Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Kamis, 07 Mei 2020 - 21:00 WIB
loading...
Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan
Teknologi internet yang makin canggih membuat semua orang bisa bicara, sekaligus menenggelamkan pendapat pakar. Foto/deposit photos
A A A
JAKARTA - Kamu sadar gak, bahwa internet termasuk di dalamnya media sosial, bikin orang-orang seolah tahu segalanya dan jadi pakar segala bidang? Padahal, sih, pendapatnya ngaco berat.

Perkembangan teknologi memang bikin persebaran informasi gampang terjadi. Sayangnya, hal ini gak dibarengi dengan kemampuan banyak orang untuk menyaring dan kritis pada informasi yang diterimanya.

Pada era ini, ketika semua orang bebas menyampaikan pendapat dan pikirannya di mana-mana, maka banyak yang menjelma menjadi pakar dadakan.

Gimana fenomena ini bisa terjadi dan kenapa demikian? Tom Nichols, profesor dari U.S. Naval War College, Harvard Extension School dalam bukunya yang berjudul “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters” mencoba memaparkannya.

Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Foto:Oxford University Press USA

Dalam bukunya, Tom Nichols menyoroti efek Dunning-Kruger dan bias konfirmasi yang menjangkit banyak orang. Efek Dunning-Kruger adalah suatu bias kognitif saat seseorang yang gak punya kemampuan yang cukup mengalami superioritas ilusif, yaitu ia merasa kemampuannya lebih hebat dibanding orang lain pada umumnya.

Hal ini biasanya terjadi pada orang yang baru mempelajari suatu pengetahuan. Saking semangatnya, maka ia merasa bahwa ia sudah punya pengetahuan segudang dibanding orang lain.

Padahal, pengetahuan yang dimilikinya itu belum seberapa dibanding dengan pengetahuan yang ada. Efek Dunning-Kruger diilustrasikan melalui grafik berikut:

Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Foto: flofinder.com

Orang-orang dengan efek Dunning-Kruger punya lahan untuk menyebarluaskan pengetahuannya di internet yang gak terbatas. Karena gak ada yang mengkurasi apapun yang mereka sampaikan di sana, maka mereka bebas menyampaikan apa pun, seberapa pun gak masuk akal dan konyolnya pendapat itu.

Akibatnya, gak sedikit informasi yang tersebar, tapi substansinya gak terjamin benar. Bisa jadi dangkal, kurang tepat konteksnya, atau kurang menyeluruh penyampaiannya.

Efek Dunning-Kruger ini diamplifikasi dengan kecenderungan manusia untuk melakukan bias konfirmasi. Pada era banjir informasi, mayoritas orang bakal memilih untuk lebih peduli dan percaya pada informasi yang mereka sukai aja atau sesuai dengan yang mereka pikirkan dan yakini, tanpa peduli bukti-bukti empiris yang ada.

Orang-orang ini kemudian berbondong-bondong menyampaikan persetujuannya dan melipatgandakan pengaruh dari orang-orang yang terjangkit efek Dunning-Kruger.

Hal tersebut bikin orang-orang dengan efek Dunning-Kruger, dengan segala pemikiran dan pendapatnya yang belum terjamin substansinya, menjadi terkenal dan menjelma menjadi seorang pakar dadakan.

Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Foto: JamesClear.com

Para pakar dadakan ini muncul dengan pengaruh yang besar, misalnya kalau di media sosialnya banyak follower-nya, yang akhirnya bikin mereka perlahan-lahan menggeser para pakar sungguhan yang telah menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk mempelajari pengetahuan dan melakukan penelitian.

Nah, di sinilah pendidikan seharusnya bisa berperan untuk meminimalisir fenomena tersebut. Caranya dengan memberi gambaran akan luasnya ilmu pengetahuan yang bisa terus dikembangkan, dan memberi pemahaman bahwa setiap informasi harus disikapi dengan kritis.

Sayangnya, boro-boro membentuk seorang pembelajar yang kritis dan punya semangat untuk terus belajar seumur hidupnya, menurut Tom Nichols, pendidikan saat ini malah menghasilkan orang-orang yang merasa pintar dan percaya diri meski cuma modal gelar aja.

Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Foto: worldbank.org

Selain pendidikan, pers juga seharusnya bisa berperan dalam menyikapi fenomena tersebut. Media massa mestinya bisa jadi jembatan antara ketidaktahuan dengan pengetahuan lewat penyampaian informasi tepercaya yang disampaikannya.

Sayangnya, makin ke sini, fungsi utama pers untuk masyarakat bukan lagi sebagai ladang informasi yang kredibel dan mencerahkan, tapi malah jadi ladang hiburan dan pemuas nafsu banal pembaca demi memperpanjang bisnis atau umurnya.

Akibatnya, banyak konten yang disampaikan oleh pers lebih bersifat menghibur ketimbang informatif, malah kadang ikut menyebar berita menyesatkan. Ini didukung dengan adanya oknum jurnalis yang malas melakukan verifikasi informasi.

Mereka hanya mengumpulkan informasi, kemudian menyalurkannya kepada pembaca atau penonton, tanpa mengkritisi atau menelaahnya terlebih dahulu apakah informasi tersebut layak disebarkan atau gak.

Matinya Kepakaran dan Munculnya Para Ahli Dadakan

Foto: Thomas Charters/Unsplash

Fungsi dari pendidikan dan pers tersebut, kalau dijalankan secara ideal, akan makin maksimal kalau setiap orang juga tetap skeptis dan terbiasa melakukan pengujian sebelum mempercayai informasi yang diterimanya.

"The Art of Expertise" ditulis Tom Nichols dengan menilik kondisi sosial di Amerika. Tapi kalo melihat Indonesia saat ini, rasanya situasinya gak berbeda jauh.

Peredaran hoaks dan disinformasi yang gak terbendung, banyaknya buzzer politik yang berceceran di media sosial, dan agresivitas respons masyarakat terhadap suatu informasi yang beredar, rasanya buku ini juga pas untuk kondisi Indonesia saat ini.

Iffah Sulistyawati Hartana
Kontributor GenSINDO
Institut Teknologi Bandung
Instagram: @iffahshrtn
(it)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1728 seconds (0.1#10.140)