Hati-Hati! Kerja Keras Bisa Berbahaya bagi Kebahagiaan Hidupmu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat pandemi dimulai, banyak webinaratautalkshow online muncul untuk membuat kita tetap produktif walaupun di rumah saja. Padahal dalam kenyataannya tugas kuliah yang banyak sudah membuat kita sangat sibuk.
Selain itu, tak jarang para karyawan yang bekerja dari rumah (work from home) mengeluhkan pekerjaan yang mereka terima seperti tidak mengenal waktu. Karyawan yang melakukan pekerjaan dari rumah dituntut tetap melaksanakan tugasnya kapan pun, karena ketika di rumah waktu dianggap jadi lebih banyak dan fleksibel.
Kita dituntut untuk melakukan banyak pekerjaan dalam satu hari bahkan dalam satu waktu. Dengan dalih, walaupun di rumah saja kita harus tetap melakukan sesuatu agar dapat mencapai kesuksesan. Hal seperti ini bisa disebut dengan hustle culture.
Foto: Shutterstock
Hustle Culture adalah kebudayaan atau standar sosial ketika kita ingin mencapai kesuksesan, maka kita harus mengerahkan diri kita untuk bekerja keras. Setiap hari, bahkan saat akhir pekan, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, digunakan pula untuk melakukan pekerjaan.
Budaya ini diperkuat dengan banyaknyaunggahan-unggahan di media sosial yang mengagungkan kesuksesan, tak lupa dengan contoh tokoh–tokoh seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, atau Elon Musk.
Pengagungan tersebut menyebabkan banyak orang merasa hustle culture merupakan hal yang baik, sampai orang–orang tidak mempunyai waktu untuk mengeksplorasi hobi, berkumpul bersama keluarga, juga liburan.
Foto: Facebook hustleculturelk
Padahal mengabdikan waktu sepenuhnya untuk bekerja bisa sangat berbahaya. Di Jepang, lima karyawan punya risiko meninggal karena terlalu banyak bekerja. Tahun 2011, satu jurnalis meninggal karena terlalu 'gila kerja'.
Pada2015, pemuda berusia 24 tahun meninggal karena stres bekerja terlalu lama. Dia hanya tidur 10 Jam per minggu. Pada 2016, ada 2000 kasus bunuh diri karena stres dengan pekerjaan .
Mengutip dari video YouTube Gita Savitri Devi yang berjudul “ Everything Wrong with Hustle Culture ”, hustle culture merupakan buah dari kapitalisme modern.
Orang – orang rela menghabiskan waktunya untuk uang karena pemerintahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau. Akhirnya orang–orang ini terus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sampai menjadi gaya hidup.
Foto: The Burning Platform
Gaya hidup ini akhirnya membuat orang – orang dengan pola pikir hustle culture berfikir bahwa dengan bekerja keras mereka akan meraih kesuksesan. Padahal faktor kesuksesan bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang keberuntungan serta privilese. Hustle culture juga menyebabkan manusia hanya dinilai dari pekerjaan dan kesuksesan finansial saja.
Hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, seakan bukan hal yang penting lagi. Padahal manusia hidup di bumi tidak bisa tidak berdampingan dengan manusia lainnya dan alam juga tentunya.
Baca Juga: Sekilas tentang 'Online Vigilance', Kebiasaan yang Bisa Bikin Kamu Cepat Panik dan Stres
Gita dalam videonya menambahkan bahwa hustle culturemerupakan permasalahan sistematik. Kita dituntut untuk memiliki rumah, kendaraan pribadi, dan sebagainya yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Hal ini menyebabkan banyak dari kita yang belajar untuk uang, bukan untuk mendapatkan ilmu.
Foto: YouTube Gita Savitri Devi
John Steinbeck lewat bukunya "Of Mice and Men" menceritakan melalui kisah George dan Lanny tentang permasalahan sistematik ini. George dan Lanny merupakan pekerja di sebuah peternakan milik seseorang. Mereka selalu giat dalam bekerja, karena bagi mereka dengan bekerja, nantinya mereka akan punya ladang sendiri.
Namun, kisah tersebut tidak berujung seperti harapan mereka. John Steinbeck memperlihatkan harapan-harapan mereka memiliki ladang, rumah, atau peternakan sendiri tidak akan bisa tercapai. Mereka akan selamanya dalam keadaan seperti itu, karena harga tanah begitu tinggi dan mereka tak mampu untuk membayarnya.
Selain itu, tak jarang para karyawan yang bekerja dari rumah (work from home) mengeluhkan pekerjaan yang mereka terima seperti tidak mengenal waktu. Karyawan yang melakukan pekerjaan dari rumah dituntut tetap melaksanakan tugasnya kapan pun, karena ketika di rumah waktu dianggap jadi lebih banyak dan fleksibel.
Kita dituntut untuk melakukan banyak pekerjaan dalam satu hari bahkan dalam satu waktu. Dengan dalih, walaupun di rumah saja kita harus tetap melakukan sesuatu agar dapat mencapai kesuksesan. Hal seperti ini bisa disebut dengan hustle culture.
Foto: Shutterstock
Hustle Culture adalah kebudayaan atau standar sosial ketika kita ingin mencapai kesuksesan, maka kita harus mengerahkan diri kita untuk bekerja keras. Setiap hari, bahkan saat akhir pekan, waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat, digunakan pula untuk melakukan pekerjaan.
Budaya ini diperkuat dengan banyaknyaunggahan-unggahan di media sosial yang mengagungkan kesuksesan, tak lupa dengan contoh tokoh–tokoh seperti Mark Zuckerberg, Steve Jobs, atau Elon Musk.
Pengagungan tersebut menyebabkan banyak orang merasa hustle culture merupakan hal yang baik, sampai orang–orang tidak mempunyai waktu untuk mengeksplorasi hobi, berkumpul bersama keluarga, juga liburan.
Foto: Facebook hustleculturelk
Padahal mengabdikan waktu sepenuhnya untuk bekerja bisa sangat berbahaya. Di Jepang, lima karyawan punya risiko meninggal karena terlalu banyak bekerja. Tahun 2011, satu jurnalis meninggal karena terlalu 'gila kerja'.
Pada2015, pemuda berusia 24 tahun meninggal karena stres bekerja terlalu lama. Dia hanya tidur 10 Jam per minggu. Pada 2016, ada 2000 kasus bunuh diri karena stres dengan pekerjaan .
Mengutip dari video YouTube Gita Savitri Devi yang berjudul “ Everything Wrong with Hustle Culture ”, hustle culture merupakan buah dari kapitalisme modern.
Orang – orang rela menghabiskan waktunya untuk uang karena pemerintahnya tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya dengan harga yang terjangkau. Akhirnya orang–orang ini terus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sampai menjadi gaya hidup.
Foto: The Burning Platform
Gaya hidup ini akhirnya membuat orang – orang dengan pola pikir hustle culture berfikir bahwa dengan bekerja keras mereka akan meraih kesuksesan. Padahal faktor kesuksesan bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang keberuntungan serta privilese. Hustle culture juga menyebabkan manusia hanya dinilai dari pekerjaan dan kesuksesan finansial saja.
Hubungan manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, seakan bukan hal yang penting lagi. Padahal manusia hidup di bumi tidak bisa tidak berdampingan dengan manusia lainnya dan alam juga tentunya.
Baca Juga: Sekilas tentang 'Online Vigilance', Kebiasaan yang Bisa Bikin Kamu Cepat Panik dan Stres
Gita dalam videonya menambahkan bahwa hustle culturemerupakan permasalahan sistematik. Kita dituntut untuk memiliki rumah, kendaraan pribadi, dan sebagainya yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Hal ini menyebabkan banyak dari kita yang belajar untuk uang, bukan untuk mendapatkan ilmu.
Foto: YouTube Gita Savitri Devi
John Steinbeck lewat bukunya "Of Mice and Men" menceritakan melalui kisah George dan Lanny tentang permasalahan sistematik ini. George dan Lanny merupakan pekerja di sebuah peternakan milik seseorang. Mereka selalu giat dalam bekerja, karena bagi mereka dengan bekerja, nantinya mereka akan punya ladang sendiri.
Namun, kisah tersebut tidak berujung seperti harapan mereka. John Steinbeck memperlihatkan harapan-harapan mereka memiliki ladang, rumah, atau peternakan sendiri tidak akan bisa tercapai. Mereka akan selamanya dalam keadaan seperti itu, karena harga tanah begitu tinggi dan mereka tak mampu untuk membayarnya.