Novel Paradigma: Mengulas Stigma Kesehatan Mental sampai Isu Sosial
loading...
A
A
A
JAKARTA - Novel "Paradigma" merupakan novel keempat karya Syahid Muhammad yang banyak menyoroti isu seputar kesehatan mental.
Selama ini yang selalu menjadi perhatian kita ialah sakit yang menyerang fisik saja. Padahal di dalam diri manusia ada sakit yang mungkin tidak begitu disadari.Sakit itu menyerang mental atau biasanya disebutmental illness.
"Paradigma" (2018) menceritakan hal ini lewat tokoh Anya dan Rana yang punya masalah gangguan kesehatan mental . Anya adalah pengidap anxiety disorder atau gangguan kecemasan. Rana merupakan seseorang yang menderita dissociative identity disorder atau kepribadian ganda.
Gangguan kecemasan yang diderita Anya diakibatkan oleh rasa kesepian yang dirasakan Anya setelah ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orang tuanya. Sedangkan gangguan mental yang diderita Rana terjadi semenjak kematian ibunya.
Foto: Gradien Mediatama
Gangguan mental timbul akibat kurangnya kepedulian untuk mengeluarkan emosi di dalam diri. Terkadang, seseorang enggan untuk mengungkapkan emosi yang ada di dalam dirinya dikarenakan pandangan orang lain atau keadaan sekitar.
Dalam kehidupan sosial saat ini, orang-orang yang berusaha mengeluarkan emosinya akan dibilanglebay, cari perhatian, dan sebagainya.
Baca Juga: Gangguan Psikologi yang Sering Dialami Idola K-Pop dan Rentan Buat Anak Muda
Contohnya saja, ketika beberapa orang berusaha mengungkapkan emosinya di media sosial lewat caption puitis. Orang-orang langsung saja memberi cap ke indie-indie-an. Terlebih lagi laki-laki, mereka tidak bisa mengeluarkan emosi lembutnya karena stigma masyarakat yang menganggap laki-laki harus kuat dan tidak boleh menye-menye.
“Maskulinitas menggerus sisi-sisi feminis para lelaki. Rana tak suka hal itu karena bisa membelokkan hakikat laki-laki yang juga adalah manusia.” (hal.168). Padahal mengeluarkan emosi dalam bentuk apa pun merupakan hak setiap manusia. Tak peduli jenis kelamin, ras, suku, agama, bahkan sampai genre musik sekalipun.
Foto: Dok. Septi Kurnia
Di Indonesia gangguan kesehatan mental masih terdengar asing dan begitu jauh. Orang-orang yang memiliki gangguan mental langsung dicap sebagai orang yang patut untuk dijauhi. Padahal, sama halnya seperti penyakit fisik lainnya, gangguan mental juga dapat diobati dengan psikoterapi atau obat-obatan.
Bahkan tak jarang masyarakat mengaitkan gangguan mental dengan keimanan seseorang. Dalam buku ini diperlihatkan tanggapan dosen Rana yang tidak terima karena punya mahasiswa yang memiliki kepribadian lain yang merupakan ibunya sendiri. Ia berkata, “Saya kira anak ini bisa jadi salah satu contoh akibat dari manusia yang jauh dari agama. Lihat dia, jadi gila. Bikin rusuh. Bikin orang-orang jadi takut. ...” (hal.231).
Isu kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari dan diperhatikan. Orang-orang yang memiliki gangguan mental bukan orang-orang gila atau orang yang jauh dari Tuhan.
Baca Juga: Bukan Introvert, Inilah Tanda-Tanda Gangguan Kepribadian Skizoid
Mereka adalah kita, yang sama-sama butuh tempat untuk menyampaikan segala bentuk emosi. Mereka adalah kita, yang butuh dukungan, butuh teman, butuh tempat bercerita dalam menghadapi masalah kehidupan yang begitu pelik.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
Selama ini yang selalu menjadi perhatian kita ialah sakit yang menyerang fisik saja. Padahal di dalam diri manusia ada sakit yang mungkin tidak begitu disadari.Sakit itu menyerang mental atau biasanya disebutmental illness.
"Paradigma" (2018) menceritakan hal ini lewat tokoh Anya dan Rana yang punya masalah gangguan kesehatan mental . Anya adalah pengidap anxiety disorder atau gangguan kecemasan. Rana merupakan seseorang yang menderita dissociative identity disorder atau kepribadian ganda.
Gangguan kecemasan yang diderita Anya diakibatkan oleh rasa kesepian yang dirasakan Anya setelah ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orang tuanya. Sedangkan gangguan mental yang diderita Rana terjadi semenjak kematian ibunya.
Foto: Gradien Mediatama
Gangguan mental timbul akibat kurangnya kepedulian untuk mengeluarkan emosi di dalam diri. Terkadang, seseorang enggan untuk mengungkapkan emosi yang ada di dalam dirinya dikarenakan pandangan orang lain atau keadaan sekitar.
Dalam kehidupan sosial saat ini, orang-orang yang berusaha mengeluarkan emosinya akan dibilanglebay, cari perhatian, dan sebagainya.
Baca Juga: Gangguan Psikologi yang Sering Dialami Idola K-Pop dan Rentan Buat Anak Muda
Contohnya saja, ketika beberapa orang berusaha mengungkapkan emosinya di media sosial lewat caption puitis. Orang-orang langsung saja memberi cap ke indie-indie-an. Terlebih lagi laki-laki, mereka tidak bisa mengeluarkan emosi lembutnya karena stigma masyarakat yang menganggap laki-laki harus kuat dan tidak boleh menye-menye.
“Maskulinitas menggerus sisi-sisi feminis para lelaki. Rana tak suka hal itu karena bisa membelokkan hakikat laki-laki yang juga adalah manusia.” (hal.168). Padahal mengeluarkan emosi dalam bentuk apa pun merupakan hak setiap manusia. Tak peduli jenis kelamin, ras, suku, agama, bahkan sampai genre musik sekalipun.
Foto: Dok. Septi Kurnia
Di Indonesia gangguan kesehatan mental masih terdengar asing dan begitu jauh. Orang-orang yang memiliki gangguan mental langsung dicap sebagai orang yang patut untuk dijauhi. Padahal, sama halnya seperti penyakit fisik lainnya, gangguan mental juga dapat diobati dengan psikoterapi atau obat-obatan.
Bahkan tak jarang masyarakat mengaitkan gangguan mental dengan keimanan seseorang. Dalam buku ini diperlihatkan tanggapan dosen Rana yang tidak terima karena punya mahasiswa yang memiliki kepribadian lain yang merupakan ibunya sendiri. Ia berkata, “Saya kira anak ini bisa jadi salah satu contoh akibat dari manusia yang jauh dari agama. Lihat dia, jadi gila. Bikin rusuh. Bikin orang-orang jadi takut. ...” (hal.231).
Isu kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari dan diperhatikan. Orang-orang yang memiliki gangguan mental bukan orang-orang gila atau orang yang jauh dari Tuhan.
Baca Juga: Bukan Introvert, Inilah Tanda-Tanda Gangguan Kepribadian Skizoid
Mereka adalah kita, yang sama-sama butuh tempat untuk menyampaikan segala bentuk emosi. Mereka adalah kita, yang butuh dukungan, butuh teman, butuh tempat bercerita dalam menghadapi masalah kehidupan yang begitu pelik.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
(ita)