CERMIN: setelah 6 Tahun, Apa Lagi yang Ingin Dibicarakan Dilan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2018. Bioskop seluruh Indonesia tiba-tiba tergila-gila dengan Dilan. Pada hari pertama rilisnya, film Dilan 1990 langsung sukses meraup 225 ribu penonton.
Saya tahu sejak awal bahwa saya bukan target market Dilan 1990. Jadi saya menetapkan ekspektasi serendah-rendahnya ketika melakukan ibadah #KamisKeBioskop dan memilih aktivitas unik: memperhatikan penonton film tersebut.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa remaja putri dan ibu-ibu begitu mudahnya tersipu-sipu oleh ujaran, dialog gemas, hingga tingkah laku Dilan yang dibawakan dengan santai oleh Iqbaal Ramadhan. Sebagai non-target market, tentu saja saya tidak tersipu-sipu dan gemas dengan Iqbal, tapi saya tetap bisa melihat betapa menariknya karakter yang diciptakan oleh Pidi Baiq ini.
Tapi buat saya yang non target market ini, tak ada hal baru yang ditawarkan Dilan. Selama 100 menit durasinya sesekali saya ikut tertawa kecil tapi tak tersipu-sipu, sering kali saya terpesona dengan sosok Milea dan sesekali pula saya menguap lantaran merasa bosan dan akhirnya jatuh tertidur.
Karena itulahketika mendengar rencana produksi Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, pertanyaan pertama yang hinggap di kepala saya adalah, apa yang akan ditawarkan Dilan selain gombalan-gombalan yang mungkin mulai terdengar usang dan garing setelah selang waktu enam tahun?
Foto: MD Pictures
Betul dugaan saya. Gombalan-gombalan itu terasa usang dan garing terutama bagi generasi Z. Pengalaman menonton Dilan 1990 dan Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 terasa cukup berbeda. Ketika menyaksikan Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, penonton tak sebanyak dan seantusias Dilan 1990 dan terutama tak setersipu-sipu penonton Dilan 1990.
Apa yang terjadi? Dugaan saya memang karena keinginan untuk setia mati-matian kepada materi aslinya dan tak berusaha untuk menyegarkan sosok Dilan maupun pengalaman yang dirasakannya pada 1995 pada masa sekarang atau tahun 2024. Tapi saya mengapresiasi sosok Dilan yang kini jauh lebih dewasa, terasa lebih cool dan tak klemer-klemer lagi.
Sesuai judulnya, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, fokus cerita tentu saja pada sosok Ancika, gadis cantik dengan sikap yang dingin. Tak ada penjelasan apa pun kenapa dia harus terus konsisten bersikap seperti itu (dan membuat kita capek melihatnya), latar belakang keluarga Ancika yang tak dalam digali juga sama sekali tak membantu kita memahami Ancika.
Tapi tiba-tiba saja gadis sedingin es seperti Ancika lumer begitu saja oleh Dilan. Saya yang laki-laki tulen masih tak mengerti sampai hari ini kenapa sosok Dilan bisa dibikin begitu mudah dijatuhi cinta oleh perempuan yang ditaksirnya. Padahal banyak yang mau dengan Ancika karena memang sosoknya bikin gemas (bayangkan Ancika di tangan Zee JKT48 seperti apa).
Foto: MD Pictures
Namun di luar karakterisasi yang terasa satu dimensi, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 terasa jauh lebih baik dari Dilan 1990. Di tangan Benni Setiawan sebagai sutradara membuat ritme cerita lebih mudah diikuti.
Bagian-bagian yang membuat ngantuk mulai berkurang banyak, dan terutama kita melihat skenario memberi ruang bagi kita melihat Dilan dalam sosok berbeda: seseorang yang belajar dari kegagalan cintanya pada masa lalu, dan menjadi lebih dewasa karenanya. Di luar dugaan, Arbani Yasiz bahkan terasa lebih rileks dan seperti tanpa beban memainkan peran ikonis ini.
Namunmemang tak bisa berharap banyak akan ada hal-hal inventif yang tiba-tiba muncul dalam Ancika: Dia yang Bersamaku 1995. Kita cuma melihat dalam beberapa adegan bagaimana Dilan berada di tengah gemuruh demonstrasi yang memang meruyak di sekitar tahun-tahun sebelum kejatuhan Soeharto. Tapi ya sebatas itu, tak lebih.
Setelah Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, mungkin Pidi Baiq perlu mulai memikirkan untuk meremajakan sosok Dilan. Bukan dengan membuat usianya jadi lebih muda tapi lebih menggali sisi-sisi pribadi yang belum banyak dieksplorasi. Sehingga kita bisa melihat Dilan menjadi sosok yang lebih mudah diterima generasi Z yang mungkin sudah tak mudah terbuai lagi oleh gombalan-gombalan usang dan garing itu.
Foto: MD Pictures
Mungkin kita bisa melihat Dilan dalam dimensi yang berbeda, dimensi yang lebih berani memperlihatkan kerapuhannya sebagai seorang laki-laki. Atau bisa juga dimensi yang lebih menantang Dilan untuk memperlihatkan segala kontradiksi yang dialaminya dalam perjalanan menjadi dewasa.
Tak mudah menciptakan sosok ikonis seperti Dilan dan rasanya karakter ini perlu dijaga dari waktu ke waktu, dari novel ke film, juga dari film ke film. Sehingga setiap generasi yang bertemu Dilan pada masa mereka tetap bisa terkoneksi dengannya. Kita tak perlu bertemu dengan sosok Dilan yang terjebak pada masa lalu dan kita tak terhubung dengannya.
Kita bisa melihat bahwa Dilan lebih dari sekadar seseorang yang lihai melontarkan gombalan-gombalan usang dan garing itu. Mungkin kita bisa berharap melihat Dilan yang lebih kritis dan lebih reseptif dengan apa pun yang terjadi di sekelilingnya?
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995
Produser: Budi Ismato, Manoj Punjabi
Sutradara: Benni Setiawan
Penulis Skenario: Tubagus Deddy, Benni Setiawan
Pemain: Zee JKT48, Arbani Yasiz, Daffa Wardhana
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Saya tahu sejak awal bahwa saya bukan target market Dilan 1990. Jadi saya menetapkan ekspektasi serendah-rendahnya ketika melakukan ibadah #KamisKeBioskop dan memilih aktivitas unik: memperhatikan penonton film tersebut.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa remaja putri dan ibu-ibu begitu mudahnya tersipu-sipu oleh ujaran, dialog gemas, hingga tingkah laku Dilan yang dibawakan dengan santai oleh Iqbaal Ramadhan. Sebagai non-target market, tentu saja saya tidak tersipu-sipu dan gemas dengan Iqbal, tapi saya tetap bisa melihat betapa menariknya karakter yang diciptakan oleh Pidi Baiq ini.
Tapi buat saya yang non target market ini, tak ada hal baru yang ditawarkan Dilan. Selama 100 menit durasinya sesekali saya ikut tertawa kecil tapi tak tersipu-sipu, sering kali saya terpesona dengan sosok Milea dan sesekali pula saya menguap lantaran merasa bosan dan akhirnya jatuh tertidur.
Karena itulahketika mendengar rencana produksi Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, pertanyaan pertama yang hinggap di kepala saya adalah, apa yang akan ditawarkan Dilan selain gombalan-gombalan yang mungkin mulai terdengar usang dan garing setelah selang waktu enam tahun?
Foto: MD Pictures
Betul dugaan saya. Gombalan-gombalan itu terasa usang dan garing terutama bagi generasi Z. Pengalaman menonton Dilan 1990 dan Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 terasa cukup berbeda. Ketika menyaksikan Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, penonton tak sebanyak dan seantusias Dilan 1990 dan terutama tak setersipu-sipu penonton Dilan 1990.
Apa yang terjadi? Dugaan saya memang karena keinginan untuk setia mati-matian kepada materi aslinya dan tak berusaha untuk menyegarkan sosok Dilan maupun pengalaman yang dirasakannya pada 1995 pada masa sekarang atau tahun 2024. Tapi saya mengapresiasi sosok Dilan yang kini jauh lebih dewasa, terasa lebih cool dan tak klemer-klemer lagi.
Sesuai judulnya, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, fokus cerita tentu saja pada sosok Ancika, gadis cantik dengan sikap yang dingin. Tak ada penjelasan apa pun kenapa dia harus terus konsisten bersikap seperti itu (dan membuat kita capek melihatnya), latar belakang keluarga Ancika yang tak dalam digali juga sama sekali tak membantu kita memahami Ancika.
Tapi tiba-tiba saja gadis sedingin es seperti Ancika lumer begitu saja oleh Dilan. Saya yang laki-laki tulen masih tak mengerti sampai hari ini kenapa sosok Dilan bisa dibikin begitu mudah dijatuhi cinta oleh perempuan yang ditaksirnya. Padahal banyak yang mau dengan Ancika karena memang sosoknya bikin gemas (bayangkan Ancika di tangan Zee JKT48 seperti apa).
Foto: MD Pictures
Namun di luar karakterisasi yang terasa satu dimensi, Ancika: Dia yang Bersamaku 1995 terasa jauh lebih baik dari Dilan 1990. Di tangan Benni Setiawan sebagai sutradara membuat ritme cerita lebih mudah diikuti.
Bagian-bagian yang membuat ngantuk mulai berkurang banyak, dan terutama kita melihat skenario memberi ruang bagi kita melihat Dilan dalam sosok berbeda: seseorang yang belajar dari kegagalan cintanya pada masa lalu, dan menjadi lebih dewasa karenanya. Di luar dugaan, Arbani Yasiz bahkan terasa lebih rileks dan seperti tanpa beban memainkan peran ikonis ini.
Namunmemang tak bisa berharap banyak akan ada hal-hal inventif yang tiba-tiba muncul dalam Ancika: Dia yang Bersamaku 1995. Kita cuma melihat dalam beberapa adegan bagaimana Dilan berada di tengah gemuruh demonstrasi yang memang meruyak di sekitar tahun-tahun sebelum kejatuhan Soeharto. Tapi ya sebatas itu, tak lebih.
Setelah Ancika: Dia yang Bersamaku 1995, mungkin Pidi Baiq perlu mulai memikirkan untuk meremajakan sosok Dilan. Bukan dengan membuat usianya jadi lebih muda tapi lebih menggali sisi-sisi pribadi yang belum banyak dieksplorasi. Sehingga kita bisa melihat Dilan menjadi sosok yang lebih mudah diterima generasi Z yang mungkin sudah tak mudah terbuai lagi oleh gombalan-gombalan usang dan garing itu.
Foto: MD Pictures
Mungkin kita bisa melihat Dilan dalam dimensi yang berbeda, dimensi yang lebih berani memperlihatkan kerapuhannya sebagai seorang laki-laki. Atau bisa juga dimensi yang lebih menantang Dilan untuk memperlihatkan segala kontradiksi yang dialaminya dalam perjalanan menjadi dewasa.
Tak mudah menciptakan sosok ikonis seperti Dilan dan rasanya karakter ini perlu dijaga dari waktu ke waktu, dari novel ke film, juga dari film ke film. Sehingga setiap generasi yang bertemu Dilan pada masa mereka tetap bisa terkoneksi dengannya. Kita tak perlu bertemu dengan sosok Dilan yang terjebak pada masa lalu dan kita tak terhubung dengannya.
Kita bisa melihat bahwa Dilan lebih dari sekadar seseorang yang lihai melontarkan gombalan-gombalan usang dan garing itu. Mungkin kita bisa berharap melihat Dilan yang lebih kritis dan lebih reseptif dengan apa pun yang terjadi di sekelilingnya?
Ancika: Dia yang Bersamaku 1995
Produser: Budi Ismato, Manoj Punjabi
Sutradara: Benni Setiawan
Penulis Skenario: Tubagus Deddy, Benni Setiawan
Pemain: Zee JKT48, Arbani Yasiz, Daffa Wardhana
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)