Review Film Seribu Kunang-Kunang di Jakarta: Kunang-Kunang, Joko Pinurbo, dan Etnis Tionghoa

Rabu, 29 November 2023 - 14:34 WIB
Juga pendekatan kreatif untuk menjadikan tokoh utama seorang penyair membuat film pendekSeribu Kunang-Kunang di Jakarta terasa tak berusaha mencelat keluar lebih jauh dari pemaknaannya sebagai puisi. Bisa jadi membuat filmnya memberi jarak tertentu kepada penonton.

Kita melihat penyair bukan sebagai “seseorang dari kita”, kita melihatnya sebagai “seseorang yang lain”. Padahal ketika melakukan alih wahana, si pembuat tak punya utang apa pun kepada materi aslinya.

Payung hitam diubahnya menjadi merah untuk lebih menegaskan soal negeri yang diamuk kemarahan pun sesungguhnya tak masalah. Atau soal menjinjing bulan yang juga bisa diterjemahkan lebih kreatif daripada sekadar menyamakannya dengan yang tertulis dalam puisi.



Foto: Tomat

Padahal sebagai puisi, Seribu Kunang-Kunang di Jakarta punya daya pikat dan magis yang luar biasa. Metafora yang malang melintang di dalamnya menunggu tafsir yang lebih liar yang akan menjadikan alih wahananya sebagai film memiliki daya ledak yang melebihi yang dilakukan puisi, bukan malah mereduksinya. Jika lebih kreatif, bisa saja si pembuat menggabungkan soal kunang-kunang dengan puisi Joko lainnya seperti yang saya sebutkan pada pembuka tulisan ini.

Tapi kita perlu mengapresiasi niat baik dari si pembuat untuk bercerita tak hanya soal kunang-kunang, tapi juga soal kenang-kenang sebagaimana yang dituturkan Joko. Kita diajak mengenang kembali sebuah masa yang terjadi pada 25 tahun silam ketika negeri ini terpecah belah dan etnis Tionghoa sering kali terhimpit di tengahnya.

Percayalah yang terjadi pada 1998 tak sesederhana sebagaimana yang banyak dituturkan via puisi, novel, hingga film. Kompleksitas yang terjadi melingkupinya melebihi apa pun yang pernah kita bayangkan, dan hingga hari ini masih banyak tabir misteri yang menutupinya dan belum tersibak.



Namun kelak kita akan selalu mengingat bahwa pada sebuah malam Jakarta yang dipenuhi polusi cahaya, ada saat kita bisa bertemu dengan seribu kunang-kunang. Yang datang entah dengan makna apa. Bisa saja untuk menyimpan kenangan, bisa juga untuk menyampaikan pesan, bisa pula untuk mengingatkan kita kembali bahwa setelah kehidupan kita porak poranda, selalu ada harapan untuk menatanya kembali.

Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya

dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.

“Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini

saat kau sedang gelap atau mati kata;

maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya

Ichwan Persada

Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More