3 Romantisisme Lebay yang Sering Kita Lihat dalam Film Percintaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Produk budaya pop, seperti film, musik, dan novel, sering mempromosikan nilai-nilai soal hubungan asmara. Sayangnya, hal itu malah bikin banyak orang terjebak dalam angan-angan semu.
Apa kamu termasuk orang yang pengen pacar kamu selalu melakukan hal-hal romantis ke kamu? Misalnya berkhayal pacar kamu mendadak ngasihbunga dan ngirim ke kantor atau ruang kelas kamu.
Kalau iya, bisa jadi kamu kebanyakan nonton film atau baca novel roman. Kamu mungkin menganggap bahwa kalau pacar kamu gak melakukan hal-hal yang sering kamu baca atau lihat di film, maka kamu menggolongkannya sebagai sosok yang gak romantis.
Lebih parah lagi, kalau hubunganmu gak berjalan seperti yang ditampilkan kebanyakan film atau novel, kamu langsung membenci diri kamu sendiri (dan pasangan, tentunya) karena gak bisa mewujudkan relationship goalsseperti yang kamu lihat selama ini di film, novel, juga media sosial.
Nah, supaya kamu dan pacar gak terjebak dalam angan-angan kosong, yuk, kenali nilai-nilai romantisisme semu yang sering muncul dalam produk budaya pop. ( )
1. GESTUR DAN MOMEN ROMANTIS
Foto: istock
Dalam film, momen romantis seringkali digambarkan dengan kencan yang cukup mewah, misalnya melakukancandle light dinner. Kenyataannya, berapa banyak yang bisa melakukannya? Aslinya, banyak yang ngobrol berdua di depan rumah ajaudah cukup untuk melepas rindu.
Bayangan kita saat melabeli seseorang romantis atau gak pasti gak terlepas dari bayang-bayang nilai romantis yang dipromosikan budaya pop. Hal itu bikin terminologi romantis bergerak sesuai dengan arahan kompas yang gak benar.
Substansi budaya pop bikin banyak orang memakai standar yang sama dalam menilai sebuah relationship goals. Banyak film, lagu, dan novel roman mencitrakan romantisisme sebagai ungkapan rasa sayang yang secara kuantitas berlebihan dan sebenarnya belum tentu diperlukan.
Ada juga tendensi berupa menunjukkan kasih sayang dengan barang-barang dan materi yang berlebihan. Kamu masih mendambakan pernikahan bernilai miliaran a la selebritas karena romantis? Cobalah tanya pada hati kecilmu, apakah romantisme dalam hubungan hanya bisa diukur dari materi?
Hubungan antarmanusia adalah suatu hal yang sifatnya personal. Segala hal yang menyangkut ideal-tidaknya itu bersifat relatif. Gak ada satu standar absolut yang bisa dijadikan parameter untuk menilai kualitas sebuah hubungan.
Kalau standar semu ini ditelan mentah-mentah, budaya pop malah mendikte laki-laki dan perempuan untuk menjadi sesuatu yang bukan diri mereka sendiri.
Sering kali, itu membuat banyak orang memaksakan dirinya maupun pasangan untuk mengikuti standar yang sebenarnya gak sesuai dengan kondisi mereka.
Padahal esensi sebuah hubungan bukan pada hal-hal romantisisme seperti itu, melainkaan pada kemampuan untuk berkompromi, toleransi, dan saling menyayangi. (Baca Juga: Selena Gomez: Cinta Pertama Bisa Jadi Toxic)
2. CEWEK PASIF, COWOK AKTIF
Foto: Getty Images
Di dalam hubungan, cowok hampir selalu diidentikkan menjadi sosok inisiator, seperti harus jadi yang pertama mengajak berkencan, yang pertama menyatakan perasaan, sampai yang menginisiasi first kiss. Di sisi lain, cewek diidentikkan sebagai sosok pasif yang menerima inisiasi-inisiasi dari cowok, misalnya menerima ajakan berkencan.
Si cewek bakal ikut aja ke mana si cowok membawanya saat kencan pertama. Dia juga gak harus membayar makan malam saat kencan, yang membalas pernyataan perasaan (bukan menyatakan duluan), dan menyambut (atau menolak) inisiasi first kiss. Gak sedikit cewek yang gak mau make a move duluan ke pujaan hatinya dengan berlindung di balik ujaran “Masa' cewek duluan?”
Nah, hal-hal ini seharusnya gak ada dalam hubungan. Jalannya sebuah hubungan adalah tanggung jawab kedua belah pihak. Kalau yang cewek cuma diam aja dan memendam perasaan, dari mana cowok bisa tahu apa yang cewek rasakan? Laki-laki, kan, bukan cenayang yang bisa tahu segala hal sendiri.
Kalau ajadalam film "Harry Potter" Hermione Granger mengajak Ron Weasley duluan ke pesta dansa sekolah, alih-alih cuma menunggu Ron yang mengajaknya, mungkin, Lavender Brown dan Victor Krum gak perlu hadir di antara mereka.
Kita bisa belajar dari film "Leap Year" (2010) yang dibintangi Amy Adams dan Matthew Goode atau "Runaway Bride" (1999) yang dibintangi Julia Roberts dan Richard Gere. Kedua film ini menyajikan sosok tokoh utama seorang cewek yang berani melamar cowok yang disukainya.
3. STANDAR PENAMPILAN FISIK YANG IDEAL
Foto: Netflix
Kita pasti familier dengan sosok cowok yang digilai-gilai satu sekolah atau kampus, yang wajahnya ganteng, badan tinggi, tegap atletis dengan perut kotak-kotak, dan jadi tim kapten olahraga paling populer di sekolah tersebut.
Ciri-ciri itu bisa kita temukan dalam hampir semua tokoh utama laki-laki di novel teenlit atau film roman remaja. Kalau tokoh utama perempuannya pasti berkulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus dan panjang, serta punya pembawaan yang lemah lembut.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya pop menyuntikkan berbagai paham tentang penampilan fisik yang ideal yang kemudian membentuk standar kecantikan dan ketampanan yang cenderung homogen. Padahal, kecantikan dan ketampanan itu relatif dan gak bisa diukur dengan standar absolut.
Keberadaan standar yang dipercayai banyak orang ini bisa melahirkan berbagai bentuk tuntutan pada diri sendiri maupun pada pasangan. Kalau semakin jauh, lama-lama tuntutan itu bisa jadi sumber toxic relationship.
Daripada menuntut pasangan untuk jadi mirip para aktor dan aktris Hollywood, lebih baik kita memperdalam pemahaman dan pengertian terhadap pasangan, supaya bisa menilai mereka dari segala aspek dalam dirinya. (Baca Juga: 5 Tipe Cinta Segitiga Berdasarkan Film dan Serial, Kamu Pernah Ngalamin yang Mana?)
Selma Kirana Haryadi
Kontributor GenSINDO
Universitas Padjadjaran
Instagram: @selma.kirana
Lihat Juga: Cinta Terpendam Bio One untuk Febby Rastanty dalam Film Romantis Berlatar Era '90-an 'Sampai Nanti Hanna'
Apa kamu termasuk orang yang pengen pacar kamu selalu melakukan hal-hal romantis ke kamu? Misalnya berkhayal pacar kamu mendadak ngasihbunga dan ngirim ke kantor atau ruang kelas kamu.
Kalau iya, bisa jadi kamu kebanyakan nonton film atau baca novel roman. Kamu mungkin menganggap bahwa kalau pacar kamu gak melakukan hal-hal yang sering kamu baca atau lihat di film, maka kamu menggolongkannya sebagai sosok yang gak romantis.
Lebih parah lagi, kalau hubunganmu gak berjalan seperti yang ditampilkan kebanyakan film atau novel, kamu langsung membenci diri kamu sendiri (dan pasangan, tentunya) karena gak bisa mewujudkan relationship goalsseperti yang kamu lihat selama ini di film, novel, juga media sosial.
Nah, supaya kamu dan pacar gak terjebak dalam angan-angan kosong, yuk, kenali nilai-nilai romantisisme semu yang sering muncul dalam produk budaya pop. ( )
1. GESTUR DAN MOMEN ROMANTIS
Foto: istock
Dalam film, momen romantis seringkali digambarkan dengan kencan yang cukup mewah, misalnya melakukancandle light dinner. Kenyataannya, berapa banyak yang bisa melakukannya? Aslinya, banyak yang ngobrol berdua di depan rumah ajaudah cukup untuk melepas rindu.
Bayangan kita saat melabeli seseorang romantis atau gak pasti gak terlepas dari bayang-bayang nilai romantis yang dipromosikan budaya pop. Hal itu bikin terminologi romantis bergerak sesuai dengan arahan kompas yang gak benar.
Substansi budaya pop bikin banyak orang memakai standar yang sama dalam menilai sebuah relationship goals. Banyak film, lagu, dan novel roman mencitrakan romantisisme sebagai ungkapan rasa sayang yang secara kuantitas berlebihan dan sebenarnya belum tentu diperlukan.
Ada juga tendensi berupa menunjukkan kasih sayang dengan barang-barang dan materi yang berlebihan. Kamu masih mendambakan pernikahan bernilai miliaran a la selebritas karena romantis? Cobalah tanya pada hati kecilmu, apakah romantisme dalam hubungan hanya bisa diukur dari materi?
Hubungan antarmanusia adalah suatu hal yang sifatnya personal. Segala hal yang menyangkut ideal-tidaknya itu bersifat relatif. Gak ada satu standar absolut yang bisa dijadikan parameter untuk menilai kualitas sebuah hubungan.
Kalau standar semu ini ditelan mentah-mentah, budaya pop malah mendikte laki-laki dan perempuan untuk menjadi sesuatu yang bukan diri mereka sendiri.
Sering kali, itu membuat banyak orang memaksakan dirinya maupun pasangan untuk mengikuti standar yang sebenarnya gak sesuai dengan kondisi mereka.
Padahal esensi sebuah hubungan bukan pada hal-hal romantisisme seperti itu, melainkaan pada kemampuan untuk berkompromi, toleransi, dan saling menyayangi. (Baca Juga: Selena Gomez: Cinta Pertama Bisa Jadi Toxic)
2. CEWEK PASIF, COWOK AKTIF
Foto: Getty Images
Di dalam hubungan, cowok hampir selalu diidentikkan menjadi sosok inisiator, seperti harus jadi yang pertama mengajak berkencan, yang pertama menyatakan perasaan, sampai yang menginisiasi first kiss. Di sisi lain, cewek diidentikkan sebagai sosok pasif yang menerima inisiasi-inisiasi dari cowok, misalnya menerima ajakan berkencan.
Si cewek bakal ikut aja ke mana si cowok membawanya saat kencan pertama. Dia juga gak harus membayar makan malam saat kencan, yang membalas pernyataan perasaan (bukan menyatakan duluan), dan menyambut (atau menolak) inisiasi first kiss. Gak sedikit cewek yang gak mau make a move duluan ke pujaan hatinya dengan berlindung di balik ujaran “Masa' cewek duluan?”
Nah, hal-hal ini seharusnya gak ada dalam hubungan. Jalannya sebuah hubungan adalah tanggung jawab kedua belah pihak. Kalau yang cewek cuma diam aja dan memendam perasaan, dari mana cowok bisa tahu apa yang cewek rasakan? Laki-laki, kan, bukan cenayang yang bisa tahu segala hal sendiri.
Kalau ajadalam film "Harry Potter" Hermione Granger mengajak Ron Weasley duluan ke pesta dansa sekolah, alih-alih cuma menunggu Ron yang mengajaknya, mungkin, Lavender Brown dan Victor Krum gak perlu hadir di antara mereka.
Kita bisa belajar dari film "Leap Year" (2010) yang dibintangi Amy Adams dan Matthew Goode atau "Runaway Bride" (1999) yang dibintangi Julia Roberts dan Richard Gere. Kedua film ini menyajikan sosok tokoh utama seorang cewek yang berani melamar cowok yang disukainya.
3. STANDAR PENAMPILAN FISIK YANG IDEAL
Foto: Netflix
Kita pasti familier dengan sosok cowok yang digilai-gilai satu sekolah atau kampus, yang wajahnya ganteng, badan tinggi, tegap atletis dengan perut kotak-kotak, dan jadi tim kapten olahraga paling populer di sekolah tersebut.
Ciri-ciri itu bisa kita temukan dalam hampir semua tokoh utama laki-laki di novel teenlit atau film roman remaja. Kalau tokoh utama perempuannya pasti berkulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus dan panjang, serta punya pembawaan yang lemah lembut.
Hal ini menunjukkan bahwa budaya pop menyuntikkan berbagai paham tentang penampilan fisik yang ideal yang kemudian membentuk standar kecantikan dan ketampanan yang cenderung homogen. Padahal, kecantikan dan ketampanan itu relatif dan gak bisa diukur dengan standar absolut.
Keberadaan standar yang dipercayai banyak orang ini bisa melahirkan berbagai bentuk tuntutan pada diri sendiri maupun pada pasangan. Kalau semakin jauh, lama-lama tuntutan itu bisa jadi sumber toxic relationship.
Daripada menuntut pasangan untuk jadi mirip para aktor dan aktris Hollywood, lebih baik kita memperdalam pemahaman dan pengertian terhadap pasangan, supaya bisa menilai mereka dari segala aspek dalam dirinya. (Baca Juga: 5 Tipe Cinta Segitiga Berdasarkan Film dan Serial, Kamu Pernah Ngalamin yang Mana?)
Selma Kirana Haryadi
Kontributor GenSINDO
Universitas Padjadjaran
Instagram: @selma.kirana
Lihat Juga: Cinta Terpendam Bio One untuk Febby Rastanty dalam Film Romantis Berlatar Era '90-an 'Sampai Nanti Hanna'
(it)