Belajar Hidup Bijak dan Bahagia dari King of Stoicism Marcus Aurelius
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjadi orang bijak, mungkin suatu hal yang setiap orang ingin meraihnya. Tetapi tidak sedikit dari orang yang ingin menjadi bijak, malahan menjadi orang yang sok bijak.
Berpikir bijak bukanlah perkara mudah. Banyak kutipan dan motto hidup bijak yang seakan-akan gampang dipraktikkan, tapi tetap aja, itu hanyalah sebatas kata-kata.
Bijak dalam berperilaku adalah hal yang amat sulit dilakukan. Bahkan orang dewasa pun belum tentu mampu berpikir dan berperilaku bijak.
Nah, untuk belajar bijak, mungkin kita bisa belajar dari Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang dianggap sebagai “Lima Kaisar yang Baik” sekaligus "The Philoshoper King". Dia bukan hanya kaisar, tapi juga penganut Stoikisme, aliran mazhab filsafat Yunani kuno.
Foto: Daily Stoic
Marcus Aurelius menulis sebuah catatan harian yang kemudian dibukukan dengan judul “Meditations”. Buku ini mengandung banyak ajaran penting untuk hidup dengan bijak. Sekarang, mari kita ulas cara Marcus Aurelius menjalankan kehidupan dengan bijak.
Kehidupan Menurut Marcus Aurelius
“Segala sesuatu—kuda, anggur– diciptakan untuk tugas tertentu, lalu untuk tugas apa engkau diciptakan?”
Marcus beranggapan bahwa semua yang ada di alam semesta punya tugas masing-masing. Lalu apa tugas manusia? Menurutnya, tugas manusia adalah menjadi manusia yang baik. Manusai yang baik ialah selalu mengungkapkan kebenaran tanpa ragu-ragu.
Foto:American Magazine
Kehidupan manusia pun punya prinsip-prinsip utama. “Tubuh dan semuanya berubah-ubah bagaikan sungai. Jiwa bagaikan mimpi dan kabut, kehidupan adalah medan perang dan perjalanan yang jauh dari rumah, segala reputasi akan terlupakan,” tulisnya.
Tubuh akan tetap berubah-ubah karena tubuh manusia tidak akan abadi. Tubuh kita menuju kehancuran, dari bayi hingga ke tua.
Sementara jiwa kita yang kebingungan mirip kabut, karena gampang dipengaruhi oleh hal-hal di luar kita. Akhirnya hidup kita hanyalah perang antara diri kita sendiri dan kehidupan di luar. Reputasi atau status tidak benar-benar berguna. Kesombongan akan membawa menuju kehancuran.
Kebahagiaan
Setelah memaknai kehidupan, kita perlu melanjutkan ke taraf hidup bahagia. Dalam ajaran Stoikisme, kebahagiaan bergantung pada cara kita menyikapi kehidupan. Kebahagiaan tidak sekadar mencari kesenangan, karena kebahagiaan dari kesenangan selalu berubah-ubah dengan suasana hati kita.
Foto:Inspiration Feed
Kebahagiaan sebenarnya adalah saat kita terbebas dari hal-hal yang mengikat kita. Mengikat di sini bukan mengacu pada peraturan, tapi sesuatu seperti harapan berlebih yang membuat kita tidak bisa bebas bertindak. Gunakan harapan sebagai motivasi, bukan sesuatu yang mengikat diri.
Sementara untuk mencapai kebahagiaan, caranya adalah dengan bersyukur atas segala yang kita miliki. Setiap orang sudah memiliki jalannya masing-masing. Kalau kita mencoba mengkuti jalan takdir kita, dari situlah kebahagiaan akan muncul pada hidup kita.
Rasa Sakit
Kehidupan seorang manusia tidak bisa jauh dari perasaan negatif seperti rasa tersakiti. Marcus berkata, “"Adalah nasib burukku semua ini terjadi padaku". Jangan begitu, harusnya kau katakan "Adalah nasib baikku, meskipun semua ini terjadi padaku aku dapat menanggungnya tanpa rasa sakit, baik itu kehancuran pada masa kini maupun ketakutan akan masa depan.""
Berpikir bijak bukanlah perkara mudah. Banyak kutipan dan motto hidup bijak yang seakan-akan gampang dipraktikkan, tapi tetap aja, itu hanyalah sebatas kata-kata.
Bijak dalam berperilaku adalah hal yang amat sulit dilakukan. Bahkan orang dewasa pun belum tentu mampu berpikir dan berperilaku bijak.
Nah, untuk belajar bijak, mungkin kita bisa belajar dari Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang dianggap sebagai “Lima Kaisar yang Baik” sekaligus "The Philoshoper King". Dia bukan hanya kaisar, tapi juga penganut Stoikisme, aliran mazhab filsafat Yunani kuno.
Foto: Daily Stoic
Marcus Aurelius menulis sebuah catatan harian yang kemudian dibukukan dengan judul “Meditations”. Buku ini mengandung banyak ajaran penting untuk hidup dengan bijak. Sekarang, mari kita ulas cara Marcus Aurelius menjalankan kehidupan dengan bijak.
Kehidupan Menurut Marcus Aurelius
“Segala sesuatu—kuda, anggur– diciptakan untuk tugas tertentu, lalu untuk tugas apa engkau diciptakan?”
Marcus beranggapan bahwa semua yang ada di alam semesta punya tugas masing-masing. Lalu apa tugas manusia? Menurutnya, tugas manusia adalah menjadi manusia yang baik. Manusai yang baik ialah selalu mengungkapkan kebenaran tanpa ragu-ragu.
Foto:American Magazine
Kehidupan manusia pun punya prinsip-prinsip utama. “Tubuh dan semuanya berubah-ubah bagaikan sungai. Jiwa bagaikan mimpi dan kabut, kehidupan adalah medan perang dan perjalanan yang jauh dari rumah, segala reputasi akan terlupakan,” tulisnya.
Tubuh akan tetap berubah-ubah karena tubuh manusia tidak akan abadi. Tubuh kita menuju kehancuran, dari bayi hingga ke tua.
Sementara jiwa kita yang kebingungan mirip kabut, karena gampang dipengaruhi oleh hal-hal di luar kita. Akhirnya hidup kita hanyalah perang antara diri kita sendiri dan kehidupan di luar. Reputasi atau status tidak benar-benar berguna. Kesombongan akan membawa menuju kehancuran.
Kebahagiaan
Setelah memaknai kehidupan, kita perlu melanjutkan ke taraf hidup bahagia. Dalam ajaran Stoikisme, kebahagiaan bergantung pada cara kita menyikapi kehidupan. Kebahagiaan tidak sekadar mencari kesenangan, karena kebahagiaan dari kesenangan selalu berubah-ubah dengan suasana hati kita.
Foto:Inspiration Feed
Kebahagiaan sebenarnya adalah saat kita terbebas dari hal-hal yang mengikat kita. Mengikat di sini bukan mengacu pada peraturan, tapi sesuatu seperti harapan berlebih yang membuat kita tidak bisa bebas bertindak. Gunakan harapan sebagai motivasi, bukan sesuatu yang mengikat diri.
Sementara untuk mencapai kebahagiaan, caranya adalah dengan bersyukur atas segala yang kita miliki. Setiap orang sudah memiliki jalannya masing-masing. Kalau kita mencoba mengkuti jalan takdir kita, dari situlah kebahagiaan akan muncul pada hidup kita.
Rasa Sakit
Kehidupan seorang manusia tidak bisa jauh dari perasaan negatif seperti rasa tersakiti. Marcus berkata, “"Adalah nasib burukku semua ini terjadi padaku". Jangan begitu, harusnya kau katakan "Adalah nasib baikku, meskipun semua ini terjadi padaku aku dapat menanggungnya tanpa rasa sakit, baik itu kehancuran pada masa kini maupun ketakutan akan masa depan.""