Rayakan 70 Tahun, Kembar Noorca dan Yudhistira Massardi Rilis Buku Puisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seniman kembar Noorca M. Massardi dan Yudhistira A.N.M. Massardi meluncurkan buku puisi, masing-masing berisi 70 judul untuk merayakan ulang tahun mereka yang ke-70.
Bertajuk 70 Tahun Si Kembar, Noorca meluncurkan buku puisi berjudul Dari Paris Untuk Cinta, sedangkan Yudhistira merilis Kita Seperti Dedaun. Dua buku ini diluncurkan tepat saat hari ulang tahun keduanya pada 28 Februari 2024 di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia.
Selain peluncuran buku, acara juga diisi oleh diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Maman Mahayana, pembacaan puisi oleh para tokoh, serta musikalisasi puisi oleh Soloensis dan kelompok Gayatri.
Maman Mahayana yang mengulas buku puisi Yudhistira Massardi menyatakan bahwa jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini, Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan - meminjam istilah Rendra -penyair salon.
“Ia tidak teralienasi dari problem yang muncul di lingkungan masyarakatnya. Yudhistira juga tidak asyik-masyuk tenggelam dalam perburuan model estetik untuk kepentingan puisi itu sendiri atau bahkan menawarkan metafora yang maknanya terkunci di lemari besi," kata Maman, mengutip dari siaran pers.
Lebih lanjut, Maman berujar meskipun puisi-puisi Yudhistira tidak lantang menyuarakan kemarahannya atau setidak-tidaknya, kencang menyampaikan kritik sosial, ia merasa terpanggil untuk menyuarakan pesan kemanusiaannya. Maman menjabarkan bahwa puisi di buku ini sebagian besarnya disusun lewat larik-larik pendek, sebagiannya lagi bermain dengan larik-larik panjang.
Di antara itu, Yudhistira kerap bersiasat melakukan enjambemen, yaitu pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi.
Adapun Seno Gumira Ajidarma yang mengulas buku Noorca Massardi, mengatakan bahwa kumpulan puisi ini adalah sebuah memoar. Dalam rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atau peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya.
Memoar juga memusatkan perhatian kepada pemikiran dan perasaan penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut; apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka meleburkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam hidup mereka.
Sajak-sajak dalam buku ini, yang sebagian besar berjudul nama-nama tempat, yang menjadi bagian dari kenangan ‘ku’ bersama ‘mu’ menjadi pemantik bagi representasi cinta. Cinta yang bukan hanya dikenang, tetapi juga dihayati, dijaga, bahkan dihidupkan, dengan sebisa mungkin mengungkap kembali pesona, ketakjuban, dan kebahagiaan, yang kalaupun tidak sama, pencapaiannya setara.
“Cinta yang menjadi inti kumpulan sajak Noorca ini tidak sekadar diungkap dalam metafor, tetapi menjadi dunia yang dihidupi, dunia cinta, tempat apa pun itu, subjek apa pun itu, makanan apa pun itu, kehadirannya hanya relevan dalam kerangka cinta," ujar Seno.
"Hubungan romantik itu seperti diserap Paris, untuk dimunculkan kembali sebagai Paris yang hanya menjadi milik ‘ku’ dan ‘mu’,” imbuh Seno.
Bertajuk 70 Tahun Si Kembar, Noorca meluncurkan buku puisi berjudul Dari Paris Untuk Cinta, sedangkan Yudhistira merilis Kita Seperti Dedaun. Dua buku ini diluncurkan tepat saat hari ulang tahun keduanya pada 28 Februari 2024 di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia.
Selain peluncuran buku, acara juga diisi oleh diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Maman Mahayana, pembacaan puisi oleh para tokoh, serta musikalisasi puisi oleh Soloensis dan kelompok Gayatri.
Baca Juga
Maman Mahayana yang mengulas buku puisi Yudhistira Massardi menyatakan bahwa jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini, Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan - meminjam istilah Rendra -penyair salon.
“Ia tidak teralienasi dari problem yang muncul di lingkungan masyarakatnya. Yudhistira juga tidak asyik-masyuk tenggelam dalam perburuan model estetik untuk kepentingan puisi itu sendiri atau bahkan menawarkan metafora yang maknanya terkunci di lemari besi," kata Maman, mengutip dari siaran pers.
Lebih lanjut, Maman berujar meskipun puisi-puisi Yudhistira tidak lantang menyuarakan kemarahannya atau setidak-tidaknya, kencang menyampaikan kritik sosial, ia merasa terpanggil untuk menyuarakan pesan kemanusiaannya. Maman menjabarkan bahwa puisi di buku ini sebagian besarnya disusun lewat larik-larik pendek, sebagiannya lagi bermain dengan larik-larik panjang.
Di antara itu, Yudhistira kerap bersiasat melakukan enjambemen, yaitu pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi.
Adapun Seno Gumira Ajidarma yang mengulas buku Noorca Massardi, mengatakan bahwa kumpulan puisi ini adalah sebuah memoar. Dalam rumusan yang lebih canggih, memoar adalah kenangan-kenangan bertumbuh dan berkembang, atau peristiwa-peristiwa yang dengan suatu cara berakibat kepada penulisnya.
Memoar juga memusatkan perhatian kepada pemikiran dan perasaan penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut; apa yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka meleburkan pengalaman-pengalaman itu ke dalam hidup mereka.
Sajak-sajak dalam buku ini, yang sebagian besar berjudul nama-nama tempat, yang menjadi bagian dari kenangan ‘ku’ bersama ‘mu’ menjadi pemantik bagi representasi cinta. Cinta yang bukan hanya dikenang, tetapi juga dihayati, dijaga, bahkan dihidupkan, dengan sebisa mungkin mengungkap kembali pesona, ketakjuban, dan kebahagiaan, yang kalaupun tidak sama, pencapaiannya setara.
“Cinta yang menjadi inti kumpulan sajak Noorca ini tidak sekadar diungkap dalam metafor, tetapi menjadi dunia yang dihidupi, dunia cinta, tempat apa pun itu, subjek apa pun itu, makanan apa pun itu, kehadirannya hanya relevan dalam kerangka cinta," ujar Seno.
"Hubungan romantik itu seperti diserap Paris, untuk dimunculkan kembali sebagai Paris yang hanya menjadi milik ‘ku’ dan ‘mu’,” imbuh Seno.
(ita)