Review Film Seribu Kunang-Kunang di Jakarta: Kunang-Kunang, Joko Pinurbo, dan Etnis Tionghoa

Rabu, 29 November 2023 - 14:34 WIB
Film pendek Seribu Kunang-Kunang mengadopsi kisah dari puisi Joko Pinurbo. Foto/Tomat
JAKARTA - Setidaknya ada tiga puisi dari penyair Joko Pinurbo yang menyertakan soal kunang-kunang sebagai pusat semestanya bercerita.

Gadis kecil jalan seorang

dengan payung hitam.



Tangannya gemetar

menjinjing bulan

dalam keranjang.

Dalam puisi berjudul Kunang-Kunang, Joko menyertakan kunang-kunang sebagai medium untuk menyimpan kenangan, juga sebagai pembawa cahaya.



Dalam puisinya yang lain yang berjudul Tahi Lalat, Joko bercerita soal hubungan ibu dan anak, dan menggunakan kunang-kunang sebagai kata ganti untuk mengidentifikasi sesuatu yang disayangi si anak pada ibunya. Dan tentu saja pada puisi berjudul Seribu Kunang-Kunang di Jakarta, saat ia bermain-main dengan metafora yang menarik untuk ditafsirkan.

Kehadiran kunang-kunang bisa dimaknai dari beragam sudut pandang. Saat memproduseri film SILARIANG: Cinta Yang (Tak) Direstui, kami juga menyentil soal kehadiran kunang-kunang sebagai pembawa harapan dalam sebuah dialog: “Menurut kepercayaan kuno, kunang-kunang hanya mau muncul di depan orang yang masih punya harapan”.

Dialog itu seakan memberi energi baru pada Zulaikha yang letih setelah mengikuti kekasihnya, Yusuf, melarikan diri dari keluarganya setelah tak merestui pernikahan siri mereka.



Foto: Tomat

Ketika dialihwahanakan menjadi film pendek, Seribu Kunang-Kunang di Jakarta didorong untuk memenuhi sejumlah visi dari pembuatnya. Gadis kecil yang dihadirkan dari etnis Tionghoa dan latar belakang tahun 1998 tentu saja dipilih dengan cermat untuk menyampaikan pesan tertentu.

Di atas kertas menarik untuk melihat pilihan kreatif dari pembuat filmnya, tapi perlu diingat bahwa film adalah medium visual. Untuk menekankan pesan agar sampai dengan baik ke benak penonton, maka perlu untuk memperlihatkan, bukan sekadar mendialogkannya.

Keterkaitan antara tahun 1998 dan etnis Tionghoa tentu selalu menarik untuk dibahas. Kita mengingat tahun itu menjadi salah satu peristiwa paling kelam di negeri ini, ketika negeri sedang berubah, menuju porak poranda, dan banyak orang di dalamnya yang terseret tak tentu arah. Termasuk saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa yang harus menyelamatkan diri, melakukan segala untuk menjaga keselamatan diri dan keluarga mereka.



Foto: Tomat

Tapi menyajikannya hanya lewat petikan siaran radio dan dari sudut pandang seorang gadis kecil tentu saja tak cukup. Dua hal itu terlalu besar untuk disederhanakan dalam sebuah pilihan kreatif yang diambil pembuatnya. Jadinya justru membuat film ini terlihat terlalu ambisius untuk membawa gagasan-gagasan besar, tapi kehilangan daya kreatif untuk mengeksekusinya agar gagasan-gagasan itu tak mengalami erosi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More