3 Romantisisme Lebay yang Sering Kita Lihat dalam Film Percintaan

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 18:21 WIB
Di dalam hubungan, cowok hampir selalu diidentikkan menjadi sosok inisiator, seperti harus jadi yang pertama mengajak berkencan, yang pertama menyatakan perasaan, sampai yang menginisiasi first kiss. Di sisi lain, cewek diidentikkan sebagai sosok pasif yang menerima inisiasi-inisiasi dari cowok, misalnya menerima ajakan berkencan.

Si cewek bakal ikut aja ke mana si cowok membawanya saat kencan pertama. Dia juga gak harus membayar makan malam saat kencan, yang membalas pernyataan perasaan (bukan menyatakan duluan), dan menyambut (atau menolak) inisiasi first kiss. Gak sedikit cewek yang gak mau make a move duluan ke pujaan hatinya dengan berlindung di balik ujaran “Masa' cewek duluan?”

Nah, hal-hal ini seharusnya gak ada dalam hubungan. Jalannya sebuah hubungan adalah tanggung jawab kedua belah pihak. Kalau yang cewek cuma diam aja dan memendam perasaan, dari mana cowok bisa tahu apa yang cewek rasakan? Laki-laki, kan, bukan cenayang yang bisa tahu segala hal sendiri.

Kalau ajadalam film "Harry Potter" Hermione Granger mengajak Ron Weasley duluan ke pesta dansa sekolah, alih-alih cuma menunggu Ron yang mengajaknya, mungkin, Lavender Brown dan Victor Krum gak perlu hadir di antara mereka.

Kita bisa belajar dari film "Leap Year" (2010) yang dibintangi Amy Adams dan Matthew Goode atau "Runaway Bride" (1999) yang dibintangi Julia Roberts dan Richard Gere. Kedua film ini menyajikan sosok tokoh utama seorang cewek yang berani melamar cowok yang disukainya.

3. STANDAR PENAMPILAN FISIK YANG IDEAL



Foto: Netflix

Kita pasti familier dengan sosok cowok yang digilai-gilai satu sekolah atau kampus, yang wajahnya ganteng, badan tinggi, tegap atletis dengan perut kotak-kotak, dan jadi tim kapten olahraga paling populer di sekolah tersebut.

Ciri-ciri itu bisa kita temukan dalam hampir semua tokoh utama laki-laki di novel teenlit atau film roman remaja. Kalau tokoh utama perempuannya pasti berkulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus dan panjang, serta punya pembawaan yang lemah lembut.

Hal ini menunjukkan bahwa budaya pop menyuntikkan berbagai paham tentang penampilan fisik yang ideal yang kemudian membentuk standar kecantikan dan ketampanan yang cenderung homogen. Padahal, kecantikan dan ketampanan itu relatif dan gak bisa diukur dengan standar absolut.

Keberadaan standar yang dipercayai banyak orang ini bisa melahirkan berbagai bentuk tuntutan pada diri sendiri maupun pada pasangan. Kalau semakin jauh, lama-lama tuntutan itu bisa jadi sumber toxic relationship.

Daripada menuntut pasangan untuk jadi mirip para aktor dan aktris Hollywood, lebih baik kita memperdalam pemahaman dan pengertian terhadap pasangan, supaya bisa menilai mereka dari segala aspek dalam dirinya. ( )

Selma Kirana Haryadi

Kontributor GenSINDO

Universitas Padjadjaran

Instagram: @selma.kirana
(it)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More