak orang adalah “ilmu yang mengawang”, “abstrak”, “njelimet”, bahkan ada yang menganggap belajar filsafat membawa kita menjadi seorang yang enggak percaya Tuhan.

Saking banyaknya rumor tak sedap soal filsafat, banyak anak muda yang berusaha untuk menjauh, kalau perlu tak menyentuhnya walau hanya seujung kuku.

Padahal, filsafat adalah ibunya ilmu pengetahuan. Gara-gara filsafat lah, lahir ilmu-ilmu eksakta dan ilmu sosial lainnya.

Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Foto: centreofexcellence.com

Ilmu Memahami Hidup, Termasuk Percintaan!

Sebenarnya, belajar filsafat merupakan cara untuk kita memahami hakikat hidup yang hakiki. Filsafat mengajarkan kita untuk mencapai kehidupan yang penuh dengan kebijaksanaan baik di bidang sosial, politik, bahkan kebijaksanaan untuk urusan percintaan.

Ini sesuai dengan asal katanya yang dari bahasa Yunani, philosophia, yang secara harfiah bermakna pencinta kebijaksanaan.

Menurut A.C Grayling, dalam bukunya yang berjudul "Philosophy 1 : A Guide through the subject", definisi filsafat adalah kajian masalah umum dan mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, dan bahasa.

Kita sering kali bertemu nama-nama filsuf besar seperti Plato, Socrates, Aristoteles, Nietzsche, ataupun Marx. Nama tersebut yang sering kita temui di buku sekolah, perkuliahan atau pun novel.

Tapi tahukah kita mengapa nama-nama filsuf di atas sering kita dengar ataupun lihat? Apa sebenarnya yang dilakukan para filsuf? Bagaimana caranya mereka yang hidup ratusan tahun lalu, tapi hingga saat ini namanya tetap dikenang?

Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Foto: marriagearchitects.com

Bertanya = Berfilsafat

Ketika ingin mengetahui jawaban pertanyaan di atas, mungkin aja sedetik kemudian kita berpikir “males, ah, nyarinya”, “pasti ribet”, “pasti berat”, dan ungkapan lainnya.

Tapi tahukah kita, saat diri kita bertanya tentang suatu hal, itu sudah masuk ke dalam bagian berfilsafat, loh, yang secara tak sadar sering kita lakukan. Kok bisa?

Van Peursen, seorang filsuf dari Belanda pernah menyatakan bahwa filsafat sebagai seni untuk bertanya. Soalnya di dalam filsafat, manusia didorong untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang dibuatnya.

Kegiatan filsafat tidak bermaksud untuk membentuk keahlian, melainkan memperluas pandangan manusia dengan caranya sendiri.

Yuk, kita pake contoh yang gampang banget. Misalnya Joni lagu naksir Juleha, wanita cantik di kampusnya.

Joni berusaha keras untuk mendapatkan hati Juleha, dengan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana caranya untuk mendapatkan hati Juleha. Setelah melalui kontemplasi yang panjang, akhirnya Joni berhasil menemukan cara untuk menjawab pertanyaannya, dan alhasil Juleha jatuh cinta kepada Joni.

Dalam filsafat cara yang dilakukan Joni sejalan dengan yang disampaikan Aristoteles. Yaitu di dalam kegiatan manusia, filsafat dengan “rasa heran” sebagai perangsangnya menelusuri dan terus bertanya tentang hal apa yang harus dilakukannya.

Jadi sebenarnya filsafat erat kaitannya dengan kehidupan sehari – hari manusia, yang seringkali dilupakan keberadaannya karena asumsi “negatif” yang selama ini melekat di dalam filsafat.

Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Foto: ecampusnews.com

Manfaat Belajar Filsafat

Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya dunia ini tak bisa dipisahkan dari yang namanya filsafat. Menurut Plato, filsafat tak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

Jadi tak heran jika kita masuk ke dunia perkuliahan, mau itu jurusan hukum, politik, sosial, sampai pertanian, pasti akan diajarkan mata kuliah filsafat di dalamnya. Karena secara tak langsung mempelajari filsafat akan membuat seseorang untuk tetap berpikir kritis.

Dengan berpikir kritis, maka manusia akan terhindar dari anggapan bahwa pendapatnya lah yang paling benar.

Selain menambah daya kritis, belajar filsafat juga mampu membawa manusia menjadi manusia yang utuh.

Berarti selama ini kita enggak utuh, dong? Yang dimaksud dengan “manusia utuh” adalah yakni kemampuan untuk berpikir mendalam, rasional, dan komunikatif.

Manfaat lainnya adalah mampu melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas dan rasional. Karena salah satu aliran dalam filsafat yang bernama “rasionalisme” mengungkapkan bahwa kebenaran haruslah dtentukan melalui pembuktian serta logika yang berdasarkan fakta.

Nah sudah tahu, kan, bahwa filsafat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia, makanya, kuy, belajar filsafat!

Mohammad Faisal Reza
Kontributor GenSINDO
UPN Veteran Jakarta
Instagram : @mfaisalreza_
(her)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1646 seconds (0.1#10.140)