Selalu Butuh Validasi dari Orang Lain, Wajar atau Tidak?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Apa kamu pernah membutuhkan setidaknya satu orang untuk mengatakan bahwa kamu telah melakukan hal yang benar? Kalau orang lain itu menyetujuinya, maka kamu akan lebih yakin dengan pemikiranmu itu.
Kalau ini terjadi padamu, maka secara sadar atau tidak, kamu sedang masuk ke perangkap bernama validasi.
Mengutip Psychology Today, validasi adalah bagian dari saling ketergantungan dan mengandalkan umpan balik dan dorongan dari orang lain di lingkungan sekitar.
Sementara istilah yang kini beken, yaitu "haus validasi" umumnya dipakai masyarakat untuk menggambarkan seseorang yang harus selalu mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari orang atau kelompok tertentu tentang perilaku atau hal yang dilakukannya.
Meski begitu, menurut psikolog Tiara Delia, dari segi keilmuan, belum ada istilah “haus validasi”. Tiara juga mengatakan bahwa ada kemungkinan haus validasi adalah istilah yang memang digunakan oleh orang awam. Adapun menurutnya, validasi biasanya selalu dikaitkan dengan emosi.
Foto: Shutterstock
Validasi pun tidak hanya terjadi pada remaja saja, bahkan mereka yang sudah sangat mandiri masih membutuhkan validasi dalam beberapa aspek kehidupan mereka. Begitupun juga dengan anak-anak, rasa menginginkan validasi timbul pada anak karena orang tua yang tidak bisa memberikan perhatian sesuai dengan usianya.
Penyebab Selalu Butuh Validasi
Tiara menjelaskan, pola asuh keluarga bisa dijadikan penyebab seseorang merasakan haus validasi. Orang tua yang selalu mendoktrin anaknya dengan kata “harus”, maka bisa menjadi fatal jika tidak diarahkan dengan baik. Anak harus dibiarkan untuk bereksplorasi agar nantinya bisa mengatasi masalahnya sendiri.
“Jadi bisa dari pola asuh keluarga yang “harus-harus-harus”, yang membandingkan, kemudian segala disediakan, disuruh mencontoh figur ABC, dan tidak pernah bereksplorasi. Ketika ada masalah yang rumit, maka dia akan butuh tuntunan dan arahan. Kasarnya dia harus selalu dikasih tahu,” papar Tiara.
Baca Juga: 8 Tanda Orang dengan Kecerdasan Emosional Rendah
Dalam kasus lain, misalnya ketika masuk kuliah, setiap dosen memiliki aturan yang berbeda-beda. Tiap mahasiswa pun punya latar belakang kepribadian berbeda. Nah, anak yang selalu butuh validasi akan merasakan kesulitan sehingga membutuhkan orang lain untuk membantunya mencari jalan keluar untuk beradaptasi dengan baik.
Foto: Shutterstock
Seperti halnya Melly Mumtaz, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang pernah merasakan haus validasi saat baru menjabat sebagai staf sekretaris di BEM. Saat itu, Melly merasa dirinya terlalu mengharapkan pujian dari sekretaris karena usahanya dalam menjalankan tugas.
“Saat itu aku udah berekspetasi tinggi, aku udah bikin proposal tebel banget. Tapi pas disuruh minta tanda tangan sekretaris, proposal aku malah banyak yang harus direvisi. Akhirnya aku rombak lagi.” ucap Melly.
Melly juga menceritakan bahwa sejak kecil, ia harus selalu mengikuti keinginan orang tuanya. Sehingga kini ia selalu merasa cemas kalau salah dalam mengerjakan sesuatu dan takut untuk dikomentari karena tidak mampu mendebat orang lain.
Dengan mencari validasi dari orang lain, Melly merasa jadi bisa memastikan apakah hal yang dikerjakannya itu sudah benar atau tidak. Validasi membuatnya bisa meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik. Namun ia menyadari bahwa haus validasi juga membuatnya sulit dalam menyelesaikan masalah. Dia juga menjadi pribadi yang terlalu mengharapkan pujian dari orang lain.
Sama halnya dengan Tri Afif, pekerja berusia 18 tahun, yang pernah merasakan haus validasi sebelum memutuskan untuk bekerja. Tri yang saat itu sedang berkuliah nekat untuk berhenti agar mendapatkan pengakuan dari sang pacar.
“Kakak gue nawarin kerjaan yang sebelumnya ditawarin ke gue. Waktu kedua kali itu, gue enggak nolak karena gue enggak mau kalah sama orang yang dibanggain pacar gue itu. Itu sih menurut gue, haus bangetnya,” cerita Tri.
Foto:buddingpsychologists.org
Kalau ini terjadi padamu, maka secara sadar atau tidak, kamu sedang masuk ke perangkap bernama validasi.
Mengutip Psychology Today, validasi adalah bagian dari saling ketergantungan dan mengandalkan umpan balik dan dorongan dari orang lain di lingkungan sekitar.
Sementara istilah yang kini beken, yaitu "haus validasi" umumnya dipakai masyarakat untuk menggambarkan seseorang yang harus selalu mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari orang atau kelompok tertentu tentang perilaku atau hal yang dilakukannya.
Meski begitu, menurut psikolog Tiara Delia, dari segi keilmuan, belum ada istilah “haus validasi”. Tiara juga mengatakan bahwa ada kemungkinan haus validasi adalah istilah yang memang digunakan oleh orang awam. Adapun menurutnya, validasi biasanya selalu dikaitkan dengan emosi.
Foto: Shutterstock
Validasi pun tidak hanya terjadi pada remaja saja, bahkan mereka yang sudah sangat mandiri masih membutuhkan validasi dalam beberapa aspek kehidupan mereka. Begitupun juga dengan anak-anak, rasa menginginkan validasi timbul pada anak karena orang tua yang tidak bisa memberikan perhatian sesuai dengan usianya.
Penyebab Selalu Butuh Validasi
Tiara menjelaskan, pola asuh keluarga bisa dijadikan penyebab seseorang merasakan haus validasi. Orang tua yang selalu mendoktrin anaknya dengan kata “harus”, maka bisa menjadi fatal jika tidak diarahkan dengan baik. Anak harus dibiarkan untuk bereksplorasi agar nantinya bisa mengatasi masalahnya sendiri.
“Jadi bisa dari pola asuh keluarga yang “harus-harus-harus”, yang membandingkan, kemudian segala disediakan, disuruh mencontoh figur ABC, dan tidak pernah bereksplorasi. Ketika ada masalah yang rumit, maka dia akan butuh tuntunan dan arahan. Kasarnya dia harus selalu dikasih tahu,” papar Tiara.
Baca Juga: 8 Tanda Orang dengan Kecerdasan Emosional Rendah
Dalam kasus lain, misalnya ketika masuk kuliah, setiap dosen memiliki aturan yang berbeda-beda. Tiap mahasiswa pun punya latar belakang kepribadian berbeda. Nah, anak yang selalu butuh validasi akan merasakan kesulitan sehingga membutuhkan orang lain untuk membantunya mencari jalan keluar untuk beradaptasi dengan baik.
Foto: Shutterstock
Seperti halnya Melly Mumtaz, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang pernah merasakan haus validasi saat baru menjabat sebagai staf sekretaris di BEM. Saat itu, Melly merasa dirinya terlalu mengharapkan pujian dari sekretaris karena usahanya dalam menjalankan tugas.
“Saat itu aku udah berekspetasi tinggi, aku udah bikin proposal tebel banget. Tapi pas disuruh minta tanda tangan sekretaris, proposal aku malah banyak yang harus direvisi. Akhirnya aku rombak lagi.” ucap Melly.
Melly juga menceritakan bahwa sejak kecil, ia harus selalu mengikuti keinginan orang tuanya. Sehingga kini ia selalu merasa cemas kalau salah dalam mengerjakan sesuatu dan takut untuk dikomentari karena tidak mampu mendebat orang lain.
Dengan mencari validasi dari orang lain, Melly merasa jadi bisa memastikan apakah hal yang dikerjakannya itu sudah benar atau tidak. Validasi membuatnya bisa meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik. Namun ia menyadari bahwa haus validasi juga membuatnya sulit dalam menyelesaikan masalah. Dia juga menjadi pribadi yang terlalu mengharapkan pujian dari orang lain.
Sama halnya dengan Tri Afif, pekerja berusia 18 tahun, yang pernah merasakan haus validasi sebelum memutuskan untuk bekerja. Tri yang saat itu sedang berkuliah nekat untuk berhenti agar mendapatkan pengakuan dari sang pacar.
“Kakak gue nawarin kerjaan yang sebelumnya ditawarin ke gue. Waktu kedua kali itu, gue enggak nolak karena gue enggak mau kalah sama orang yang dibanggain pacar gue itu. Itu sih menurut gue, haus bangetnya,” cerita Tri.
Foto:buddingpsychologists.org