Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi

Rabu, 17 Januari 2024 - 13:54 WIB
loading...
Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi
Film pendek Gilingan menampilkan bisnis penggilingan padi yang kesulitan karena terlindas zaman. Foto/IKJ
A A A
JAKARTA - Nasi telah menjadi makanan pokok orang Indonesia sejak lama. Logikanya, bisnis yang berkaitan dengan padi, beras, dan nasi akan selalu ada selama orang Indonesia makan nasi.

Namun, tidak demikian dengan bisnis gilingan padi yang sudah ketinggalan zaman. Perlu pemikiran dan inovasi baru untuk bisa bertahan dan berkembang.

Dua bersaudara dalam film pendek Gilingan yang disutradarai oleh Ersya Ruswandono ini harus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Sepeninggal ayahnya, Bagas dan Laras meneruskan usaha penggilingan padi milik ayah mereka.



Pesan mendiang ayah mereka cukup jelas dan tegas, Bagas harus menjalankan usaha penggilingan itu, dan tidak boleh menjualnya. Apa sajakah yang mereka lakukan?

Nasi dan Kehidupan Manusia Indonesia

Sebagai makanan pokok, hampir semua orang Indonesia bisa memasak nasi. Memasak nasi tidak perlu pengetahuan yang mendalam. Tidak pula perlu waktu yang lama. Masukkan saja beras yang sudah dicuci dan air ke dalam rice cooker, pencet tombolnya, kemudian tinggal tunggu beberapa menit. Anak kecil usia SD juga bisa melakukannya.

Tak lama kemudian, beras yang keras telah berubah menjadi nasi yang empuk dan mengembang. Aromanya yang harum memenuhi ruangan dan membangkitkan selera. Nasi siap disantap dengan lauk-pauk dan sayuran sebagai temannya.

Nasi juga bisa dibeli dengan mudah di semua tempat makan, dari warung pinggir jalan sampai restoran mewah. Dapat dipastikan hampir semua tempat usaha makanan selalu memiliki stok beras yang dapat segera diolah menjadi nasi.

Nasi tentu saja ada dalam daftar menu hampir semua restoran di Indonesia. Makanan olahan lain dari beras seperti lontong dan ketupat juga mudah ditemukan di berbagai tempat di Indonesia.

Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi

Foto: IKJ

Saking mudahnya mendapatkan nasi, cukup banyak orang yang tidak tahu dari mana asalnya makanan ini. Dari pengalaman saya bertemu dengan beberapa anak Indonesia di Jakarta, ada banyak yang tidak mengetahui bahwa nasi berasal dari padi.

Ada pula yang mengira bahwa beras itu adalah buah dari pohon yang mirip pohon apel atau mangga. Padahal, tanaman padi yang bernama ilmiah Oryza sativa ini lebih mirip rumput.

Seorang anak kecil dalam salah satu adegan dalam film ini juga tidak banyak tahu tentang nasi yang dimakannya. Beberapa pertanyaan diajukannya pada sang ibu tetapi tidak semuanya dapat terjawab. Pertanyaan anak itulah yang kemudian menjadi bagian dari plot film ini.

Perjalanan Panjang Padi Menjadi Beras

Nasi yang disantap sehari-hari oleh orang Indonesia tidak bisa langsung tersaji dalam hitungan menit seperti memasaknya. Bulir padi menjadi nasi harus melalui perjalanan panjang dulu.

Proses ini tentu saja diawali dengan menanam padi. Penanaman di tanah yang berlumpur pun belum bisa dikatakan sebagai awal perjalanan makanan ini. Sebelumnya tanah untuk menanamnya harus lebih dulu diolah.

Pembajakan dan pengairan harus dilakukan pada waktu dan musim yang tepat. Perlu banyak tenaga dan upaya supaya padi bisa ditanam di sawah.

Setelah berbulan-bulan, padi yang sudah matang menguning bisa dipanen. Proses panen ini juga perlu waktu dan tenaga yang tak sedikit. Gabah harus dirontokkan dan dikeringkan sebelum digiling di penggilingan.

Mesin penggilingan padi pernah mencapai masa jayanya pada masa lalu. Saat itu belum banyak orang yang memiliki penggilingan sehingga petani harus menyerahkan proses ini kepada orang yang memilikinya. Tentu saja dengan biaya pengganti.

Masa menggiling padi merupakan masa panen bagi pemilik dan pengusaha gilingan, seperti almarhum ayah Bagas dan Laras dalam film ini. Seiring perkembangan zaman, penggilingan padi pun berkembang.

Penggilingan padi yang diwarisi Bagas dari ayahnya sepi peminat. Selain ketinggalan zaman, persaingan usaha yang tidak sehat juga menyebabkan meruginya usaha mereka ini.

Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi

Foto: IKJ

Perjalanan padi menjadi nasi tentunya masih berlanjut setelah keluar dari penggilingan. Beras hasil penggilingan ini biasanya dikemas dalam karung untuk kemudian dijual. Ada yang menjualnya langsung kepada pengguna, ada pula kepada penyalur.

Pemerintah turut campur dalam penentuan harga makanan pokok ini. Akan tetapi, pengaturan ini tidak selalu memuaskan semua pihak.

Pihak petani kadang-kadang dirugikan oleh harga padi atau beras yang terlalu rendah. Sementara kalau harga beli ke petani terlalu tinggi, harga jual ke konsumennnya menjadi mahal.

Kehidupan Petani yang Tak Menentu

Dahulu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Artinya, sebagian besar penduduknya (seharusnya) hidup dari sektor agraria atau pertanian.

Petani pernah dikenal sebagai singkatan penyangga tatanan negara Indonesia karena perannya yang penting bagi kehidupan penduduk Indonesia. Namun, jumlah petani saat ini ternyata tidak terlalu banyak dibandingkan jumlah penduduk.

Tahun 2020, ada 33,4 juta penduduk dari 270 juta menjadi petani. Hanya sekitar 12% yang menjadi petani. Yang sekarang menjadi petani kebanyakan sudah tidak muda lagi.

Keturunan petani banyak yang tidak mau meneruskan pekerjaan orang tuanya. Mereka lebih memilih pekerjaan sebagai pegawai atau mencari peluang di kota metropolitan.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi pun menjadi hal yang umum. Jakarta dengan gemerlap dan peluangnya yang besar banyak menarik para petani di desa untuk pindah.

Pekerjaan sebagai petani zaman sekarang ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang keren. Petani yang bekerja di sawah kebanyakan berpenampilan kumuh dan penuh peluh. Sangat jauh dari kesan rapi dan modis seperti pekerja kantoran.

Pekerjaan sebagai petani ditinggalkan demi pekerjaan lain yang lebih keren dan berpenghasilan lebih besar. Belum lagi penghasilan petani yang tak menentu.

Beberapa kalangan mengidentikkan petani sebagai pekerjaan golongan ekonomi bawah karena kecilnya penghasilan itu. Harga gabah yang kadang-kadang tidak memihak petani juga membuat pekerjaan ini memiliki risiko yang besar.

Lahan Pertanian Berkurang

Tanah subur di Pulau Jawa menjadi tempat yang cocok untuk menanam padi. Di pulau inilah produksi padi terbesar Indonesia. Di sisi lain, di pulau ini pula terdapat jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang tentunya perlu tempat tinggal dan beaktivitas. Lahan pertanianlah yang kemudian berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan.

Dari film pendek ini kita dapat melihat perubahan itu. Sawah yang diselingi rumah penduduk menjadi pemandangan biasa di daerah Yogyakarta, tempat pengambilan gambar film ini. Bangunan komersial lainnya seperti ruko juga banyak yang menempati lahan yang dulunya sawah.

Review Film Gilingan: Bisnis dengan Nasi Tetap Bisa Basi kalau Tidak Bisa Beradaptasi

Foto: IKJ

Berkurangnya lahan pertanian ini membuat produksi padi menurun. Secara tidak langsung berdampak juga pada usaha penggilingan padi. Ongkos penggilingan padi terasa lebih berat karena penghasilan berkurang tetapi ongkos gilingnya sama.

Tak heran banyak petani yang kemudian mencari penggilingan yang bisa menawarkan harga lebih murah walaupun ilegal. Pemilik penggilingan seperti Bagas dalam film ini benar-benar harus berusaha keras untuk bersaing.

Peralatannya yang sudah tua dan perlu diganti membuatnya lebih tertinggal. Kalau tidak ada inovasi baru, penggilingan warisan almarhum ayahnya ini harus gulung tikar.

Penutupan penggilingan bukanlah hal yang terlalu merisaukan bagi Bagas yang memiliki pekerjaan di Jakarta. Dia memang sudah terpikir untuk menjualnya saja dan membawa adiknya yang masih usia sekolah ke Jakarta.

Dua orang pekerja penggilingan juga tidak menjadi prioritas buat Bagas. Bagas lebih berpikir praktis sementara adiknya lebih emosional karena ayahnya telah berpesan untuk mempertahankan usaha kecilnya itu.

Ide Cemerlang Sesuai Tuntutan Zaman

Bagas yang putus asa akhirnya mendapat ide cemerlang untuk memperkenalkan proses penggilingan padi kepada anak-anak usia sekolah. Apabila program ini berjalan dengan baik, Bagas tak perlu menjual usaha penggilingan itu. Laras si adik pun menyambut gembira ide ini.

Mereka berdua menawarkan ide ini ke beberapa sekolah dan ternyata disambut dengan baik. Penggilingan itu akhirnya kembali beroperasi walaupun padi yang digiling tak sebanyak dulu lagi.



Pemasukan mereka didapatkan dari kunjungan anak-anak untuk mendapatkan pengetahuan tentang makanan pokok itu. Anak-anak yang datang bertambah wawasan dan gembira karena bisa belajar di luar kelas.

O ya, dialog dalam film berlatar tempat di Yogyakarta ini kebanyakan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Buat penonton yang kurang paham bahasa Jawa perlu terjemahan untuk dapat mengerti yang disampaikan. Namun, secara garis besar idenya dapat dipahami dengan mudah.

Sylvana Hamaring
Penulis yang suka membaca dan menonton film. Karya fiksinya terbit setiap minggu di sebuah media anak terkenal. Bisa dihubungi via Instagram @anahamaring

(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4369 seconds (0.1#10.140)