Lebih Paham Berkat Film tentang Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan ini, jagat dunia maya Indonesia dihangatkan oleh mencuatnya berbagai kasus kekerasan seksual. Ini terjadi sejak meledaknya tagar #MeToo hingga munculnya beberapa film yang mengusung tema kekerasan seksual.
Tahun 2017, seorang aktris asal Amerika Alyssa Milano memopulerkan tagar #MeToo di Twitter, sebagai bentuk dukungan terhadap para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual . Melalui kampanye tagar tersebut, para korban kekerasan seksual mulai berani menyuarakan keresahan yang mereka alami.
Pada tahun itu pula, dunia perfilman Indonesia kembali menyelipkan bahkan mengangkat tema kekerasan seksual dalam film. Salah satunya adalah Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.
Film yang dirilis pada November 2017 ini mengisahkan seorang perempuan bernama Marlina yang membela diri dari ancaman perampokan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tujuh laki-laki. Ia akhirnya membalas dendam dengan caranya sendiri kepada para pemerkosanya.
Film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Foto: Cinesurya
Kritikus film Eric Sasono turut mengomentari film ini. Mengutip BBC, Ia mengungkapkan bahwa Marlina bukanlah pembunuh biasa. Menurutnya, film yang disutradarai oleh Mouly Surya ini merupakan kisah yang menarik untuk ditonton.
“Marlina adalah korban yang mampu keluar dari situasi itu dan membereskan semua urusannya sendiri,” ucapnya.
Baca Juga: Waspada! Ini Jenis-jenis Pelecehan Seksual di Ranah Digital yang Harus Kamu Tahu
Film yang diperankan oleh Marsha Timothy ini telah meraup sebanyak 19 penghargaan, di antaranya mendapatkan Piala Citra (FFI) untuk film cerita panjang terbaik, Indonesian Movie Actors Award untuk pemeran utama wanita terbaik, Piala Citra untuk penulis skenario asli terbaik, dan Piala Maya untuk aktris utama terbaik.
Menumbuhkan Empati dan Semangat Juang
Film-film bertema kekerasan seksual sebenarnya bisa dipakai sebagai sarana edukasi dan pengetahuan. Film-film mengenai kasus kekerasan seksual mampu membuka mata masyarakat tentang adanya kasus kekerasan seksual. Selain itu juga menumbuhkan empati dan kewaspadaan mengenai kekerasan seksual.
Ini seperti yang dirasakan Nabilla Riyadi, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ia adalah penonton film Penyalin Cahaya (2021) dan Speak (2004). Setelah menonton kedua film tersebut, ia mengaku menjadi lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang ia kenali, maupun yang tidak ia kenal. Ia pun memilih untuk memperkaya pengetahuan tentang pendidikan seks.
“Saya berprinsip bila saya mengalami, bahkan melihat kejadian pemerkosaan atau pelecehan seksual, akan melapor kepada pihak yang berwenang. Selagi saya dan korban tidak salah, akan saya perjuangkan untuk mendapat keadilan,” ujar Nabilla.
Film Speak. Foto: Showtime Networks Inc.
Ada pula Regita Cahaya, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini merupakan penonton film kekerasan seksual asal Korea yang diangkat dari kisah nyata, Hope (2013). Dalam film tersebut, Regita sangat terkesan dengan ayah korban yang berjuang untuk memulihkan mental sang anak, karena setelah dilecehkan, anaknya menjadi takut pada semua laki-laki, tak terkecuali sang ayah.
Regita pun menjadi lebih paham bahwa pelecehan dapat terjadi di mana saja. Ia pun mengartikan, bahwa kekuatan pendukung, seperti kasih sayang keluarga dapat membantu memulihkan korban. “Korban harus berani melawan walau sulit dan banyak rintangan,” ucap Regita.
Baca Juga: 10 Karakter Ayah Terburuk di Sepanjang Sejarah Anime
Selanjutnya, Furqon Iqli Zainudin yang merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah. Ia menonton film dokumenter mengenai kekerasan seksual yang terjadi di kampus, yaitu The Hunting Ground (2015).
Film ini punya kesan tersendiri bagi dirinya karena ia kagum dengan ketegaran korban pemerkosaan di kampus tersebut. “Saya jadi lebih berhati-hati dalam berteman dan menjaga kodrat seorang perempuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar,” pungkas Furqon.
GenSINDO
Sekar Rahmadiana Ihsan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017, seorang aktris asal Amerika Alyssa Milano memopulerkan tagar #MeToo di Twitter, sebagai bentuk dukungan terhadap para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual . Melalui kampanye tagar tersebut, para korban kekerasan seksual mulai berani menyuarakan keresahan yang mereka alami.
Pada tahun itu pula, dunia perfilman Indonesia kembali menyelipkan bahkan mengangkat tema kekerasan seksual dalam film. Salah satunya adalah Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak.
Film yang dirilis pada November 2017 ini mengisahkan seorang perempuan bernama Marlina yang membela diri dari ancaman perampokan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh tujuh laki-laki. Ia akhirnya membalas dendam dengan caranya sendiri kepada para pemerkosanya.
Film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak. Foto: Cinesurya
Kritikus film Eric Sasono turut mengomentari film ini. Mengutip BBC, Ia mengungkapkan bahwa Marlina bukanlah pembunuh biasa. Menurutnya, film yang disutradarai oleh Mouly Surya ini merupakan kisah yang menarik untuk ditonton.
“Marlina adalah korban yang mampu keluar dari situasi itu dan membereskan semua urusannya sendiri,” ucapnya.
Baca Juga: Waspada! Ini Jenis-jenis Pelecehan Seksual di Ranah Digital yang Harus Kamu Tahu
Film yang diperankan oleh Marsha Timothy ini telah meraup sebanyak 19 penghargaan, di antaranya mendapatkan Piala Citra (FFI) untuk film cerita panjang terbaik, Indonesian Movie Actors Award untuk pemeran utama wanita terbaik, Piala Citra untuk penulis skenario asli terbaik, dan Piala Maya untuk aktris utama terbaik.
Menumbuhkan Empati dan Semangat Juang
Film-film bertema kekerasan seksual sebenarnya bisa dipakai sebagai sarana edukasi dan pengetahuan. Film-film mengenai kasus kekerasan seksual mampu membuka mata masyarakat tentang adanya kasus kekerasan seksual. Selain itu juga menumbuhkan empati dan kewaspadaan mengenai kekerasan seksual.
Ini seperti yang dirasakan Nabilla Riyadi, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ia adalah penonton film Penyalin Cahaya (2021) dan Speak (2004). Setelah menonton kedua film tersebut, ia mengaku menjadi lebih berhati-hati terhadap orang lain, baik yang ia kenali, maupun yang tidak ia kenal. Ia pun memilih untuk memperkaya pengetahuan tentang pendidikan seks.
“Saya berprinsip bila saya mengalami, bahkan melihat kejadian pemerkosaan atau pelecehan seksual, akan melapor kepada pihak yang berwenang. Selagi saya dan korban tidak salah, akan saya perjuangkan untuk mendapat keadilan,” ujar Nabilla.
Film Speak. Foto: Showtime Networks Inc.
Ada pula Regita Cahaya, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini merupakan penonton film kekerasan seksual asal Korea yang diangkat dari kisah nyata, Hope (2013). Dalam film tersebut, Regita sangat terkesan dengan ayah korban yang berjuang untuk memulihkan mental sang anak, karena setelah dilecehkan, anaknya menjadi takut pada semua laki-laki, tak terkecuali sang ayah.
Regita pun menjadi lebih paham bahwa pelecehan dapat terjadi di mana saja. Ia pun mengartikan, bahwa kekuatan pendukung, seperti kasih sayang keluarga dapat membantu memulihkan korban. “Korban harus berani melawan walau sulit dan banyak rintangan,” ucap Regita.
Baca Juga: 10 Karakter Ayah Terburuk di Sepanjang Sejarah Anime
Selanjutnya, Furqon Iqli Zainudin yang merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah. Ia menonton film dokumenter mengenai kekerasan seksual yang terjadi di kampus, yaitu The Hunting Ground (2015).
Film ini punya kesan tersendiri bagi dirinya karena ia kagum dengan ketegaran korban pemerkosaan di kampus tersebut. “Saya jadi lebih berhati-hati dalam berteman dan menjaga kodrat seorang perempuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar,” pungkas Furqon.
GenSINDO
Sekar Rahmadiana Ihsan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(ita)