Review Film Civil War: Horor Perang Saudara di Mata Jurnalis Foto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Film Civil War mengombinasikan banyak elemen dalam kisahnya, mulai dari adegan laga mendebarkan, cerita road trip, krisis kepribadian, hingga pertanyaan tentang etika jurnalistik.
Civil War adalah kisah fiksi tentang perang saudara di Amerika Serikat (AS). Namun berbeda dengan film perang pada umumnya, film yang digarap dan ditulis oleh Alex Garland (28 Days Later, Sunshine, Never Let Me Go, Dredd), ini tidak secara gamblang memberikan latar belakang mengapa perang tersebut bisa terjadi.
Penonton hanya bisa menebak-nebak dari dialog dan gambaran yang ada, bahwa perang ini terjadi pada masa pemerintahan ketiga dari seorang Presiden AS. Padahal, hukum yang berlaku saat ini (dalam kehidupan nyata) adalah masa pemerintahan dibatasi hanya dua periode.
Lalu, dalam masa tersebut terjadi pemberontakan dari beberapa wilayah AS, dengan beberapa pihak membangun aliansi yang berbeda-beda. Salah satu yang terkuat adalah Pasukan Barat. Tujuan mereka menggulingkan Presiden AS yang sedang berkuasa.
Sepanjang film, tak ada 'arahan' yang eksplisit dari Alex Garland bahwa penonton harus bersimpati pada kubu pemerintah AS atau pada Pasukan Barat. Sepertinya, ini adalah hal yang disengaja, karena Civil War memang mengambil sudut pandang dari para jurnalis, dalam hal ini adalah jurnalis foto.
Foto: A24
Ada empat jurnalis yang menjadi karakter utamanya, dan mereka berada dalam satu mobil menuju White House di Washington, D.C. Misi mereka adalah mewawancarai Presiden AS (Nick Offerman) sebelum ia jatuh dari tampuk kekuasaannya, seperti yang diramalkan banyak orang.
Mereka adalah Lee Smith (Kirsten Dunst), jurnalis foto legendaris dari Colorado yang prestasinya disamakan dengan jurnalis legendaris dari masa Perang Dunia II, Lee Miller. Ia punya banyak pengalaman sebagai jurnalis perang.
Rekannya adalah Joel (Wagner Moura), jurnalis dari Reuters. Lalu ada jurnalis veteran dari The New York Times, Sammy (Stephen McKinley Henderson) yang juga merupakan mentor Lee. Namun fisiknya sudah sangat rapuh hingga sebenarnya tak cocok lagi berada di medan perang.
Terakhir, ada Jessie (Cailee Paeny), gadis berusia 23 tahun yang ingin menjadi jurnalis foto seperti Lee Smith.
Yang menarik dari Civil War adalah, keempat protagonis ini tidaklah ditempatkan sebagai pahlawan dalam cerita. Mereka murni ditempatkan sebagai jurnalis, dan bekerja dengan pola pikir jurnalis yang hanya ingin melaporkan kejadian penting dalam sejarah dan mendapatkan berita atau foto eksklusif.
Alih-alih menolong orang tertembak, mereka sibuk mengabadikan peristiwa itu. Civil War juga menggambarkan kedisiplinan para jurnalis, yang selalu berada di belakang pasukan mana pun yang mereka temui, demi mengambil gambar terbaik tanpa mengorbankan nyawa mereka.
Semua berjalan sesuai standar kerja jurnalistik, sampai Lee merasa dirinya harus melindungi Jessie yang masih amatir dan polos, yang syok kala melihat orang digantung dalam kondisi masih hidup dengan penuh luka. Dari sinilah penonton mulai diperlihatkan sisi humanis Lee.
Berbarengan dengan itu, penonton juga diberikan sajian horor perang saudara yang mengerikan, juga pertemuan dengan para fasis yang sangat mendebarkan. Bagian-bagian ini adalah resep klasik sebuah perang yang dimasukkan Alex Garland dalam Civil War.
Foto: A24
Meski begitu, dengan tata suara yang apik serta bangunan cerita yang dibangun pelan-pelan hingga mencapai klimaksnya, scene-scene klasik ini tetapkah menarik dan sangat membuat deg-degan.
Dari rentetan adegan-adegan ini pula, penonton akan melihat perubahan karakter dari Lee dan Jessie. Kala Lee mulai makin tertekan, Jessie justru malah menemukan kegembiraan karena adrenalinnya benar-benar melesat tinggi di tengah desingan peluru.
Dan dari sinilah Civil War memicu munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang kerja dan etika jurnalistik. Selesai menontonnya, mungkin saja penonton jadi tak tenang, dan ingin mendiskusikan tentang segala yang terjadi sepanjang film.
Civil War bisa ditonton di jaringan bioskop di Indonesia mulai 30 April 2024.
Civil War adalah kisah fiksi tentang perang saudara di Amerika Serikat (AS). Namun berbeda dengan film perang pada umumnya, film yang digarap dan ditulis oleh Alex Garland (28 Days Later, Sunshine, Never Let Me Go, Dredd), ini tidak secara gamblang memberikan latar belakang mengapa perang tersebut bisa terjadi.
Penonton hanya bisa menebak-nebak dari dialog dan gambaran yang ada, bahwa perang ini terjadi pada masa pemerintahan ketiga dari seorang Presiden AS. Padahal, hukum yang berlaku saat ini (dalam kehidupan nyata) adalah masa pemerintahan dibatasi hanya dua periode.
Lalu, dalam masa tersebut terjadi pemberontakan dari beberapa wilayah AS, dengan beberapa pihak membangun aliansi yang berbeda-beda. Salah satu yang terkuat adalah Pasukan Barat. Tujuan mereka menggulingkan Presiden AS yang sedang berkuasa.
Sepanjang film, tak ada 'arahan' yang eksplisit dari Alex Garland bahwa penonton harus bersimpati pada kubu pemerintah AS atau pada Pasukan Barat. Sepertinya, ini adalah hal yang disengaja, karena Civil War memang mengambil sudut pandang dari para jurnalis, dalam hal ini adalah jurnalis foto.
Foto: A24
Ada empat jurnalis yang menjadi karakter utamanya, dan mereka berada dalam satu mobil menuju White House di Washington, D.C. Misi mereka adalah mewawancarai Presiden AS (Nick Offerman) sebelum ia jatuh dari tampuk kekuasaannya, seperti yang diramalkan banyak orang.
Mereka adalah Lee Smith (Kirsten Dunst), jurnalis foto legendaris dari Colorado yang prestasinya disamakan dengan jurnalis legendaris dari masa Perang Dunia II, Lee Miller. Ia punya banyak pengalaman sebagai jurnalis perang.
Rekannya adalah Joel (Wagner Moura), jurnalis dari Reuters. Lalu ada jurnalis veteran dari The New York Times, Sammy (Stephen McKinley Henderson) yang juga merupakan mentor Lee. Namun fisiknya sudah sangat rapuh hingga sebenarnya tak cocok lagi berada di medan perang.
Terakhir, ada Jessie (Cailee Paeny), gadis berusia 23 tahun yang ingin menjadi jurnalis foto seperti Lee Smith.
Yang menarik dari Civil War adalah, keempat protagonis ini tidaklah ditempatkan sebagai pahlawan dalam cerita. Mereka murni ditempatkan sebagai jurnalis, dan bekerja dengan pola pikir jurnalis yang hanya ingin melaporkan kejadian penting dalam sejarah dan mendapatkan berita atau foto eksklusif.
Alih-alih menolong orang tertembak, mereka sibuk mengabadikan peristiwa itu. Civil War juga menggambarkan kedisiplinan para jurnalis, yang selalu berada di belakang pasukan mana pun yang mereka temui, demi mengambil gambar terbaik tanpa mengorbankan nyawa mereka.
Semua berjalan sesuai standar kerja jurnalistik, sampai Lee merasa dirinya harus melindungi Jessie yang masih amatir dan polos, yang syok kala melihat orang digantung dalam kondisi masih hidup dengan penuh luka. Dari sinilah penonton mulai diperlihatkan sisi humanis Lee.
Berbarengan dengan itu, penonton juga diberikan sajian horor perang saudara yang mengerikan, juga pertemuan dengan para fasis yang sangat mendebarkan. Bagian-bagian ini adalah resep klasik sebuah perang yang dimasukkan Alex Garland dalam Civil War.
Foto: A24
Meski begitu, dengan tata suara yang apik serta bangunan cerita yang dibangun pelan-pelan hingga mencapai klimaksnya, scene-scene klasik ini tetapkah menarik dan sangat membuat deg-degan.
Dari rentetan adegan-adegan ini pula, penonton akan melihat perubahan karakter dari Lee dan Jessie. Kala Lee mulai makin tertekan, Jessie justru malah menemukan kegembiraan karena adrenalinnya benar-benar melesat tinggi di tengah desingan peluru.
Dan dari sinilah Civil War memicu munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang kerja dan etika jurnalistik. Selesai menontonnya, mungkin saja penonton jadi tak tenang, dan ingin mendiskusikan tentang segala yang terjadi sepanjang film.
Civil War bisa ditonton di jaringan bioskop di Indonesia mulai 30 April 2024.
(ita)