Diskriminasi Tetap Ada, Perjuangan Hak Perempuan Masih Panjang!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kaum perempuan di seluruh dunia akan memperingati International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional) pada 8 Maret mendatang. Meski diperingati tiap tahun, tapi hak-hak perempuan masih banyak terpinggirkan.
Dimulai sejak 1977 oleh PBB, International Women’s Day (IWD) tahun ini mengambil tema "Women in leadership: Achieving an equal future in a COVID-19 world", yang menandakan peran perempuan yang secara aktif terlibat dalam penanganan pandemi.
Sementara para aktivis juga mengusung tema “Choose To Challenge” untuk mendorong kaum perempuan di seluruh dunia menentang ketidakadilan dan bias gender.
Hingga saat ini, diskriminasi terhadap perempuan memang masih terus terulang. Anggapan bahwa perempuan hanya berperan di kasur, dapur, dan sumur masih lekat tertanam pada pikiran sebagian masyarakat di Indonesia.
Foto: Pixabay
Diskriminasi di berbagai sektor seolah membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya, pada bidang organisasi atau tempat kerja, beberapa kelompok masih meragukan kemampuan perempuan untuk memimpin.
Walaupun memiliki potensi memimpin, mereka akan tergantikan jika masih ada laki-laki dalam organisasi atau tempat kerja tersebut. Belum lagi masalah kekerasan seksual yang angkanya masih cukup tinggi.
Mengutip laman un.org, satu dari lima perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan seksual. Tingginya angka kekerasan dan diskriminasi yang diterima perempuan akhirnya menciptakan poin penting tentang kesetaraan gender yang diakui dalam pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG).
Sayangnya, hal ini tidak direspons dengan baikoleh beberapa kalangan. Mereka beranggapan kesetaraan gender akan menggantikan peran laki-laki karena adanya dominasi perempuan.
Foto: Pixabay
Padahal poin penting dari kesetaraan gender yang terkandung dalam SDG adalah menciptakan pemberdayaan perempuan, menghapus praktik kekerasan dan perdagangan manusia, mencegah pernikahan dini, serta mewujudkan kesempatan yang sama bagi perempuan di sektor politik, ekonomi, dan publik.
Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender
Istilah gender dan jenis kelamin (sex) kerap diartikan sama. Padahal keduanya punya makna berbeda. Menurut Canadian Institutes of Health Research, jenis kelamin adalah sifat biologis yang dibawa sejak lahir yang biasanya berhubungan dengan fisik.
Misalnya, kromosom penyusun pada tubuh manusia, genetik, tingkat dan fungsi hormon, serta anatomi reproduksi seksual antara laki-laki dan perempuan. Hal ini umumnya tidak dapat diubah dan terbentuk secara alamiah sejak lahir.
Sedangkan gender adalah peran, perilaku, ekspresi, dan identitas yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Sterotip inilah yang pada akhirnya akan memengaruhi cara seseorang berinteraksi, bertindak, hingga pembagian sistem kekuasaan di dalam masyarakat.
Baca Juga: 5 Bentuk Diskriminasi yang Sering Terjadi di Indonesia
Bedanya, stereotip tentang gender dapat berubah mengikuti persepsi yang berkembang di dalam masyarakat.
Foto: Pixabay
Kebiasaan yang Menjadi Budaya
Seperti telah disebut di atas, diskriminasi gender yang masih sering ditemui di Indonesia adalah peran perempuan dalam memimpin sebuah organisasi atau kelompok yang kerap diragukan.
Tanpa sadar kebiasaan ini turun temurun diwariskan. Setidaknya, inilah yang dirasakan oleh sebut saja A, mahasiswi di sebuah kampus di Jakarta yang menyaksikan seringnya mahasiswi menjadi korban bias gender.
“Di kampus enggak bisa jadi ketua karena perempuan, lalu ruang geraknya juga terbatas,” ucapnya.
Meskipun dalam organisasi tidak secara gamblang dikatakan bahwa perempuan tidak boleh memimpin, tapi karena keterbatasan yang diberikan membuat anggota perempuan ragu untuk mencoba mengambil peluang menjadi seorang pemimpin organisasi.
“Sudah seperti peraturan yang tidak tertulis, bahwa pemimpin organisasi itu harus laki-laki. Jadi kayak udah di-plotting dari awal masuk,” jelasnya.
Foto: Pixabay
Karena hal tersebut sudah jadi tradisi di kampus, ditambah sikap skeptis dari lingkungan sekitar, menurut A jadi sangat sulit untuk mengubah kebiasaan ini. Perlu ada keberanian dan kerja sama semua pihak dalam mengutarakan pendapat yang bisa mengubah sistem.
“Gue merasa enggak bisa mengubah sistem ini sendirian. Jadi, ya, udah. Soalnya suara gue enggak bakal didengar kalau bicara sendiri doang.” ucapnya.
Baca Juga: Penyebab Maraknya Tuduhan Bullying Seleb Korea, dan Kemungkinan Nasib Karier Mereka
A berharap, bahwa kaum perempuan mau bersama-sama berani mengutarakan pendapatnya.
“Pengen lebih banyak perempuan yang speak up dan lebih berani. Lebih aware juga dengan kondisi ketimpangan gender,” harapnya.
GenSINDO
Eka Sarmila
Universitas Negeri Jakarta
Dimulai sejak 1977 oleh PBB, International Women’s Day (IWD) tahun ini mengambil tema "Women in leadership: Achieving an equal future in a COVID-19 world", yang menandakan peran perempuan yang secara aktif terlibat dalam penanganan pandemi.
Sementara para aktivis juga mengusung tema “Choose To Challenge” untuk mendorong kaum perempuan di seluruh dunia menentang ketidakadilan dan bias gender.
Hingga saat ini, diskriminasi terhadap perempuan memang masih terus terulang. Anggapan bahwa perempuan hanya berperan di kasur, dapur, dan sumur masih lekat tertanam pada pikiran sebagian masyarakat di Indonesia.
Foto: Pixabay
Diskriminasi di berbagai sektor seolah membatasi ruang gerak perempuan. Misalnya, pada bidang organisasi atau tempat kerja, beberapa kelompok masih meragukan kemampuan perempuan untuk memimpin.
Walaupun memiliki potensi memimpin, mereka akan tergantikan jika masih ada laki-laki dalam organisasi atau tempat kerja tersebut. Belum lagi masalah kekerasan seksual yang angkanya masih cukup tinggi.
Mengutip laman un.org, satu dari lima perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan seksual. Tingginya angka kekerasan dan diskriminasi yang diterima perempuan akhirnya menciptakan poin penting tentang kesetaraan gender yang diakui dalam pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG).
Sayangnya, hal ini tidak direspons dengan baikoleh beberapa kalangan. Mereka beranggapan kesetaraan gender akan menggantikan peran laki-laki karena adanya dominasi perempuan.
Foto: Pixabay
Padahal poin penting dari kesetaraan gender yang terkandung dalam SDG adalah menciptakan pemberdayaan perempuan, menghapus praktik kekerasan dan perdagangan manusia, mencegah pernikahan dini, serta mewujudkan kesempatan yang sama bagi perempuan di sektor politik, ekonomi, dan publik.
Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender
Istilah gender dan jenis kelamin (sex) kerap diartikan sama. Padahal keduanya punya makna berbeda. Menurut Canadian Institutes of Health Research, jenis kelamin adalah sifat biologis yang dibawa sejak lahir yang biasanya berhubungan dengan fisik.
Misalnya, kromosom penyusun pada tubuh manusia, genetik, tingkat dan fungsi hormon, serta anatomi reproduksi seksual antara laki-laki dan perempuan. Hal ini umumnya tidak dapat diubah dan terbentuk secara alamiah sejak lahir.
Sedangkan gender adalah peran, perilaku, ekspresi, dan identitas yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Sterotip inilah yang pada akhirnya akan memengaruhi cara seseorang berinteraksi, bertindak, hingga pembagian sistem kekuasaan di dalam masyarakat.
Baca Juga: 5 Bentuk Diskriminasi yang Sering Terjadi di Indonesia
Bedanya, stereotip tentang gender dapat berubah mengikuti persepsi yang berkembang di dalam masyarakat.
Foto: Pixabay
Kebiasaan yang Menjadi Budaya
Seperti telah disebut di atas, diskriminasi gender yang masih sering ditemui di Indonesia adalah peran perempuan dalam memimpin sebuah organisasi atau kelompok yang kerap diragukan.
Tanpa sadar kebiasaan ini turun temurun diwariskan. Setidaknya, inilah yang dirasakan oleh sebut saja A, mahasiswi di sebuah kampus di Jakarta yang menyaksikan seringnya mahasiswi menjadi korban bias gender.
“Di kampus enggak bisa jadi ketua karena perempuan, lalu ruang geraknya juga terbatas,” ucapnya.
Meskipun dalam organisasi tidak secara gamblang dikatakan bahwa perempuan tidak boleh memimpin, tapi karena keterbatasan yang diberikan membuat anggota perempuan ragu untuk mencoba mengambil peluang menjadi seorang pemimpin organisasi.
“Sudah seperti peraturan yang tidak tertulis, bahwa pemimpin organisasi itu harus laki-laki. Jadi kayak udah di-plotting dari awal masuk,” jelasnya.
Foto: Pixabay
Karena hal tersebut sudah jadi tradisi di kampus, ditambah sikap skeptis dari lingkungan sekitar, menurut A jadi sangat sulit untuk mengubah kebiasaan ini. Perlu ada keberanian dan kerja sama semua pihak dalam mengutarakan pendapat yang bisa mengubah sistem.
“Gue merasa enggak bisa mengubah sistem ini sendirian. Jadi, ya, udah. Soalnya suara gue enggak bakal didengar kalau bicara sendiri doang.” ucapnya.
Baca Juga: Penyebab Maraknya Tuduhan Bullying Seleb Korea, dan Kemungkinan Nasib Karier Mereka
A berharap, bahwa kaum perempuan mau bersama-sama berani mengutarakan pendapatnya.
“Pengen lebih banyak perempuan yang speak up dan lebih berani. Lebih aware juga dengan kondisi ketimpangan gender,” harapnya.
GenSINDO
Eka Sarmila
Universitas Negeri Jakarta
(ita)