Bagaimana Mengangkat Kekerasan Seksual dalam Film
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asya seolah punya firasat suatu hal buruk akan terjadi. Hari-hari itu ia tampak murung. Tak nafsu makan. Fotonya terjatuh tanpa sebab, seakan jadi pertanda nasib buruk akan menimpanya.
Dan memang demikian. Siswi SMA yang diceritakan punya hobi bermusik ini suatu hari berlatih gitar di sebuah studio musik. Ia sendirian saat teman-temannya pulang duluan. Saat itulah ada remaja cowok lain, Alex (Sani Fahreza), mengambil kesempatan. Asya diperkosa.
Hari itu jadi mimpi buruk bagi Asya, diperankan Brigitta Cynthia. Ia mengalami tragedi terburuk dalam kehidupan seorang perempuan, baik remaja atau bukan. Jadi korban perkosaan .
Ketika hal itu terjadi pada remaja, dampak traumatisnya bisa jadi lebih dalam. Perjalanan hidup seorang gadis masih panjang. Di depan masih terbentang mimpi-mimpi dan pencapaian yang ingin diraih. Namun, itu semua terenggut begitu saja oleh sebuah peristiwa keji.
Foto: Genflix
Yang patut diperhatikan, Asya sehari-hari digambarkan sebagai cewek normal. Ia bukan cewek genit, bahkan cenderung pendiam dan pemalu. Pakaiannya juga tak pernah terbuka. Rok seragam sekolahnya panjang. Namun toh ia tetap jadi korban pemerkosaan.
Di sini, sineasnya mungkin berpesan, korban pemerkosaan bisa siapa saja. Perempuan dengan baju tertutup bisa juga jadi korban. ( )
Ini juga mungkin sebuah pesan bahwa tidak pada tempatnya menyalahkan perempuan korban perkosaan karena perilaku si korban. Sosok yang sehari-hari berbaju tertutup dan bersikap pendiam juga rentan jadi korban .
Sayangnya, miniseri ini—setidaknya pada season satu part 1—tak mengeksplorasi lebih jauh soal tindak pidananya. Ceritanya berbelok pada dampak kehamilan pada remaja yang berawal dari peristiwa keji itu.
Kita tahu, kehamilan remaja menjadi wacana budaya pop kita setelah tahun lalu dirilis film "Dua Garis Biru" karya Gina S. Noer. Film itu mengumpulkan 2,6 juta penonton—terlaris ketiga tahun lalu.
Tidak ada yang menyangka sebelumnya, sebuah film drama yang punya tema berat (tentang kehamilan remaja dan pernikahan dini sebagai konsekuensinya) ternyata digandrungi penonton.
Foto: Genflix
Dari sukses "Dua Garis Biru", timbul tanya, apakah kini telah terjadi pergeseran nilai di tengah remaja kita? Apakah generasi milenial dan Gen Z tak lagi memandang tabu persoalan seks di kalangan mereka?
Sebetulnya, bila menelisik lebih dalam sejarah sinema kita, cerita macam "Dua Garis Biru" bukan yang pertama. Pada 1970-an, dua bintang remaja masa itu, yaitu Rano Karno dan Yessy Gusman, membintangi "Buah Terlarang" (1979) yang juga berkisah tentang kehamilan di kalangan remaja.
Dua-duanya sama-sama bintang kelas dan saling jatuh cinta, tapi tergelincir pada seks sebelum waktunya yang berujung pada kehamilan.
Miniseri "Asya Story" melangkah lebih jauh dari "Buah Terlarang" dan "Dua Garis Biru". Yang jadi pertanyaan utama miniseri ini: bagaimana bila kehamilan remaja terjadi karena peristiwa naas yang tak diinginkan? Lalu, apa yang terjadi pada pernikahan dini sebagai konsekuensi dari kehamilan tersebut?
"Asya Story" punya twist alias kelokan cerita. Saat ditanya siapa pria yang menghamilinya, Asya menunjuk orang lain, Fano (Firsan Abdullah), sosok yang jelas-jelas bukan pemerkosanya.
Maka, pria yang tak bersalah itu harus menanggung takdir yang tak pernah ia sangka: menjalani konsekuensi untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang tak ia lakukan.
Foto: Genflix
Akal sehat penonton mungkin akan berontak: kenapa si pria tak membantah atau memperkarakan balik tudingan yang tak berdasar padanya? Kenapa ia tak membela diri, meminta bukti atas aksi tunjuk hidung itu? Bukankah masa depannya juga seketika ikut hancur saat telunjuk Asya menunjuknya?
Dan memang demikian. Siswi SMA yang diceritakan punya hobi bermusik ini suatu hari berlatih gitar di sebuah studio musik. Ia sendirian saat teman-temannya pulang duluan. Saat itulah ada remaja cowok lain, Alex (Sani Fahreza), mengambil kesempatan. Asya diperkosa.
Hari itu jadi mimpi buruk bagi Asya, diperankan Brigitta Cynthia. Ia mengalami tragedi terburuk dalam kehidupan seorang perempuan, baik remaja atau bukan. Jadi korban perkosaan .
Ketika hal itu terjadi pada remaja, dampak traumatisnya bisa jadi lebih dalam. Perjalanan hidup seorang gadis masih panjang. Di depan masih terbentang mimpi-mimpi dan pencapaian yang ingin diraih. Namun, itu semua terenggut begitu saja oleh sebuah peristiwa keji.
Foto: Genflix
Yang patut diperhatikan, Asya sehari-hari digambarkan sebagai cewek normal. Ia bukan cewek genit, bahkan cenderung pendiam dan pemalu. Pakaiannya juga tak pernah terbuka. Rok seragam sekolahnya panjang. Namun toh ia tetap jadi korban pemerkosaan.
Di sini, sineasnya mungkin berpesan, korban pemerkosaan bisa siapa saja. Perempuan dengan baju tertutup bisa juga jadi korban. ( )
Ini juga mungkin sebuah pesan bahwa tidak pada tempatnya menyalahkan perempuan korban perkosaan karena perilaku si korban. Sosok yang sehari-hari berbaju tertutup dan bersikap pendiam juga rentan jadi korban .
Sayangnya, miniseri ini—setidaknya pada season satu part 1—tak mengeksplorasi lebih jauh soal tindak pidananya. Ceritanya berbelok pada dampak kehamilan pada remaja yang berawal dari peristiwa keji itu.
Kita tahu, kehamilan remaja menjadi wacana budaya pop kita setelah tahun lalu dirilis film "Dua Garis Biru" karya Gina S. Noer. Film itu mengumpulkan 2,6 juta penonton—terlaris ketiga tahun lalu.
Tidak ada yang menyangka sebelumnya, sebuah film drama yang punya tema berat (tentang kehamilan remaja dan pernikahan dini sebagai konsekuensinya) ternyata digandrungi penonton.
Foto: Genflix
Dari sukses "Dua Garis Biru", timbul tanya, apakah kini telah terjadi pergeseran nilai di tengah remaja kita? Apakah generasi milenial dan Gen Z tak lagi memandang tabu persoalan seks di kalangan mereka?
Sebetulnya, bila menelisik lebih dalam sejarah sinema kita, cerita macam "Dua Garis Biru" bukan yang pertama. Pada 1970-an, dua bintang remaja masa itu, yaitu Rano Karno dan Yessy Gusman, membintangi "Buah Terlarang" (1979) yang juga berkisah tentang kehamilan di kalangan remaja.
Dua-duanya sama-sama bintang kelas dan saling jatuh cinta, tapi tergelincir pada seks sebelum waktunya yang berujung pada kehamilan.
Miniseri "Asya Story" melangkah lebih jauh dari "Buah Terlarang" dan "Dua Garis Biru". Yang jadi pertanyaan utama miniseri ini: bagaimana bila kehamilan remaja terjadi karena peristiwa naas yang tak diinginkan? Lalu, apa yang terjadi pada pernikahan dini sebagai konsekuensi dari kehamilan tersebut?
"Asya Story" punya twist alias kelokan cerita. Saat ditanya siapa pria yang menghamilinya, Asya menunjuk orang lain, Fano (Firsan Abdullah), sosok yang jelas-jelas bukan pemerkosanya.
Maka, pria yang tak bersalah itu harus menanggung takdir yang tak pernah ia sangka: menjalani konsekuensi untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang tak ia lakukan.
Foto: Genflix
Akal sehat penonton mungkin akan berontak: kenapa si pria tak membantah atau memperkarakan balik tudingan yang tak berdasar padanya? Kenapa ia tak membela diri, meminta bukti atas aksi tunjuk hidung itu? Bukankah masa depannya juga seketika ikut hancur saat telunjuk Asya menunjuknya?