Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja
loading...
A
A
A
3. DUKUNGAN UNTUK KORBAN S-21 DAN KELUARGANYA
Foto: ijrcenter.org
Dengan dibantu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Kamboja dibentuk sebuah pengadilan khusus bernama The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC). Mengutip dari United States Holocaust Memorial Museum , melalui ECCC, setidaknya ada tiga terdakwa yang dihukum.
Kendati demikian, pengadilan ini tetap mendapatkan kritik, baik dari dalam maupun luar Kamboja, karena ketidakpuasan terhadap kinerja ECCC. Pasalnya, sebelum sempat mendapat tindakan hukum, Pol Pot, pemimpin tertinggi sekaligus sosok yang menghadirkan kengerian selama bertahun-tahun, sudah meninggal terlebih dahulu.
Bahkan, ada pengikut Khmer Merah yang masih melenggang bebas dan menduduki posisi di pemerintahan Kamboja. Bagi masyarakat yang keluarganya menjadi korban S-21, tentu saja hal tersebut bukanlah hal mudah. Melihat sosok perenggut nyawa orang terkasih dapat hidup dengan tenang tanpa perasaan bersalah tentunya memberikan efek psikologis tersendiri.
Kendati demikian, pengadilan tersebut tetap dinilai efektif untuk menangani masalah S-21 dan pembantaian di Kamboja pada masa Khmer Merah. Terlepas dari upaya yang digencarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui ECCC, publik turut bahu-membahu untuk mengobati luka setelah kejadian di S-21.
Melansir dari United States Holocaust Memorial Museum , ada tiga upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, yaitu pendokumentasian, penyediaan layanan psikolog bagi para penyintas dan keluarganya, dan pemulihan kebudayaan.
Pendokumentasian dilakukan dengan didirikannya The Documentation Center of Cambodia (DC–Cam) pada tahun 1994 berkat dukungan dari lembaga-lembaga internasional. Sejak awal berdirinya, institusi tersebut mengumpulkan jutaan dokumen, artefak, dan berkas dari pemerintahan Kamboja, institusi di luar pemerintahan, dan donatur yang dirahasiakan.
Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?
Pemulihan kebudayaan dilakukan dengan membuka peluang dan memberikan wadah bagi masyarakat Kamboja untuk berekspresi melalui seni. Pada masa Khmer Merah, musik tradisional dan tarian Kamboja diredam dan diganti dengan lagu-lagu propaganda berbau politik. Akan tetapi, sekarang orang-orang di Kamboja sudah lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya melalui seni.
Yohanna Valerie Immanuella
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @yohannavalerie18
Foto: ijrcenter.org
Dengan dibantu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Kamboja dibentuk sebuah pengadilan khusus bernama The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC). Mengutip dari United States Holocaust Memorial Museum , melalui ECCC, setidaknya ada tiga terdakwa yang dihukum.
Kendati demikian, pengadilan ini tetap mendapatkan kritik, baik dari dalam maupun luar Kamboja, karena ketidakpuasan terhadap kinerja ECCC. Pasalnya, sebelum sempat mendapat tindakan hukum, Pol Pot, pemimpin tertinggi sekaligus sosok yang menghadirkan kengerian selama bertahun-tahun, sudah meninggal terlebih dahulu.
Bahkan, ada pengikut Khmer Merah yang masih melenggang bebas dan menduduki posisi di pemerintahan Kamboja. Bagi masyarakat yang keluarganya menjadi korban S-21, tentu saja hal tersebut bukanlah hal mudah. Melihat sosok perenggut nyawa orang terkasih dapat hidup dengan tenang tanpa perasaan bersalah tentunya memberikan efek psikologis tersendiri.
Kendati demikian, pengadilan tersebut tetap dinilai efektif untuk menangani masalah S-21 dan pembantaian di Kamboja pada masa Khmer Merah. Terlepas dari upaya yang digencarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui ECCC, publik turut bahu-membahu untuk mengobati luka setelah kejadian di S-21.
Melansir dari United States Holocaust Memorial Museum , ada tiga upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, yaitu pendokumentasian, penyediaan layanan psikolog bagi para penyintas dan keluarganya, dan pemulihan kebudayaan.
Pendokumentasian dilakukan dengan didirikannya The Documentation Center of Cambodia (DC–Cam) pada tahun 1994 berkat dukungan dari lembaga-lembaga internasional. Sejak awal berdirinya, institusi tersebut mengumpulkan jutaan dokumen, artefak, dan berkas dari pemerintahan Kamboja, institusi di luar pemerintahan, dan donatur yang dirahasiakan.
Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?
Pemulihan kebudayaan dilakukan dengan membuka peluang dan memberikan wadah bagi masyarakat Kamboja untuk berekspresi melalui seni. Pada masa Khmer Merah, musik tradisional dan tarian Kamboja diredam dan diganti dengan lagu-lagu propaganda berbau politik. Akan tetapi, sekarang orang-orang di Kamboja sudah lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya melalui seni.
Yohanna Valerie Immanuella
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @yohannavalerie18
(ita)