Filter Bubble: Penjara Zona Nyaman yang Menyerang Mahasiswa Kekinian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lini masa Instagram saya berubah penuh, berisi tutorial pembuatan makanan. Kondisi yang mengharuskan saya untuk tetap di rumah, menyisakan banyak waktu yang kemudian digunakan untuk berselancar di media sosial.
Entah cerah atau hujan, lini masa saya tetap sama keesokannya. Seolah menjadi yang paling tahu tentang resep, saya selalu membagikannya kepada orang lain, meski saya sendiri tak hobi masak.
Lambat laun tersadarlah bahwa selama pandemi, saya tak tahu informasi apa-apa selain resep-resep ini. Belum lama saya tahu bahwa filter bubble lah yang telah membelenggu saya.
Filter bubble merupakan gelembung virtual penyaring informasi yang didapatkan seseorang dalam bermedia sosial. Aktivis internet, Eli Pariser, mengemukakan istilah ini sembilan tahun silam.
Baginya, algoritma media sosial seperti ini akan membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Tidak terlepas bagi para mahasiswa di Indonesia. (
)
Pandemi COVID-19 bukan saja mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak ataupun tetap di rumah, tapi turut mengubah tatanan cara belajar, yang semula bertatap muka, beralih ke penggunaan model pendidikan jarak jauh.
Foto: Getty Images
Cara ini paling tidak meminta setiap pembelajar mengaktifkan gawai untuk mendapatkan akses belajar. Pengaruh perubahan ini bukan saja berdampak pada segi ekonomi – harus menyediakan kuota internet lebih, tapi berkorelasi juga pada perubahan perilaku para mahasiswa.
Melansir dari data olahan Asosiasi Pengguna Jasa dan Internet Indonesia (APJII), pada 2018, kalangan milenial usia 20-35 tahun – rata-rata usia mahasiswa - 94,4 persen di antaranya telah terkoneksi internet, dan 98,2 persennya memiliki rata-rata penggunaan ponsel pintar selama 7 jam dalam sehari.
Riset ini dilakukan jauh sebelum pandemi terjadi, sehingga akan timbul kemungkinan besar peningkatan penggunaan ponsel pintar dalam sehari.
Belum lagi dengan jadwal kuliah yang tentatif, memungkinkan tiap mahasiswa harus siap sedia dengan ponsel dari pagi ke petang, pun petang ke pagi. Hal yang sama berimplikasi pada intensitas penggunaan media sosial, sebagai sarana mencari informasi atau sekadar menghibur diri di tengah pandemi.
Foto: Getty Images
Media sosial adalah rumah dengan banyak pintu. Setiap orang punya preferensi untuk menentukan hendak ke mana ia menuju. Algoritma media membaca sesuatu yang diminati seseorang, sehinggga siapa pun bisa dimanjakan oleh keadaan.
Filter bubble bukan saja menjadi penyaring, dengan harapan seseorang bisa fokus pada minatnya. Bak penjara semu, mahasiswa sang pengguna media sosial telah terjebak di dalamnya. Namun, siapa yang sadar?
Beranggapan jadi Mayoritas
Gelembung penyaring ini akan menyajikan informasi yang sesuai dengan minat si pengguna media sosial. Secara umum orang akan merasa berada pada zona nyaman ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, tanpa mempertimbangkan kualitas informasinya.
Misal saja, para pencinta konten junk food. Lini masa orang ini tentu akan dipenuhi oleh konten tersebut, sehingga ia akan melihat bahwa seisi media sosial berpihak padanya – sama-sama menyukai junk food.
Keadaan ini membuat seseorang beranggapan bahwa ia adalah mayoritas, yang punya banyak dukungan di media sosial, dan mendefinisikan dunia dari satu sudut pandang saja.
Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siap apun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, atau konten yang disimpan seseorang pada suatu topik.
Entah cerah atau hujan, lini masa saya tetap sama keesokannya. Seolah menjadi yang paling tahu tentang resep, saya selalu membagikannya kepada orang lain, meski saya sendiri tak hobi masak.
Lambat laun tersadarlah bahwa selama pandemi, saya tak tahu informasi apa-apa selain resep-resep ini. Belum lama saya tahu bahwa filter bubble lah yang telah membelenggu saya.
Filter bubble merupakan gelembung virtual penyaring informasi yang didapatkan seseorang dalam bermedia sosial. Aktivis internet, Eli Pariser, mengemukakan istilah ini sembilan tahun silam.
Baginya, algoritma media sosial seperti ini akan membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Tidak terlepas bagi para mahasiswa di Indonesia. (
Baca Juga
Pandemi COVID-19 bukan saja mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak ataupun tetap di rumah, tapi turut mengubah tatanan cara belajar, yang semula bertatap muka, beralih ke penggunaan model pendidikan jarak jauh.
Foto: Getty Images
Cara ini paling tidak meminta setiap pembelajar mengaktifkan gawai untuk mendapatkan akses belajar. Pengaruh perubahan ini bukan saja berdampak pada segi ekonomi – harus menyediakan kuota internet lebih, tapi berkorelasi juga pada perubahan perilaku para mahasiswa.
Melansir dari data olahan Asosiasi Pengguna Jasa dan Internet Indonesia (APJII), pada 2018, kalangan milenial usia 20-35 tahun – rata-rata usia mahasiswa - 94,4 persen di antaranya telah terkoneksi internet, dan 98,2 persennya memiliki rata-rata penggunaan ponsel pintar selama 7 jam dalam sehari.
Riset ini dilakukan jauh sebelum pandemi terjadi, sehingga akan timbul kemungkinan besar peningkatan penggunaan ponsel pintar dalam sehari.
Belum lagi dengan jadwal kuliah yang tentatif, memungkinkan tiap mahasiswa harus siap sedia dengan ponsel dari pagi ke petang, pun petang ke pagi. Hal yang sama berimplikasi pada intensitas penggunaan media sosial, sebagai sarana mencari informasi atau sekadar menghibur diri di tengah pandemi.
Foto: Getty Images
Media sosial adalah rumah dengan banyak pintu. Setiap orang punya preferensi untuk menentukan hendak ke mana ia menuju. Algoritma media membaca sesuatu yang diminati seseorang, sehinggga siapa pun bisa dimanjakan oleh keadaan.
Filter bubble bukan saja menjadi penyaring, dengan harapan seseorang bisa fokus pada minatnya. Bak penjara semu, mahasiswa sang pengguna media sosial telah terjebak di dalamnya. Namun, siapa yang sadar?
Beranggapan jadi Mayoritas
Gelembung penyaring ini akan menyajikan informasi yang sesuai dengan minat si pengguna media sosial. Secara umum orang akan merasa berada pada zona nyaman ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, tanpa mempertimbangkan kualitas informasinya.
Misal saja, para pencinta konten junk food. Lini masa orang ini tentu akan dipenuhi oleh konten tersebut, sehingga ia akan melihat bahwa seisi media sosial berpihak padanya – sama-sama menyukai junk food.
Keadaan ini membuat seseorang beranggapan bahwa ia adalah mayoritas, yang punya banyak dukungan di media sosial, dan mendefinisikan dunia dari satu sudut pandang saja.
Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siap apun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, atau konten yang disimpan seseorang pada suatu topik.