5 Filsuf Perempuan yang Jarang Diketahui, dari Eropa hingga Asia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Filsafat adalah ilmu yang merupakan akar dari seluruh pengetahuan. Aristoteles, Plato, dan Socrates adalah tiga nama filsuf yang menjadi pilar dari ilmu ini. Selain filsuf laki-laki terdapat juga filsuf perempuan yang keberadaannya kurang diketahui.
Pada era Yunani dan Romawi Kuno, keberadaan perempuan dalam ilmu pengetahuan sebenarnya sudah muncul. Namun, karena masyarakat patriarkal yang masih kental pada saat itu, mereka tidak muncul secara terang-terangan.
Perempuan pada masa tersebut menggunakan nama laki-laki saat ingin memberikan gagasannya. Bahkan beberapa di antara perempuan itu dituduh sebagai penyihir dan berujung pada kematian, seperti Hypatia.
Meskipun begitu, pemikiran mereka sangat cemerlang dan juga menjadi tombak dari ilmu pengetahuan pada masa kini. Selain dari nama-nama terkenal seperti Simon de Beauvoir, Mary Wollstonecraft, dan Luce Irigaray, masih banyak filsuf perempuan yang jarang diketahui.
Berikut adalah lima filsuf perempuan yang jarang diketahui, namun turut berkontribusi besar dalam ilmu pengetahuan.
1. DIOTIMA DARI MANTEA
Foto:Lukisan Józef Simmler
Diotima adalah filsuf perempuan yang muncul pada 400 SM. Nama Diotima berarti kehormatan Zeus. Yang unik dari Diotima adalah argumen bahwa dirinya tidak pernah eksis sehingga menjadi suatu misteri.
Keberadaannya masih diperdebatkan karena ia hanya muncul pada dialog Plato dengan perempuan. Namun, peneliti menemukan bahwa hampir semua karakter yang terdapat dalam dialog tersebut adalah orang sungguhan yang tinggal di Athena Kuno.
Meskipun begitu, Diotima turut memberikan pemikiran yang kuat terhadap pemikiran soal konsep cinta dan keindahan. Menurutnya, makna dari keindahan bukanlah sebuah akhir, melainkan jalan menuju sesuatu yang lebih besar.
Diotima juga memberikan enam tahapan cinta. Pertama, cinta kepada tubuh sendiri. Kedua cinta kepada keindahan semua tubuh. Ketiga, cinta kepada keindahan yang dimiliki oleh sesuatu yang berjiwa. Keempat, cinta kepada institusi publik. Kelima adalah cinta kepada pengetahuan umum.
Ia juga berkata bahwa seseorang dapat mengembangkan cinta untuk mencapai keindahan. Kemudian, dari proses itu hingga mencapai tahap keindahan akan menciptakan banyak pemikiran baru yang adil dan mulia. Konsep keindahan yang ia berikan tidak hanya memandang keindahan sebagai konsep abstrak, melainkan fungsinya untuk masa depan.
2. BAN ZHAO
Foto:Vintage News
Ban Zhao adalah salah satu perempuan yang memiliki intelektualitas yang tinggi pada masa China Kuno. Ia menikah dengan Cao Shishu pada usianya yang baru saja 14 tahun. Namun, saat suaminya meninggal muda, ia menolak untuk menikah lagi.
Saat kakaknya sedang menulis "The Book of Han" yang sebelumnya ditulis oleh ayahnya, ia meninggal. Kemudian Ban melanjutkan penulisan untuk buku itu. Ban menulis puisi naratif, elegi, prasasti, argumen, esai. Oleh karena itu, dapat dikatakan Ban adalah pelopor bagi perempuan China untuk meraih pendidikan.
Salah satu tulisannya, yaitu "Lessons for Women" yang ditulis pada 106 M berisi tujuh bagian yang berisi tujuh topik: kerendahan hati, suami dan istri, kehormatan dan peringatan, kualitas seorang perempuan, pengabdian sepenuh hati, kepatuhan implisit, dan keharmonisan dengan adik serta ipar.
Bukunya ia tulis berdasarkan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, salah satu topik yang paling penting adalah soal hubungan suami dan istri. Menurutnya, suami dan istri harus saling menghormati satu sama lain. Keduanya juga bagaikan yin dan yang yang saling melengkapi.
Selain itu, pemikirannya untuk membangun hubungan dalam keluarga adalah tidak ada yang tidak salah. Menurutnya, semua orang dapat melakukan kesalahan dan harus mengakuinya. Apabila semua anggota keluarga menerapkan prinsip ini, secara otomatis akan terjalin hubungan yang harmonis.
Baca Juga: Bukan cuma Laki-laki dan Perempuan, Ini Lima Gender dalam Budaya Bugis
3. LALLESHWARI
Foto:Jammu Kashmir Now
Filsuf perempuan satu ini dikenal sebagai Lal Ded. Ia adalah seorang penyair yang hidup di Kashmir, India pada abad ke-14. Figurnya sangat universal dan diakui oleh sejarah agama Hindu dan Muslim. Dia dipanggil Lalleshwari oleh orang-orang Hindu dan Lalla Arifa oleh muslim.
Lalla dikenal sebagai seorang sufi yang memberikan dampak terhadap hukum pluralisme di Kashmir dari segi agama dan budaya. Selain itu, syairnya juga berisi soal kebebasan. Poin utamanya adalah kebebasan bagi tubuh dan pikiran tanpa memandang kasta, keyakinan, atau jenis kelamin.
Ia menggunakan beberapa istilah baru—diambil dari Buddha—untuk realisasi diri yang dalam syair lisannya disebut Vakh. Istilah-istilah tersebut adalah siva (realitas tertinggi sebagai ketenangan kesadaran), sakti (vitalitas atau energi kesadaran), dan sunyata (kekosongan).
Lalla juga mengombinasikan philosophical yoga dengan ajaran agama dan tradisi budaya, seperti turut menjauhi minuman beralkohol. Menurutnya, untuk mencari sebuah kebenaran dan kebebasan membutuhkan tubuh, pikiran, dan kesadaran. Selain itu, ia berkata kebebasan adalah kesadaran diri.
4. SOPHIE BOSEDE OLUWOLE
Foto:iNigerian
Sophie adalah seorang filsuf asal Nigeria. Ia menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat di Nigeria. Keahliannya adalah Filsafat Yoruba yang merupakan kelompok etnis terbesar di Nigeria. Sophie juga sangat vokal dalam menyuarakan peran perempuan dalam filsafat dan mengkritik para pemikir Afrika yang masih bias dalam dunia pendidikan.
Pemikiran filsafatnya didorong oleh pelatihan dan pengalamannya terhadap filsafat Barat. Ia diajarkan bahwa orang Afrika tidak pernah memulai tradisi filsafat yang meyakinkan. Oleh karena itu, ia ingin membuktikan bahwa Afrika juga memiliki pengetahuan asli.
Ia berpendapat bahwa filsafat Afrika dapat ditemukan melalui pendekatan hermeneutika, yaitu teori atau metode interpretasi. Ia berargumen bahwa interpretasi dari “Corpus Ifá” yang ditulis oleh Orunmila juga memiliki tema-tema filsafat, seperti kebijaksanaan, keadilan, waktu, takdir, dan demokrasi.
Dalam buku terakhirnya "Socrates and Orunmila: The Two Patrons of Classical Philosophy", ia membandingkan Socrates dengan Orunmila. Menurutnya, Socrates dapat dikatakan sebagai bapak filsafat Barat meskipun tidak meninggalkan karya tulis sendiri. Namun, mengapa Orunmila yang diyakini sudah ada sebelum Socrates dan menghasilkan suatu karya tidak dianggap sebagai bapak filsafat Afrika.
Baca Juga: Sejarah Korupsi Di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Kerajaan
5. AZIZAH Y. AL-HIBRI
Foto:University of Richmond
Azizah adalah salah satu tokoh filsuf perempuan kontemporer. Ia berfokus pada studi tentang hukum Islam. Menurutnya, dalam mendeskripsikan hukum Islam diperlukan pemikiran politik, dan analisis etika serta filsafat. Azizah menjadi perempuan muslim pertama yang bekerja sebagai profesor hukum di Amerika.
Ia adalah seorang pendiri dan presiden asosiasi Pengacara Wanita Muslim untuk Hak Asasi Manusia (KARAMAH). Ia juga telah banyak menulis persoalan Islam dan demokrasi, hak-hak perempuan muslim, dan hak asasi manusia dalam Islam.
Tulisan-tulisannya menjelaskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam untuk khalayak hukum. Azizah juga mengkritik interpretasi sejarah teks agama yang dikatakan melanggengkan budaya patriarki. Azizah berkata bahwa terlalu sering tradisi adat—khususnya di negara Timur Tengah—bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Kebingungan untuk membedakan budaya dengan teks agama ini mengancam otonomi perempuan.
Alifia Putri Yudanti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Twitter: @shcsei
Pada era Yunani dan Romawi Kuno, keberadaan perempuan dalam ilmu pengetahuan sebenarnya sudah muncul. Namun, karena masyarakat patriarkal yang masih kental pada saat itu, mereka tidak muncul secara terang-terangan.
Perempuan pada masa tersebut menggunakan nama laki-laki saat ingin memberikan gagasannya. Bahkan beberapa di antara perempuan itu dituduh sebagai penyihir dan berujung pada kematian, seperti Hypatia.
Meskipun begitu, pemikiran mereka sangat cemerlang dan juga menjadi tombak dari ilmu pengetahuan pada masa kini. Selain dari nama-nama terkenal seperti Simon de Beauvoir, Mary Wollstonecraft, dan Luce Irigaray, masih banyak filsuf perempuan yang jarang diketahui.
Berikut adalah lima filsuf perempuan yang jarang diketahui, namun turut berkontribusi besar dalam ilmu pengetahuan.
1. DIOTIMA DARI MANTEA
Foto:Lukisan Józef Simmler
Diotima adalah filsuf perempuan yang muncul pada 400 SM. Nama Diotima berarti kehormatan Zeus. Yang unik dari Diotima adalah argumen bahwa dirinya tidak pernah eksis sehingga menjadi suatu misteri.
Keberadaannya masih diperdebatkan karena ia hanya muncul pada dialog Plato dengan perempuan. Namun, peneliti menemukan bahwa hampir semua karakter yang terdapat dalam dialog tersebut adalah orang sungguhan yang tinggal di Athena Kuno.
Meskipun begitu, Diotima turut memberikan pemikiran yang kuat terhadap pemikiran soal konsep cinta dan keindahan. Menurutnya, makna dari keindahan bukanlah sebuah akhir, melainkan jalan menuju sesuatu yang lebih besar.
Diotima juga memberikan enam tahapan cinta. Pertama, cinta kepada tubuh sendiri. Kedua cinta kepada keindahan semua tubuh. Ketiga, cinta kepada keindahan yang dimiliki oleh sesuatu yang berjiwa. Keempat, cinta kepada institusi publik. Kelima adalah cinta kepada pengetahuan umum.
Ia juga berkata bahwa seseorang dapat mengembangkan cinta untuk mencapai keindahan. Kemudian, dari proses itu hingga mencapai tahap keindahan akan menciptakan banyak pemikiran baru yang adil dan mulia. Konsep keindahan yang ia berikan tidak hanya memandang keindahan sebagai konsep abstrak, melainkan fungsinya untuk masa depan.
2. BAN ZHAO
Foto:Vintage News
Ban Zhao adalah salah satu perempuan yang memiliki intelektualitas yang tinggi pada masa China Kuno. Ia menikah dengan Cao Shishu pada usianya yang baru saja 14 tahun. Namun, saat suaminya meninggal muda, ia menolak untuk menikah lagi.
Saat kakaknya sedang menulis "The Book of Han" yang sebelumnya ditulis oleh ayahnya, ia meninggal. Kemudian Ban melanjutkan penulisan untuk buku itu. Ban menulis puisi naratif, elegi, prasasti, argumen, esai. Oleh karena itu, dapat dikatakan Ban adalah pelopor bagi perempuan China untuk meraih pendidikan.
Salah satu tulisannya, yaitu "Lessons for Women" yang ditulis pada 106 M berisi tujuh bagian yang berisi tujuh topik: kerendahan hati, suami dan istri, kehormatan dan peringatan, kualitas seorang perempuan, pengabdian sepenuh hati, kepatuhan implisit, dan keharmonisan dengan adik serta ipar.
Bukunya ia tulis berdasarkan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, salah satu topik yang paling penting adalah soal hubungan suami dan istri. Menurutnya, suami dan istri harus saling menghormati satu sama lain. Keduanya juga bagaikan yin dan yang yang saling melengkapi.
Selain itu, pemikirannya untuk membangun hubungan dalam keluarga adalah tidak ada yang tidak salah. Menurutnya, semua orang dapat melakukan kesalahan dan harus mengakuinya. Apabila semua anggota keluarga menerapkan prinsip ini, secara otomatis akan terjalin hubungan yang harmonis.
Baca Juga: Bukan cuma Laki-laki dan Perempuan, Ini Lima Gender dalam Budaya Bugis
3. LALLESHWARI
Foto:Jammu Kashmir Now
Filsuf perempuan satu ini dikenal sebagai Lal Ded. Ia adalah seorang penyair yang hidup di Kashmir, India pada abad ke-14. Figurnya sangat universal dan diakui oleh sejarah agama Hindu dan Muslim. Dia dipanggil Lalleshwari oleh orang-orang Hindu dan Lalla Arifa oleh muslim.
Lalla dikenal sebagai seorang sufi yang memberikan dampak terhadap hukum pluralisme di Kashmir dari segi agama dan budaya. Selain itu, syairnya juga berisi soal kebebasan. Poin utamanya adalah kebebasan bagi tubuh dan pikiran tanpa memandang kasta, keyakinan, atau jenis kelamin.
Ia menggunakan beberapa istilah baru—diambil dari Buddha—untuk realisasi diri yang dalam syair lisannya disebut Vakh. Istilah-istilah tersebut adalah siva (realitas tertinggi sebagai ketenangan kesadaran), sakti (vitalitas atau energi kesadaran), dan sunyata (kekosongan).
Lalla juga mengombinasikan philosophical yoga dengan ajaran agama dan tradisi budaya, seperti turut menjauhi minuman beralkohol. Menurutnya, untuk mencari sebuah kebenaran dan kebebasan membutuhkan tubuh, pikiran, dan kesadaran. Selain itu, ia berkata kebebasan adalah kesadaran diri.
4. SOPHIE BOSEDE OLUWOLE
Foto:iNigerian
Sophie adalah seorang filsuf asal Nigeria. Ia menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat di Nigeria. Keahliannya adalah Filsafat Yoruba yang merupakan kelompok etnis terbesar di Nigeria. Sophie juga sangat vokal dalam menyuarakan peran perempuan dalam filsafat dan mengkritik para pemikir Afrika yang masih bias dalam dunia pendidikan.
Pemikiran filsafatnya didorong oleh pelatihan dan pengalamannya terhadap filsafat Barat. Ia diajarkan bahwa orang Afrika tidak pernah memulai tradisi filsafat yang meyakinkan. Oleh karena itu, ia ingin membuktikan bahwa Afrika juga memiliki pengetahuan asli.
Ia berpendapat bahwa filsafat Afrika dapat ditemukan melalui pendekatan hermeneutika, yaitu teori atau metode interpretasi. Ia berargumen bahwa interpretasi dari “Corpus Ifá” yang ditulis oleh Orunmila juga memiliki tema-tema filsafat, seperti kebijaksanaan, keadilan, waktu, takdir, dan demokrasi.
Dalam buku terakhirnya "Socrates and Orunmila: The Two Patrons of Classical Philosophy", ia membandingkan Socrates dengan Orunmila. Menurutnya, Socrates dapat dikatakan sebagai bapak filsafat Barat meskipun tidak meninggalkan karya tulis sendiri. Namun, mengapa Orunmila yang diyakini sudah ada sebelum Socrates dan menghasilkan suatu karya tidak dianggap sebagai bapak filsafat Afrika.
Baca Juga: Sejarah Korupsi Di Indonesia, Sudah Ada Sejak Zaman Kerajaan
5. AZIZAH Y. AL-HIBRI
Foto:University of Richmond
Azizah adalah salah satu tokoh filsuf perempuan kontemporer. Ia berfokus pada studi tentang hukum Islam. Menurutnya, dalam mendeskripsikan hukum Islam diperlukan pemikiran politik, dan analisis etika serta filsafat. Azizah menjadi perempuan muslim pertama yang bekerja sebagai profesor hukum di Amerika.
Ia adalah seorang pendiri dan presiden asosiasi Pengacara Wanita Muslim untuk Hak Asasi Manusia (KARAMAH). Ia juga telah banyak menulis persoalan Islam dan demokrasi, hak-hak perempuan muslim, dan hak asasi manusia dalam Islam.
Tulisan-tulisannya menjelaskan dan mendefinisikan prinsip-prinsip yurisprudensi Islam untuk khalayak hukum. Azizah juga mengkritik interpretasi sejarah teks agama yang dikatakan melanggengkan budaya patriarki. Azizah berkata bahwa terlalu sering tradisi adat—khususnya di negara Timur Tengah—bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Kebingungan untuk membedakan budaya dengan teks agama ini mengancam otonomi perempuan.
Alifia Putri Yudanti
Kontributor GenSINDO
Universitas Indonesia
Twitter: @shcsei
(ita)