CERMIN: Melihat Dunia Buku Bekerja di Amerika
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2015. Dalam wawancaranya dengan Goethe Institut, penulis perempuan Feby Indirani menceritakan kesulitan menjadi penulis buku di negeri yang tingkat melek hurufnya justru sudah mencapai 93%.
Feby yang mantan jurnalis di sebuah stasiun televisi berkisah tentang bagaimana ia dianggap gila ketika meninggalkan pekerjaan mapan untuk bekerja penuh sebagai penulis. Tentu saja menjadi penulis, sebagaimana profesi lainnya, juga punya kesulitannya sendiri.
Buat Feby, salah satu masalah yang dihadapinya dan belum terpecahkan sembilan tahun setelah wawancara itu diterbitkan adalah, bahwa di Indonesia belum ada agen penulis yang mumpuni yang bisa mengurus segala tetek bengek keperluan penulis.
Kisah seorang penulis dengan segala likunya berjibaku dengan hidup dan keinginan untuk sukses belum banyak diangkat dalam cerita film atau serial Indonesia. Sementara di Amerika sudah cukup banyak film yang memajang kisah-kisah menarik semacam itu, yang paling baru adalah American Fiction yang baru saja beroleh 5 nomine Oscar.
Foto: Amazon MGM Studios
American Fiction yang tayang di Prime Video menjadi jendela bagi kita melihat dunia buku bekerja di Amerika. Kita bertemu dengan karakter utamanya, Thelonius “Monk” Ellison, seorang penulis frustasi sekaligus profesor di salah satu universitas, yang baru saja dipecat.
Berbeda dengan Feby, Monk justru sudah punya agen penulis yang mengurus sejak awal kariernya, meskipun belum satu pun buku-buku yang dihasilkannya meraih sukses komersial. Tapi Arthur, sang agen, setia mendampinginya pada saat Monk justru semakin goyah dengan kepercayaannya terhadap diri sendiri.
Begitupun Monk menghadapi masalah yang sama dengan Feby. Rupanya tidak di Amerika, juga di Indonesia, penerbit selalu haus dengan tema-tema populer. Salah satu novel yang dihasilkannya berjudul The Persian meski dipuji kritikus karena dianggap sebagai “pengerjaan ulang yang menarik dari sebuah tragedi Yunani yang masih kabur” itu toh tetap saja tidak menghasilkan uang.
Dalam kondisi depresi, Monk memilih pulang kampung dan bertemu dengan keluarga yang sesungguhnya sudah dihindarinya sejak puluhan tahun sebelumnya.
Monk pun melakukan sebuah hal di luar dugaan: mengolok-olok dirinya sendiri dengan menulis novel yang keras-kasar dan menggambarkan kehidupan kaum terpinggirkan Afrika-Amerika yang sesungguhnya tak pernah dicicipinya. Seperti sudah diduga, novel sejenis tersebut langsung diminati penerbit dan studio yang tertarik mengadaptasinya menjadi film.
Foto: Amazon MGM Studios
Kondisi yang dihadapi Monk juga dialami Feby yang bisa jadi sering kali berada di persimpangan: tetap dengan idealisme menghasilkan karya-karya bermutu atau bersiasat dengan selera pasar demi segepok uang untuk menyambung hidup.
Meski diterbitkan 23 tahun lalu, novel Erasure karya Percival Everett yang menjadi dasar dari American Fiction masih relevan hingga hari ini. Kita melihat bagaimana industri buku di seluruh dunia nyaris selalu bergulat dengan masalah yang sama.
Dalam lima tahun belakangan, dunia perbukuan Indonesia dibanjiri novel-novel adaptasi cerita bersambung di Wattpad yang secara kualitas sebagian besar mengecewakan. Namun selalu menarik perhatian para produser terutama dari rumah produksi besar untuk mengadaptasinya menjadi film atau serial.
Erasure menjadi sebuah kritik pedas bagi industri buku sekaligus menjadi refleksi bagi para pelaku untuk melihat kembali apa sesungguhnya alasan mereka ketika menerbitkan sebuah buku. Hanya karena faktor komersial atau masih ada yang mempertahankan nilai-nilai universal dari sebuah tulisan yang dirasa perlu dibagikan ke pembaca.
Demikian pula dengan penulis yang memilih sekadar menjadi robot untuk menulis karya yang dirasakannya akan disukai pembaca atau diminta oleh penerbit, tanpa peduli dengan kualitas karya maupun nilai-nilai yang ingin dibagikannya.
Foto:Amazon MGM Studios
Erasure tak termasuk novel laris, tapi toh nilai-nilai yang ada di dalamnya yang menggugah sutradara Cord Jefferson untuk mengadaptasinya. Hasilnya sebuah film yang tak hanya mencoba melihat bagaimana dunia buku di Amerika bekerja dari dekat, tapi juga melihat bagaimana seorang penulis yang terbiasa menciptakan dunia rekayasa mesti berhadapan dengan dunia realitasnya.
Monk pun harus berhadapan dengan tragedi. Ibu yang mengalami dimensia, kakak yang memproklamirkan diri sebagai homoseksual, dan terutama dengan harga dirinya yang tercabik-cabik ketika novel sampah yang ditulisnya bahkan dianggap sebagai salah satu novel terbaik. Mungkin memang dunia sudah terbalik bagi Monk.
Feby yang mantan jurnalis di sebuah stasiun televisi berkisah tentang bagaimana ia dianggap gila ketika meninggalkan pekerjaan mapan untuk bekerja penuh sebagai penulis. Tentu saja menjadi penulis, sebagaimana profesi lainnya, juga punya kesulitannya sendiri.
Buat Feby, salah satu masalah yang dihadapinya dan belum terpecahkan sembilan tahun setelah wawancara itu diterbitkan adalah, bahwa di Indonesia belum ada agen penulis yang mumpuni yang bisa mengurus segala tetek bengek keperluan penulis.
Kisah seorang penulis dengan segala likunya berjibaku dengan hidup dan keinginan untuk sukses belum banyak diangkat dalam cerita film atau serial Indonesia. Sementara di Amerika sudah cukup banyak film yang memajang kisah-kisah menarik semacam itu, yang paling baru adalah American Fiction yang baru saja beroleh 5 nomine Oscar.
Foto: Amazon MGM Studios
American Fiction yang tayang di Prime Video menjadi jendela bagi kita melihat dunia buku bekerja di Amerika. Kita bertemu dengan karakter utamanya, Thelonius “Monk” Ellison, seorang penulis frustasi sekaligus profesor di salah satu universitas, yang baru saja dipecat.
Berbeda dengan Feby, Monk justru sudah punya agen penulis yang mengurus sejak awal kariernya, meskipun belum satu pun buku-buku yang dihasilkannya meraih sukses komersial. Tapi Arthur, sang agen, setia mendampinginya pada saat Monk justru semakin goyah dengan kepercayaannya terhadap diri sendiri.
Begitupun Monk menghadapi masalah yang sama dengan Feby. Rupanya tidak di Amerika, juga di Indonesia, penerbit selalu haus dengan tema-tema populer. Salah satu novel yang dihasilkannya berjudul The Persian meski dipuji kritikus karena dianggap sebagai “pengerjaan ulang yang menarik dari sebuah tragedi Yunani yang masih kabur” itu toh tetap saja tidak menghasilkan uang.
Dalam kondisi depresi, Monk memilih pulang kampung dan bertemu dengan keluarga yang sesungguhnya sudah dihindarinya sejak puluhan tahun sebelumnya.
Monk pun melakukan sebuah hal di luar dugaan: mengolok-olok dirinya sendiri dengan menulis novel yang keras-kasar dan menggambarkan kehidupan kaum terpinggirkan Afrika-Amerika yang sesungguhnya tak pernah dicicipinya. Seperti sudah diduga, novel sejenis tersebut langsung diminati penerbit dan studio yang tertarik mengadaptasinya menjadi film.
Foto: Amazon MGM Studios
Kondisi yang dihadapi Monk juga dialami Feby yang bisa jadi sering kali berada di persimpangan: tetap dengan idealisme menghasilkan karya-karya bermutu atau bersiasat dengan selera pasar demi segepok uang untuk menyambung hidup.
Meski diterbitkan 23 tahun lalu, novel Erasure karya Percival Everett yang menjadi dasar dari American Fiction masih relevan hingga hari ini. Kita melihat bagaimana industri buku di seluruh dunia nyaris selalu bergulat dengan masalah yang sama.
Dalam lima tahun belakangan, dunia perbukuan Indonesia dibanjiri novel-novel adaptasi cerita bersambung di Wattpad yang secara kualitas sebagian besar mengecewakan. Namun selalu menarik perhatian para produser terutama dari rumah produksi besar untuk mengadaptasinya menjadi film atau serial.
Erasure menjadi sebuah kritik pedas bagi industri buku sekaligus menjadi refleksi bagi para pelaku untuk melihat kembali apa sesungguhnya alasan mereka ketika menerbitkan sebuah buku. Hanya karena faktor komersial atau masih ada yang mempertahankan nilai-nilai universal dari sebuah tulisan yang dirasa perlu dibagikan ke pembaca.
Demikian pula dengan penulis yang memilih sekadar menjadi robot untuk menulis karya yang dirasakannya akan disukai pembaca atau diminta oleh penerbit, tanpa peduli dengan kualitas karya maupun nilai-nilai yang ingin dibagikannya.
Foto:Amazon MGM Studios
Erasure tak termasuk novel laris, tapi toh nilai-nilai yang ada di dalamnya yang menggugah sutradara Cord Jefferson untuk mengadaptasinya. Hasilnya sebuah film yang tak hanya mencoba melihat bagaimana dunia buku di Amerika bekerja dari dekat, tapi juga melihat bagaimana seorang penulis yang terbiasa menciptakan dunia rekayasa mesti berhadapan dengan dunia realitasnya.
Monk pun harus berhadapan dengan tragedi. Ibu yang mengalami dimensia, kakak yang memproklamirkan diri sebagai homoseksual, dan terutama dengan harga dirinya yang tercabik-cabik ketika novel sampah yang ditulisnya bahkan dianggap sebagai salah satu novel terbaik. Mungkin memang dunia sudah terbalik bagi Monk.