Tuol Sleng Genocide Museum: Saksi Bisu Pembantaian Massal di Kamboja

Senin, 31 Mei 2021 - 22:15 WIB
Sama halnya dengan Chum Mey, Bou Meng yang disiksa dengan pukulan, tendangan, tusukan, bahkan setruman akhirnya mengakui dirinya sebagai bagian dari CIA dan mengatakan hal-hal yang menyenangkan hati para penyidiknya guna menghentikan siksaan yang dihantamkan kepadanya.

Menurut pengakuannya kepada BBC, Bou Meng dibiarkan hidup karena kepandaiannya dalam melukis. Ketika kepala penjara, Duch, mengetahui bahwa dirinya adalah pelukis, ia memintanya mereproduksi foto Pol Pot dengan syarat lukisan dan fotonya harus mirip dan terlihat hidup. Kalau hasilnya tidak memuaskan, Bou Meng akan dibunuh. Meskipun Bou Meng berhasil bertahan hidup hingga sekarang, ia masih sering kali sedih ketika mengenang mendiang istrinya yang juga meninggal pada masa-masa kelam itu.

Chum Mey juga selamat berkat kepandaiannya dalam memperbaiki sesuatu. Menurut pengakuannya kepada BBC, dirinya mampu memperbaiki mesin tik yang pada saat itu sangat penting untuk keperluan menulis kesaksian.

3. DUKUNGAN UNTUK KORBAN S-21 DAN KELUARGANYA



Foto: ijrcenter.org

Dengan dibantu oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Kamboja dibentuk sebuah pengadilan khusus bernama The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC). Mengutip dari United States Holocaust Memorial Museum , melalui ECCC, setidaknya ada tiga terdakwa yang dihukum.

Kendati demikian, pengadilan ini tetap mendapatkan kritik, baik dari dalam maupun luar Kamboja, karena ketidakpuasan terhadap kinerja ECCC. Pasalnya, sebelum sempat mendapat tindakan hukum, Pol Pot, pemimpin tertinggi sekaligus sosok yang menghadirkan kengerian selama bertahun-tahun, sudah meninggal terlebih dahulu.

Bahkan, ada pengikut Khmer Merah yang masih melenggang bebas dan menduduki posisi di pemerintahan Kamboja. Bagi masyarakat yang keluarganya menjadi korban S-21, tentu saja hal tersebut bukanlah hal mudah. Melihat sosok perenggut nyawa orang terkasih dapat hidup dengan tenang tanpa perasaan bersalah tentunya memberikan efek psikologis tersendiri.

Kendati demikian, pengadilan tersebut tetap dinilai efektif untuk menangani masalah S-21 dan pembantaian di Kamboja pada masa Khmer Merah. Terlepas dari upaya yang digencarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui ECCC, publik turut bahu-membahu untuk mengobati luka setelah kejadian di S-21.

Melansir dari United States Holocaust Memorial Museum , ada tiga upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, yaitu pendokumentasian, penyediaan layanan psikolog bagi para penyintas dan keluarganya, dan pemulihan kebudayaan.

Pendokumentasian dilakukan dengan didirikannya The Documentation Center of Cambodia (DC–Cam) pada tahun 1994 berkat dukungan dari lembaga-lembaga internasional. Sejak awal berdirinya, institusi tersebut mengumpulkan jutaan dokumen, artefak, dan berkas dari pemerintahan Kamboja, institusi di luar pemerintahan, dan donatur yang dirahasiakan.

Baca Juga: Belajar Filsafat, Beneran Jadi Atheis dan Sesat?

Pemulihan kebudayaan dilakukan dengan membuka peluang dan memberikan wadah bagi masyarakat Kamboja untuk berekspresi melalui seni. Pada masa Khmer Merah, musik tradisional dan tarian Kamboja diredam dan diganti dengan lagu-lagu propaganda berbau politik. Akan tetapi, sekarang orang-orang di Kamboja sudah lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya melalui seni.

Yohanna Valerie Immanuella

Kontributor GenSINDO

Universitas Indonesia

Instagram: @yohannavalerie18
(ita)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More