Mulai Kena Quarter Life Crisis? Hati-Hati Main di Medsos!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menurut studi yang dilakukan Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM dan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya, kecanduan internet yang dialami penduduk dewasa selama pandemi COVID-19 meningkat sampai angka 14,4%.
Sementara itu, durasi penggunaan internet juga meningkat 52% dibandingkan sebelum pandemi. Menurut Putu Rarasati, mahasiswa Magister Psikologi Profesi (Majoring Psikologi Klinis Dewasa) di Universitas Padjadjaran sekaligus Head of Medical & Reseach Social Connect, interaksi yang berlebihan di internet, terutama di media sosial bisamemperburuk situasi saat kita menghadapi quarter-life crisis.
Melansir The Muse , quarter-life crisis (QLC) atau krisis seperempat abad adalah periode pencarian jiwa (jati diri) yang intens, serta stres yang terjadi di pertengahan usia 20-an hingga awal 30-an. Kehidupan seperempat abad (kisaran 25 tahun) memang tak mungkin dihindari, tapi 'krisis' dalam QLC bisa disiasati.
Bagi yang berusia 20-an hingga awal 30-an, penggunaan internet terutama media sosial yang intens tak jarang membuat seseorang jadi membandingkan kehidupannya dengan orang lain.
“Ketika kita membandingkan diri sama orang lain yang menurut kita lebih hebat, kita bisa jadi stres,” terang Rarasati.
Selain itu, melansir Huffington Post , inti QLC adalah perasaan membara yang dibutuhkan untuk mencapai hal-hal tertentu pada usia tertentu. Sebuah studi di Journal of Behavioral Addictions yang dilakukan pada 2014 menemukan korelasi antara penggunaan media sosial yang lebih tinggi dan depresi atau kecemasan.
Baca Juga: 4 Mitos tentang Kesehatan Mental yang Sangat Berbahaya
Lebih lanjut, penelitian dari Psychology Today mengungkapkan bahwa Fear of Missing Out (FOMO) atau ketakutan berlebihan akan ketertinggalan informasi punya konsekuensi negatif meliputi masalah identitas diri, kesepian, citra diri negatif, perasaan tidak mampu secara pribadi, pemutusan hubungan, dan kecemburuan.
Menurut Raras, FOMO pun bisa jadi penyebab yang cukup dekat dengan krisis dalam QLC. “Ketika dia kena FOMO, ketika dia melihat konten dari rekan-rekannya, dia merasa ketinggalan. Dia merasa kehidupan orang lain itu lebih menyenangkan dibanding kehidupan dia,” kata Raras.
Lalu, apa saja pemicu "krisis" dalam QLC yang bisa memburuk jika kita terlalu sering berada di dunia maya, berikut ulasannya.
1. KURANGI MEMBANDINGKAN DIRI DENGAN ORANG LAIN
Foto:Polina Zimmerman/Pexels
Usia pertengahan 20-an sampai awal 30-an adalah waktu saat kemungkinan mengalami QLC sangat tinggi. Tapi, itu semua bergantung pada cara kita menyikapi krisisnya. Pertama-tama, persempit kemungkinan penyebab utama krisis: membandingkan diri dengan orang lain.
“Kalau kita melihat sesuatu dengan rasa iri, jadinya kita akan merasa kurang terus. Tapi, kalau kita melihat pencapaian orang lain sebagai penyemangat, kemudian kita pelajari strateginya, itu bisa jadi prestasi,” jelas Raras.
2. KENALI DIRI SENDIRI
Foto:Eternal Happiness/Pexels
Beberapa yang perlu kita kenali adalah hal yang kita sukai dan inginkan, kelebihan dan kekurangan kita, serta bidang yang kita kuasai. Menurut Raras, orang sering lupa menanyakan hal-hal tersebut pada dirinya sendiri.
“Karena orang, tuh, sudah terlalu sibuk melihat orang dan berpikir, ‘Oh aku mau kayak si A biar kelihatan hebat,” katanya.
3. KENALI HAMBATAN
Foto:Vera Arsic/Pexels
Setelah mengetahui hal yang bisa dilakukan, kenali hambatan yang bisa saja menghadang. Pahami situasi sekitar kita. Bisa saja, ada pemicu dari luar yang membuat kita ragu untuk menggapai mimpi, baik itu pendapat orang lain atau hal lain yang tak bisa dihindari.
“Itu juga perlu kita pertimbangkan, supaya tahu kendala apa yang masih menghambat setelah kita sudah tahu apa yang kita inginkan,” tambah Raras.
4. CARI JALAN KELUAR
Foto:Pixabay/Pexels
Raras menyarankan untuk mencari jalan keluar berupa win-win solution, yaitu, ketika kita punya banyak referensi berbeda dalam mengejar impian. Baik dari pandangan orang tua, teman, pasangan, atau bahkan orang asing. Saat punya pendapat berbeda, baiknya kita mencari jalan tengah yang menguntungkan kedua pihak atau memperhatikan prioritas.
Baca Juga: 10 Kalimat Bijak Suga BTS untuk Bantu Kamu Jalani Masa Muda
“Kita tahu bahwa keputusan di hidup kita tidak sepenuhnya atas kemauan kita. Kadang, kita juga mempertimbangkan pendapat atau masukan dari orang lain,” katanya.
Sevilla Nouval Evanda
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Jakarta
Instagram: @vandailla
Sementara itu, durasi penggunaan internet juga meningkat 52% dibandingkan sebelum pandemi. Menurut Putu Rarasati, mahasiswa Magister Psikologi Profesi (Majoring Psikologi Klinis Dewasa) di Universitas Padjadjaran sekaligus Head of Medical & Reseach Social Connect, interaksi yang berlebihan di internet, terutama di media sosial bisamemperburuk situasi saat kita menghadapi quarter-life crisis.
Melansir The Muse , quarter-life crisis (QLC) atau krisis seperempat abad adalah periode pencarian jiwa (jati diri) yang intens, serta stres yang terjadi di pertengahan usia 20-an hingga awal 30-an. Kehidupan seperempat abad (kisaran 25 tahun) memang tak mungkin dihindari, tapi 'krisis' dalam QLC bisa disiasati.
Bagi yang berusia 20-an hingga awal 30-an, penggunaan internet terutama media sosial yang intens tak jarang membuat seseorang jadi membandingkan kehidupannya dengan orang lain.
“Ketika kita membandingkan diri sama orang lain yang menurut kita lebih hebat, kita bisa jadi stres,” terang Rarasati.
Selain itu, melansir Huffington Post , inti QLC adalah perasaan membara yang dibutuhkan untuk mencapai hal-hal tertentu pada usia tertentu. Sebuah studi di Journal of Behavioral Addictions yang dilakukan pada 2014 menemukan korelasi antara penggunaan media sosial yang lebih tinggi dan depresi atau kecemasan.
Baca Juga: 4 Mitos tentang Kesehatan Mental yang Sangat Berbahaya
Lebih lanjut, penelitian dari Psychology Today mengungkapkan bahwa Fear of Missing Out (FOMO) atau ketakutan berlebihan akan ketertinggalan informasi punya konsekuensi negatif meliputi masalah identitas diri, kesepian, citra diri negatif, perasaan tidak mampu secara pribadi, pemutusan hubungan, dan kecemburuan.
Menurut Raras, FOMO pun bisa jadi penyebab yang cukup dekat dengan krisis dalam QLC. “Ketika dia kena FOMO, ketika dia melihat konten dari rekan-rekannya, dia merasa ketinggalan. Dia merasa kehidupan orang lain itu lebih menyenangkan dibanding kehidupan dia,” kata Raras.
Lalu, apa saja pemicu "krisis" dalam QLC yang bisa memburuk jika kita terlalu sering berada di dunia maya, berikut ulasannya.
1. KURANGI MEMBANDINGKAN DIRI DENGAN ORANG LAIN
Foto:Polina Zimmerman/Pexels
Usia pertengahan 20-an sampai awal 30-an adalah waktu saat kemungkinan mengalami QLC sangat tinggi. Tapi, itu semua bergantung pada cara kita menyikapi krisisnya. Pertama-tama, persempit kemungkinan penyebab utama krisis: membandingkan diri dengan orang lain.
“Kalau kita melihat sesuatu dengan rasa iri, jadinya kita akan merasa kurang terus. Tapi, kalau kita melihat pencapaian orang lain sebagai penyemangat, kemudian kita pelajari strateginya, itu bisa jadi prestasi,” jelas Raras.
2. KENALI DIRI SENDIRI
Foto:Eternal Happiness/Pexels
Beberapa yang perlu kita kenali adalah hal yang kita sukai dan inginkan, kelebihan dan kekurangan kita, serta bidang yang kita kuasai. Menurut Raras, orang sering lupa menanyakan hal-hal tersebut pada dirinya sendiri.
“Karena orang, tuh, sudah terlalu sibuk melihat orang dan berpikir, ‘Oh aku mau kayak si A biar kelihatan hebat,” katanya.
3. KENALI HAMBATAN
Foto:Vera Arsic/Pexels
Setelah mengetahui hal yang bisa dilakukan, kenali hambatan yang bisa saja menghadang. Pahami situasi sekitar kita. Bisa saja, ada pemicu dari luar yang membuat kita ragu untuk menggapai mimpi, baik itu pendapat orang lain atau hal lain yang tak bisa dihindari.
“Itu juga perlu kita pertimbangkan, supaya tahu kendala apa yang masih menghambat setelah kita sudah tahu apa yang kita inginkan,” tambah Raras.
4. CARI JALAN KELUAR
Foto:Pixabay/Pexels
Raras menyarankan untuk mencari jalan keluar berupa win-win solution, yaitu, ketika kita punya banyak referensi berbeda dalam mengejar impian. Baik dari pandangan orang tua, teman, pasangan, atau bahkan orang asing. Saat punya pendapat berbeda, baiknya kita mencari jalan tengah yang menguntungkan kedua pihak atau memperhatikan prioritas.
Baca Juga: 10 Kalimat Bijak Suga BTS untuk Bantu Kamu Jalani Masa Muda
“Kita tahu bahwa keputusan di hidup kita tidak sepenuhnya atas kemauan kita. Kadang, kita juga mempertimbangkan pendapat atau masukan dari orang lain,” katanya.
Sevilla Nouval Evanda
Kontributor GenSINDO
Politeknik Negeri Jakarta
Instagram: @vandailla
(ita)