Mengapa Pemain EURO 2020 Tetap Curang Meski Ada VAR? Ini Jawabnya Menurut Psikolog
loading...
A
A
A
JAKARTA - Untuk pertama kalinya pada tahun ini, kompetisi akbar sepak bola tingkat Eropa atau EURO 2020 menggunakan teknologi Video Assistant Referee (VAR) pada seluruh pertandingannya.
Dengan teknologi ini, wasit yang bertugas di lapangan akan dibantu oleh wasit yang berada di depan layar VAR untuk membantu memberikan keputusan yang tepat dalam pertandingan.
Penggunaan VAR bukan cuma ditujukan untuk para wasit saja, hasil rekaman juga bisa ditonton di TV oleh para penonton pertandingan tersebut.
Jadi tiap kali ada peristiwa pemain jatuh, pemain kesakitan, pemain yang melakukan protes, termasuk bola yang masuk ke gawang, wasit bisa meninjau ulang penyebab peristiwa itu, atau apakah golnya sah dan bukan karena perbuatan curang pemain.
Kecanggihan alat tersebut membuat wasit bisa melihat rekaman peristiwa yang dipermasalahkan itu dari berbagai sudut pengambilan gambar. Singkatnya, penggunaan VAR tak lagi membuat para wasit bisa tertipu dengan insiden-insiden di lapangan.
Foto: Getty Images
Yang menarik, dengan bukti rekaman valid, nyatanya para pemain masih saja melakukan aksi dramatis yang konyol. Misalnya adalah saat Matthijs de Ligt dari Belanda melakukan handball saat berduel dengan Patrik Scihck dari Republik Ceska dalam pertandingan babak 16 besar.
Tadinya, Ligt hanya diberi kartu kuning, tapi setelah wasit mengecek VAR, dia akhirnya diberi kartu merah. Aksi handball Light pun sempat jadi bahan olok-olokan netizen karena aksi curangnya sangat jelas terlihat.
Kasus lainnya adalah pada pertandingan antara Swedia dan Ukraina. Marcus Danielsson dari Swedia melakukan tekel keras terhadap Artem Basedin, yang akhirnya membuat dia bernasib sama dengan Ligt. Hingga 30 Juni, ESPN mencatat sudah ada 17 keputusan yang diambil dengan bantuan VAR.
Baca Juga: Ini Asal-Usul Pengendara Vespa Suka Diberi Hormat Anak Kecil
Nah, pertanyaannya, mengapa para pemain melakukan tindakan irasional yang membuat mereka tersingkir dari lapangan, padahal mereka tahu gerak-gerik mereka terekam kamera?
Bence Nanay, profesor filsafat dari University of California, Berkeley, yang juga profesor peneliti untuk studi psikologi filsafat di University of Antwerp, sekaligus pemegang Hibah European Research Council (ERC) untuk mengintegrasikan filsafat, psikologi, dan ilmu saraf, menyebut ada tiga alasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Berikut jawaban yang diberikannya, mengutip dari Psychology Today .
1. TERBIASA MELAKUKANNYA
Foto: Getty Images
Melakukan kecurangan 'kecil' adalah hal yang lazim dilakukan para pemain. Karena itulah, perilaku ini sudah menjadi kebiasaan mereka selama bertahun-tahun. Jadi, tidak gampang untuk berhenti begitu saja melakukannya.
Para pemain telah terbiasa untuk melakukan dan mengulang insiden pura-pura cedera atau melakukan tindakan kejam menyakiti pemain lawan untuk menyelamatkan gawang timnya.
2. DEMI MENYELAMATKAN HARGA DIRI
Foto: CNN
Mereka percaya bahwa selalu ada kemungkinan bahwa dari 26 kamera VAR yang 'bertugas', bisa saja sewaktu-waktu tidak merekam dengan jelas peristiwa yang terjadi di lapangan, misalnya terhalang oleh pemain lain. Atau kemungkinan lainnya para wasit tidak akan meninjau ulang peristiwa yang terjadi.
Jadi melakukan kecurangan demi menyelamatkan harga diri atau muka timnya bisa saja dilakukan para pemain.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Olahraga yang Baik untuk Kesehatan Mental
3. PENGARUH DISONANSI KOGNITIF
Foto:EPA
Disonansi kognitif adalah kondisi kontradiktif saat seseorang melakukan sesuatu di luar hal yang diyakininya. Yang satu ini berhubungan dengan kondisi mental sang pemain.
Mereka tidak ingin dianggap sebagai orang yang sering melakukan kesalahan atau pelanggaran. Namun saat melakukannya, mereka tidak ingin percaya bahwa mereka benar-benar melakukan kecurangan tersebut.
Vanessa Ashriana
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @vanessaashriana
Dengan teknologi ini, wasit yang bertugas di lapangan akan dibantu oleh wasit yang berada di depan layar VAR untuk membantu memberikan keputusan yang tepat dalam pertandingan.
Penggunaan VAR bukan cuma ditujukan untuk para wasit saja, hasil rekaman juga bisa ditonton di TV oleh para penonton pertandingan tersebut.
Jadi tiap kali ada peristiwa pemain jatuh, pemain kesakitan, pemain yang melakukan protes, termasuk bola yang masuk ke gawang, wasit bisa meninjau ulang penyebab peristiwa itu, atau apakah golnya sah dan bukan karena perbuatan curang pemain.
Kecanggihan alat tersebut membuat wasit bisa melihat rekaman peristiwa yang dipermasalahkan itu dari berbagai sudut pengambilan gambar. Singkatnya, penggunaan VAR tak lagi membuat para wasit bisa tertipu dengan insiden-insiden di lapangan.
Foto: Getty Images
Yang menarik, dengan bukti rekaman valid, nyatanya para pemain masih saja melakukan aksi dramatis yang konyol. Misalnya adalah saat Matthijs de Ligt dari Belanda melakukan handball saat berduel dengan Patrik Scihck dari Republik Ceska dalam pertandingan babak 16 besar.
Tadinya, Ligt hanya diberi kartu kuning, tapi setelah wasit mengecek VAR, dia akhirnya diberi kartu merah. Aksi handball Light pun sempat jadi bahan olok-olokan netizen karena aksi curangnya sangat jelas terlihat.
Kasus lainnya adalah pada pertandingan antara Swedia dan Ukraina. Marcus Danielsson dari Swedia melakukan tekel keras terhadap Artem Basedin, yang akhirnya membuat dia bernasib sama dengan Ligt. Hingga 30 Juni, ESPN mencatat sudah ada 17 keputusan yang diambil dengan bantuan VAR.
Baca Juga: Ini Asal-Usul Pengendara Vespa Suka Diberi Hormat Anak Kecil
Nah, pertanyaannya, mengapa para pemain melakukan tindakan irasional yang membuat mereka tersingkir dari lapangan, padahal mereka tahu gerak-gerik mereka terekam kamera?
Bence Nanay, profesor filsafat dari University of California, Berkeley, yang juga profesor peneliti untuk studi psikologi filsafat di University of Antwerp, sekaligus pemegang Hibah European Research Council (ERC) untuk mengintegrasikan filsafat, psikologi, dan ilmu saraf, menyebut ada tiga alasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Berikut jawaban yang diberikannya, mengutip dari Psychology Today .
1. TERBIASA MELAKUKANNYA
Foto: Getty Images
Melakukan kecurangan 'kecil' adalah hal yang lazim dilakukan para pemain. Karena itulah, perilaku ini sudah menjadi kebiasaan mereka selama bertahun-tahun. Jadi, tidak gampang untuk berhenti begitu saja melakukannya.
Para pemain telah terbiasa untuk melakukan dan mengulang insiden pura-pura cedera atau melakukan tindakan kejam menyakiti pemain lawan untuk menyelamatkan gawang timnya.
2. DEMI MENYELAMATKAN HARGA DIRI
Foto: CNN
Mereka percaya bahwa selalu ada kemungkinan bahwa dari 26 kamera VAR yang 'bertugas', bisa saja sewaktu-waktu tidak merekam dengan jelas peristiwa yang terjadi di lapangan, misalnya terhalang oleh pemain lain. Atau kemungkinan lainnya para wasit tidak akan meninjau ulang peristiwa yang terjadi.
Jadi melakukan kecurangan demi menyelamatkan harga diri atau muka timnya bisa saja dilakukan para pemain.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Olahraga yang Baik untuk Kesehatan Mental
3. PENGARUH DISONANSI KOGNITIF
Foto:EPA
Disonansi kognitif adalah kondisi kontradiktif saat seseorang melakukan sesuatu di luar hal yang diyakininya. Yang satu ini berhubungan dengan kondisi mental sang pemain.
Mereka tidak ingin dianggap sebagai orang yang sering melakukan kesalahan atau pelanggaran. Namun saat melakukannya, mereka tidak ingin percaya bahwa mereka benar-benar melakukan kecurangan tersebut.
Vanessa Ashriana
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Instagram: @vanessaashriana
(ita)