CERMIN: Fotografer Perempuan di Tengah Medan Perang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mei 1998. James Natchwey menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seorang pria Kristiani digorok lehernya oleh massa.
Penyebabnya masih diragukan kebenarannya: ia diduga merusak masjid. namun kepala seseorang telah terpenggal dan James menyebarluaskannya ke seluruh dunia melalui foto-fotonya.
Pengalaman James itu dituturkannya dalam film yang menjadi Best Documentary Feature dalam ajang Academy Awards 2002, War Photographer. Dan kita terpesona dengan kegigihan James menjadi corong dari suara para korban.
Kita terkagum melihat betapa ketatnya ia mengawal rasa ketika berhadapan dengan peristiwa yang bisa mengoyak rasa kemanusiaan. James menjadi contoh sempurna tentang bagaimana seorang fotografer perang turut mempertaruhkan nyawanya memotret dari dekat dan menyebarluaskannya kelak ke seluruh dunia.
Setelah James Natchwey, mungkin kita akan kagum pada sosok fotografer perang perempuan, Lee Smith. Tapi Lee bukan tokoh nyata, ia hanya karakter rekaan dari film besutan Alex Garland, Civil War.
Foto: A24
Melalui mata Lee, kita melihat bagaimana Amerika terpecah belah, hancur lebur berantakan oleh perpecahan antarsesama dan memelihara saling curiga dalam taraf paling akut yang pernah kita saksikan.
Sebagaimana James, Lee (diperankan dengan cemerlang oleh Kirsten Dunst) juga adalah seorang fotografer perempuan berhati baja dan tak kenal takut. Preferensi gender tak berarti sama sekali buatnya.
Ia hanya peduli satu hal: memberitakan informasi yang mungkin dibutuhkan oleh dunia melalui foto-fotonya. Oleh karena itu, bersama rekannya, reporter dari kantor berita Reuters,Joe; temannya sesama jurnalis senior; Sammy; dan fotografer perempuan yang minim pengalaman, Jessie, keduanya mengejar berita ke pusat masalah: Presiden Amerika Serikat.
Namundi tengah situasi tak menentu dan sering kali tak terkendali, apa pun bisa terjadi. Perjalanan mereka menemui beragam hambatan hingga bertemu sebuah peristiwa yang mengguncang kewarasan mereka.
Lee tetaplah seorang manusia yang memiliki batas, yang bisa jadi selalu berusaha didekapnya erat-erat. Namun kita tahu suatu saat batas itu luntur hingga tak ada lagi batas, tak ada lagi hal yang bisa membuat seseorang masih merasa dirinya seorang manusia.
Di tengah situasi tak menentu itu, ada Jessie yang tengah mencari jati dirinya sebagai seorang fotografer perang. Ia sering kali bertindak ceroboh, tak awas dengan bahaya yang selalu bisa mengintainya kapan saja, dan bahkan melakukan hal-hal yang membahayakan sesama rekan-rekannya.
Foto: A24
Kita melihat bagaimana dua perempuan yang terpaut usia cukup jauh dalam memandang sebuah peristiwa. Bagaimana Lee yang berusaha selalu bersikap dingin dan sinis seperti James Natchwey, tapi tak bisa mengelak dari kewarasannya ketika ia terus-menerus digempur peristiwa yang menimbulkan gelombang trauma.
Alex Garland bukan seorang sutradara sembarangan. Bahkan sebagian menganggapnya seorang peramal. Filmnya pada 2014, Ex Machina, menggambarkan dengan cemerlang hal yang bisa terjadi pada masa depan.
Lalu 10 tahun setelah film tersebut dirilis, kita berhadapan dengan robot AI sebagaimana yang digambarkan Alex dalam film tersebut.
Oleh karena itu,apakah Civil War juga menjadi semacam ramalan dari Alex bahwa akan terjadi perpecahan, pertumpahan darah, hingga kehancuran di Amerika dalam waktu dekat yang disebabkan oleh pertikaian sesama?
Bibit-bibit itu sesungguhnya semakin terlihat sejak Donald Trump memimpin Amerika. Gerakan ekstremis semakin tumbuh subur tak tertahankan, gelombang separatis juga mengalami musim seminya sendiri dan bahkan sebagian warga Amerika tak sadar bahwa ancaman bahaya tengah terjadi di depan mata mereka.
Alex mengingatkan itu melalui kisah fiksinya dengan meminjam mata fotografer dan jurnalis yang merelakan diri berada di garis depan. Mungkin untuk sekadar mencari kebenaran dan sedapat mungkin memotretnya.
Penyebabnya masih diragukan kebenarannya: ia diduga merusak masjid. namun kepala seseorang telah terpenggal dan James menyebarluaskannya ke seluruh dunia melalui foto-fotonya.
Pengalaman James itu dituturkannya dalam film yang menjadi Best Documentary Feature dalam ajang Academy Awards 2002, War Photographer. Dan kita terpesona dengan kegigihan James menjadi corong dari suara para korban.
Kita terkagum melihat betapa ketatnya ia mengawal rasa ketika berhadapan dengan peristiwa yang bisa mengoyak rasa kemanusiaan. James menjadi contoh sempurna tentang bagaimana seorang fotografer perang turut mempertaruhkan nyawanya memotret dari dekat dan menyebarluaskannya kelak ke seluruh dunia.
Setelah James Natchwey, mungkin kita akan kagum pada sosok fotografer perang perempuan, Lee Smith. Tapi Lee bukan tokoh nyata, ia hanya karakter rekaan dari film besutan Alex Garland, Civil War.
Foto: A24
Melalui mata Lee, kita melihat bagaimana Amerika terpecah belah, hancur lebur berantakan oleh perpecahan antarsesama dan memelihara saling curiga dalam taraf paling akut yang pernah kita saksikan.
Sebagaimana James, Lee (diperankan dengan cemerlang oleh Kirsten Dunst) juga adalah seorang fotografer perempuan berhati baja dan tak kenal takut. Preferensi gender tak berarti sama sekali buatnya.
Ia hanya peduli satu hal: memberitakan informasi yang mungkin dibutuhkan oleh dunia melalui foto-fotonya. Oleh karena itu, bersama rekannya, reporter dari kantor berita Reuters,Joe; temannya sesama jurnalis senior; Sammy; dan fotografer perempuan yang minim pengalaman, Jessie, keduanya mengejar berita ke pusat masalah: Presiden Amerika Serikat.
Namundi tengah situasi tak menentu dan sering kali tak terkendali, apa pun bisa terjadi. Perjalanan mereka menemui beragam hambatan hingga bertemu sebuah peristiwa yang mengguncang kewarasan mereka.
Lee tetaplah seorang manusia yang memiliki batas, yang bisa jadi selalu berusaha didekapnya erat-erat. Namun kita tahu suatu saat batas itu luntur hingga tak ada lagi batas, tak ada lagi hal yang bisa membuat seseorang masih merasa dirinya seorang manusia.
Di tengah situasi tak menentu itu, ada Jessie yang tengah mencari jati dirinya sebagai seorang fotografer perang. Ia sering kali bertindak ceroboh, tak awas dengan bahaya yang selalu bisa mengintainya kapan saja, dan bahkan melakukan hal-hal yang membahayakan sesama rekan-rekannya.
Foto: A24
Kita melihat bagaimana dua perempuan yang terpaut usia cukup jauh dalam memandang sebuah peristiwa. Bagaimana Lee yang berusaha selalu bersikap dingin dan sinis seperti James Natchwey, tapi tak bisa mengelak dari kewarasannya ketika ia terus-menerus digempur peristiwa yang menimbulkan gelombang trauma.
Alex Garland bukan seorang sutradara sembarangan. Bahkan sebagian menganggapnya seorang peramal. Filmnya pada 2014, Ex Machina, menggambarkan dengan cemerlang hal yang bisa terjadi pada masa depan.
Lalu 10 tahun setelah film tersebut dirilis, kita berhadapan dengan robot AI sebagaimana yang digambarkan Alex dalam film tersebut.
Oleh karena itu,apakah Civil War juga menjadi semacam ramalan dari Alex bahwa akan terjadi perpecahan, pertumpahan darah, hingga kehancuran di Amerika dalam waktu dekat yang disebabkan oleh pertikaian sesama?
Bibit-bibit itu sesungguhnya semakin terlihat sejak Donald Trump memimpin Amerika. Gerakan ekstremis semakin tumbuh subur tak tertahankan, gelombang separatis juga mengalami musim seminya sendiri dan bahkan sebagian warga Amerika tak sadar bahwa ancaman bahaya tengah terjadi di depan mata mereka.
Alex mengingatkan itu melalui kisah fiksinya dengan meminjam mata fotografer dan jurnalis yang merelakan diri berada di garis depan. Mungkin untuk sekadar mencari kebenaran dan sedapat mungkin memotretnya.