Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan

Rabu, 10 Januari 2024 - 15:06 WIB
loading...
Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan
Film pendek Suara Kirana mengangkat tema hoaks, pernikahan dini dan perempuan sebagai korbannya Foto/Plan Internasional Indonesia
A A A
JAKARTA - Berdurasi nyaris tiga puluh menit, film pendek karya sutradara dan penulis skenario Andrew Kose dan Nabil Swara, ini kaya dengan berbagai pesan menarik. Mulai dari cerita berbau mistis, hoaks, hingga terabaikannya hak perempuan akibat pernikahan dini.

Film ini diproduksi oleh Plan Internasional Indonesia berkolaborasi dengan Pasar Malam Films. Menariknya, aktor dan aktris utamanya adalah Jourdy Pranata dan Dhea Seto. Wajah mereka sudah tak asing karena kerap wara-wiri dalam film pendek atau layar lebar Indonesia.

Keduanyadijadikan sebagai kekasih, Anggi dan Indra, yang punya karakter berkebalikan. Anggi adalah anak SMA yang serius, pintar, dan cukup bijaksana. Sedangkan Indra lebih impulsif, kurang logis, tetapi penyayang.



Mengambil latar tempat yang tak biasa, Cisolok adalah salah satu kecamatan di daerah Sukabumi yang lekat dengan cerita mistisnya. Untuk yang belum tahu, Cisolok masih berada di wilayah pantai Pelabuhan Ratu.

Salah satu adegan lucunya memperlihatkan bagaimana mitos Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan, masih lekat di hati masyarakat. Hal ini bahkan digunakan untuk mencari rezeki oleh penduduk setempat.

Berita Hoaks, Bahaya Terselubung yang Mengintai

Siapa yang menyangka bahwa generasi milenial, yang lahir di antara tahun 1980-an hingga 2000-an adalah generasi yang dinilai paling rentan percaya atas berita bohong atau hoaks. Generasi ini adalah generasi peralihan yang mulai menggunakan internet dan bermedia sosial. Namun, tidak semuanya bijaksana menerima dan memanfaatkan berita yang beredar.

Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan

Foto:Plan Internasional Indonesia

Menyadari hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Republik Indonesia tidak tinggal diam. Sejak 2016, Kemkominfo merangkul kalangan dari generasi milenial untuk bergabung dalam gerakan Masyarakat Indonesia Anti-Hoax.

Agendanya meliputi edukasi terkait penyebaran berita hoaks, literasi lewat media, atau roadshow ke institusi pendidikan. Misalnya ke kampus, pesantren, ormas, pemuka agama, budayawan, dan lainnya

Film Suara Kiranamemuat unsur edukasi terkait verifikasi beritahoaks sebagai bagian penting dari kode etik jurnalistik. Di awal film, sudah diperlihatkan potongan-potongan berita media sosial dengan isi yang unik, menarik, sampai provokatif.

Anggi yang bercita-cita menjadi seorang jurnalis ingin membuat makalah mengenai membuktikan kebenaran sebuah berita yang didapatnya di internet dengan melakukan riset secara langsung. Topik riset dia adalah mengenai kisah seorang murid SMA Cisolok bernama Kirana yang Indra lihat di internet.

Sedari awal mereka memulai riset, narasumber mereka, Ibu Dini, guru dari Kirana, sudah mengonfirmasi bahwa berita yang beredar adalah bohong. Bayangkan, betapa kuatnya sebuah berita dari Sukabumi bisa sampai ke Jakarta dan dipercayai yang membacanya tanpa ada konfirmasi benar atau tidak.

Kisah Kirana adalah contoh berita tentang seorang anak perempuan yang bukan siapa-siapa. Kirana juga tidak merasa terbebani dengan cerita yang beredar. Bayangkan jika sebaliknya, suatu beritahoaks menyebar dan berakibat buruk bagi yang diberitakan.

Pernikahan Dini Tidak Menguntungkan Perempuan

Tokoh utama yang menjadi masalah bagi Anggi dan Indra adalah Kirana. Ia ada mantan murid di SMAN Cisolok yang terpaksa putus sekolah karena dihamili dan menikah dini dengan kekasihnya. Sayangnya, si kekasih tersebut kemudian pergi entah ke mana dan meninggalkan Kirana dan bayinya selepas menikah.

KIrana digambarkan sebagai anak yang cerdas, kreatif, dan terpelajar pada masanya. Sayangnya, Kirana dekat dengan anak lelaki yang salah sampai terjadilah kehamilan. Saat diketahui hamil di luar nikah, Kirana justru dipaksa menikah dan tinggal sendiri di kota Sukabumi.

Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan

Foto: Plan Internasional Indonesia

Jika lakukan pencarian di internet terkait “Kehamilan di luar nikah“, kita akan dapati betapa banyak berita harian terkait hal tersebut. Bahkan tak sedikit memuat juga kasus turunan seperti perceraian hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kebanyakan korbannya adalah perempuan yang menjadi istri dan ibu dalam usia yang masih sangat muda.

Menurut data UNICEF yang diperoleh pada 2023, ada sekitar 640 juta anak perempuan di dunia menikah pada masa kanak-kanak. Pernikahan anak ini adalah praktik berbahaya yang sering terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Alasan utamanya terjadi karena himpitan ekonomi dan dilakukan untuk bertahan hidup. Menikahkan anak secara dini akan memastikan keamanan finansial bagi keluarganya.

Mirisnya, Indonesia berada di posisi tertinggi tingkat pernikahan anak di Kawasan Asia Pasifik, bahkan tertinggi ke-8 di dunia. Satu dari sembilan anak perempuan Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Sangat disayangkan, pernikahan ini terjadi dengan mengabaikan unsur kesehatan emosional, mental, dan fisik si anak perempuan.

Masih ada banyak Kirana-Kirana lain di Indonesia meskipun saat ini pemerintah Indonesia sudah merevisi usia pernikahan sah. Menurut Undang-undang adalah minimum berusia 19 tahun bagi anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, dengan banyak alasan, nyatanya pihak keluarga bisa mengajukan permohonan kompensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat setempat.

Tak semulus yang dibayangkan, pernikahan dini nyatanya sering berujung pada perceraian, pengabaian, atau kekerasan (KDRT). Ketika hal itu terjadi, perempuan selaku istri dan sudah jadi ibu akan menanggung semua beban: finansial dan membesarkan anak. Dalam keadaan tersebut, mereka akan rentan depresi, dihantui kecemasan berlebihan, atau serangan panik.

Pada akhirnya, Indonesia berpotensi kehilangan sosok ibu sebagai tonggak keluarga. Tak ada ibu yang sehat secara mental dan fisik. Padahal penting untuk diketahui bahwa sosok ibu dengan mental yang sehat akan mampu mewariskan kesehatan mental yang sehat juga bagi anak-anaknya, dan sebaliknya.

Agama sebagai Tameng Pernikahan Dini

Angka dari situs web databoks.katadata.co.id menegaskan bahwa 86,93% orang Indonesia beragama Islam. Di bawahnya ada yang beragama Kristen, Katolik, kemudian diikuti agama lainnya hingga aliran kepercayaan dan Konghucu.

Dipastikan dari data tersebut tidak ada yang atheis. Hal ini menunjukkan bagaimana norma agama memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dalam hal berkeluarga.

Review Film Suara Kirana: Berita Bohong, Pernikahan Dini, dan Hak Hidup Anak Perempuan

Foto: Plan Internasional Indonesia

Merujuk pada konsep agama Islam, tidak dikenal istilah pacaran. Agama Islam pun ketat mengatur cara perempuan dan lelaki saling bergaul. Itulah mengapa, masih ada kecenderungan keluarga melarang anaknya pacaran dan malah memilih langsung menikahkan anak-anaknya ketika ketahuan dekat, meskipun usia anak masih sangat muda.

Komnas Perempuan mengeluarkan data bahwa penyebab pengajuan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama dilandasi setidaknya empat alasan. Yang pertama, budaya lama yang memandang perempuan yang sudah menstruasi siap menikah.

Yang kedua, menutupi aib karena telanjur hamil di luar nikah. Ketiga, pandangan sempit orang tua yang meremehkan pendidikan tinggi bagi anak perempuan. Terakhir, kuat dalil agama yang memuat aturan jauhi perbuatan zina.

Terkait alasan yang terakhir, peran hakim Pengadilan Agama yang menjunjung tinggi hak anak perempuan sayangnya masih sedikit. Mereka akan lebih memutuskan berdasarkan alasan menghindari zina atau sudah pernah berhubungan seksual untuk putusan dispensasi pernikahan anak.

Bisa dipahami, memutuskan perkara dengan alasan keagamaan membuat sulit Pengadilan Agama untuk menolak. Jika menolak, dikhawatirkan ada anggapan pembiaran terhadap perbuatan dosa besar atau mengizinkan berzina.

Keadaan tersebut pada akhirnya menjadi lingkaran setan yang terus berputar dengan anak-anak perempuan yang seringnya menjadi korban.

Lalu Apa Upaya yang Bisa Kita Lakukan?

Sekolah bisa menjadi satu tempat yang baik untuk jadi tempat edukasi seksual anak. Anak perempuan dan laki-laki sama-sama harus tahu cara bergaul yang sehat, benar, dan sesuai agamanya. Mereka harus paham fungsi reproduksi secara ilmiah sekaligus menggunakan hasrat seksual dengan bijak dan tepat sebelum waktunya.



Di tengah masyarakat pun, dinas terkait tetap mengupayakan edukasi dan memberi pemahaman kepada keluarga-keluarga yang masih memiliki pemikiran kolot mengenai masa depan anak perempuan. Edukasi ini bisa dilakukan lewat ceramah keagamaan atau pemaparan kegiatan oleh pemuka agama, psikolog, atau pihak berwenang lainnya.

Sebagai masyarakat secara umum, kita berupaya menjaga jangan sampai ada di sekitar kita anak-anak perempuan yang masa depannya harus terenggut karena kesalahan mereka sendiri dalam bergaul, pemahaman orang tuanya yang masih kolot, atau keterbatasan ekonomi yang memaksa untuk hidup menjual dirinya.

Sari Agustia
Ibu rumah tangga yang gemar menulis cerita fiksi, sedang belajar menulis skenario, bergiat di ISP NULIS, bisa dikontak via Instagram @sari_agustia

(ita)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2410 seconds (0.1#10.140)