Demonstrasi, dan Ibu yang Resah Menunggu di Rumah
Jum'at, 09 Oktober 2020 - 14:43 WIB
JAKARTA - Nyaris tak ada yang membahagiakan dari film pendek "Apakah Salah Menolak Pagi Datang", karena sejarah kelam memang pahit untuk diceritakan ulang.
Senin, 11 Mei 1998. Danil (Davin Ezra) dengan lahap menyantap masakan ibunya. Itu hari terakhir dia makan di rumah, sebelum berangkat ke Jakarta dengan naik kereta ekonomi dengan temannya, Afan (Arif HD).
Foto: Genflix
Tujuan utamanya ke Jakarta bukan untuk piknik, melainkan menyampaikan aspirasinya sebagai warga negara, juga sebagai mahasiswa - kaum intelektual. Kala itu, unjuk rasa besar-besaran merebak di berbagai daerah di Indonesia. ( )
Tuntutan dari aksi para mahasiswa jelas; yaitu di antaranya agar Soeharto dan para kroninya diadili, dwi fungsi ABRI dihapus, dan agar pemerintah melaksanakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Siang itu, Danil dilepas ibunya, Retno (Retno Soetarto), dengan restu penuh 100%. Layaknya seorang ibu, dia memastikan anaknya bisa nyaman selama dalam perjalanan ke Jakarta, termasuk membekalinya dengan uang saku tambahan.
Foto: Genflix
Selepas Danil berangkat, maka dimulailah perjalanan ketidakpastian itu. Retno mesti menunggu berhari-hari untuk sekadar tahu nasib anaknya yang ikut berdemo di Jakarta; apakah sehat, terluka, ataukah meregang nyawa?
Tak ada kabar dari Danil secara langsung, karena saat itu ponsel belum jadi barang yang lazim, bahkan belum dikenal masyarakat luas.
Tak ada juga gambar dari televisi yang bisa menunjukkan seperti apa suasana di Jakarta saat itu. ( )
Satu-satunya sumber informasi yang bisa didapat Retno cuma berita dari radio, yang seringnya membawa berita buruk dibanding berita bagus.
Foto: Genflix
Ketidakpastian, kegelisahan, dan minimnya sumber informasi jadi rasa tak enak yang menghantui Retno dan penonton selama 28 menit durasi film.
Kesendirian Retno dalam masa ketidakpastian itu, di rumah besar yang dia tinggali, makin-makin menambah rasa sepi, kosong, dan gelisah jadi berlipat-lipat dari yang semestinya.
Ketidakpastian ini membuat Retno jadi susah tidur, bahkan bermimpi buruk. Antara kenyataan dan ilusi pun jadi susah dibedakan.
Senin, 11 Mei 1998. Danil (Davin Ezra) dengan lahap menyantap masakan ibunya. Itu hari terakhir dia makan di rumah, sebelum berangkat ke Jakarta dengan naik kereta ekonomi dengan temannya, Afan (Arif HD).
Foto: Genflix
Tujuan utamanya ke Jakarta bukan untuk piknik, melainkan menyampaikan aspirasinya sebagai warga negara, juga sebagai mahasiswa - kaum intelektual. Kala itu, unjuk rasa besar-besaran merebak di berbagai daerah di Indonesia. ( )
Tuntutan dari aksi para mahasiswa jelas; yaitu di antaranya agar Soeharto dan para kroninya diadili, dwi fungsi ABRI dihapus, dan agar pemerintah melaksanakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Siang itu, Danil dilepas ibunya, Retno (Retno Soetarto), dengan restu penuh 100%. Layaknya seorang ibu, dia memastikan anaknya bisa nyaman selama dalam perjalanan ke Jakarta, termasuk membekalinya dengan uang saku tambahan.
Foto: Genflix
Selepas Danil berangkat, maka dimulailah perjalanan ketidakpastian itu. Retno mesti menunggu berhari-hari untuk sekadar tahu nasib anaknya yang ikut berdemo di Jakarta; apakah sehat, terluka, ataukah meregang nyawa?
Tak ada kabar dari Danil secara langsung, karena saat itu ponsel belum jadi barang yang lazim, bahkan belum dikenal masyarakat luas.
Tak ada juga gambar dari televisi yang bisa menunjukkan seperti apa suasana di Jakarta saat itu. ( )
Satu-satunya sumber informasi yang bisa didapat Retno cuma berita dari radio, yang seringnya membawa berita buruk dibanding berita bagus.
Foto: Genflix
Ketidakpastian, kegelisahan, dan minimnya sumber informasi jadi rasa tak enak yang menghantui Retno dan penonton selama 28 menit durasi film.
Kesendirian Retno dalam masa ketidakpastian itu, di rumah besar yang dia tinggali, makin-makin menambah rasa sepi, kosong, dan gelisah jadi berlipat-lipat dari yang semestinya.
Ketidakpastian ini membuat Retno jadi susah tidur, bahkan bermimpi buruk. Antara kenyataan dan ilusi pun jadi susah dibedakan.
tulis komentar anda