Belajar dari Finlandia untuk Hapus Bullying di Sekolah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perisakan (bullying) menjadi salah satu fenomena yang sering muncul dalam kehidupan anak usia sekolah. Belakangan, kasus ini pun mengguncang dunia hiburan dan olahraga di Korea Selatan.
Di Indonesia, pada 2019 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak di dunia pendidikan sebanyak 153 kasus kekerasan. Kasus itu terdiri dari anak korban kebijakan, anak korban kekerasan fisik dan perisakan.
Di Finlandia, Hannah Gaffney dalam jurnal yang ditulisnya menyebut bahwa negara tersebut mengembangkan program KiVa untuk mengatasi aksi perisakan di sekolah.
Foto:KIUSAAMINEN on VÄKIVALTAA
Mengutip dari buku “Teach Like Finland” karya Timothy D. Walker, KiVa merupakan singkatan dari Kiusaamista Vastaan(melawan perisakan). KiVa bisa juga berarti “baik”.
Program KiVa sudah diterapkan di 90% sekolah di Finlandia. KiVa terdiri dari berbagai langkah yang jelas untuk diikuti ketika kejadian perisakan sepertinya akan terjadi. Langkah-langkah itu didukung bantuan seperti perangkat lunak komputer.
Baca Juga: Merasa Kurang Termotivasi? Yuk, Cek tentang Motivasi Intrinsik
Pengaduan
Katakanlah seorang peserta didik merasa temannya melakukan sesuatu yang dianggap sebagai aksi perisakan, misalnya dianggap outcast atau tidak dianggap bagian dari lingkaran pertemanan. Dia bisa meminta pertemuan KiVa dengan guru. Proses ini juga dibantu oleh para pengamat, seperti guru dan teman lainnya yang mengamati perilaku mirip perisakan.
Folder Khusus KiVa
Selanjutnya, guru dan peserta didik mengisi formulir untuk melakukan negosiasi. Formulir tersebut diletakan pada folder khusus yang dimonitor oleh tim guru KiVa dan satu tim peserta didik yang lebih tua, yang sudah dilatih untuk menangani permasalahan ini.
Sesi Negosiasi
Tahap ini dilakukan di ruang kelas yang tidak digunakan selama istirahat. Guru, kedua pihak (yang melapor dan yang dirasa melakukan sesuatu yang dianggap aksi perisakan), dan peserta didik yang lebih tua akan bertemu.
Selama sesi negosiasi, kedua pihak dipersilahkan untuk menceritakan sudut pandang masing-masing. Selanjutnya, para fasilitator bertanya kepada kedua pihak agar merefleksikan perilaku mereka.
Foto: iStock
Dalam KiVa, peserta didik difokuskan pada masalah yang ada dan cara mereka berperilaku dan dapat berperilaku secara berbeda. Tujuannya agar peserta didik dapat mengidentifikasi solusi untuk mencegah permasalahan tersebut. Pada akhir sesi, satu pihak berjanji untuk melakukan pencegahan, yang ditulis oleh fasilitator KiVa.
Tindak Lanjut
Dua minggu setelah sesi negosiasi, diadakan pertemuan untuk menindaklanjuti kedua belah pihak. Jika pada pertemuan ini masih ada masalah, maka fasilitator ditambah, dan orang tua kedua pihak diberitahu.
Baca Juga: 5 Drama Korea Favorit Penonton Internasional, tapi Ratingnya Rendah di Korea
Vanessa A. Green dalam jurnalnya menyatakan tujuan KiVa adalah membuat peserta didik sadar akan bahaya perisakan. Mereka dibuat agar tidak menjadi saksi pasif saat melihat temannya menjadi korban perisakan. Mereka pun menjadi tahu cara menghadapi pelaku perisakan dibanding harus menjadi pengikutnya.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
Di Indonesia, pada 2019 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak di dunia pendidikan sebanyak 153 kasus kekerasan. Kasus itu terdiri dari anak korban kebijakan, anak korban kekerasan fisik dan perisakan.
Di Finlandia, Hannah Gaffney dalam jurnal yang ditulisnya menyebut bahwa negara tersebut mengembangkan program KiVa untuk mengatasi aksi perisakan di sekolah.
Foto:KIUSAAMINEN on VÄKIVALTAA
Mengutip dari buku “Teach Like Finland” karya Timothy D. Walker, KiVa merupakan singkatan dari Kiusaamista Vastaan(melawan perisakan). KiVa bisa juga berarti “baik”.
Program KiVa sudah diterapkan di 90% sekolah di Finlandia. KiVa terdiri dari berbagai langkah yang jelas untuk diikuti ketika kejadian perisakan sepertinya akan terjadi. Langkah-langkah itu didukung bantuan seperti perangkat lunak komputer.
Baca Juga: Merasa Kurang Termotivasi? Yuk, Cek tentang Motivasi Intrinsik
Pengaduan
Katakanlah seorang peserta didik merasa temannya melakukan sesuatu yang dianggap sebagai aksi perisakan, misalnya dianggap outcast atau tidak dianggap bagian dari lingkaran pertemanan. Dia bisa meminta pertemuan KiVa dengan guru. Proses ini juga dibantu oleh para pengamat, seperti guru dan teman lainnya yang mengamati perilaku mirip perisakan.
Folder Khusus KiVa
Selanjutnya, guru dan peserta didik mengisi formulir untuk melakukan negosiasi. Formulir tersebut diletakan pada folder khusus yang dimonitor oleh tim guru KiVa dan satu tim peserta didik yang lebih tua, yang sudah dilatih untuk menangani permasalahan ini.
Sesi Negosiasi
Tahap ini dilakukan di ruang kelas yang tidak digunakan selama istirahat. Guru, kedua pihak (yang melapor dan yang dirasa melakukan sesuatu yang dianggap aksi perisakan), dan peserta didik yang lebih tua akan bertemu.
Selama sesi negosiasi, kedua pihak dipersilahkan untuk menceritakan sudut pandang masing-masing. Selanjutnya, para fasilitator bertanya kepada kedua pihak agar merefleksikan perilaku mereka.
Foto: iStock
Dalam KiVa, peserta didik difokuskan pada masalah yang ada dan cara mereka berperilaku dan dapat berperilaku secara berbeda. Tujuannya agar peserta didik dapat mengidentifikasi solusi untuk mencegah permasalahan tersebut. Pada akhir sesi, satu pihak berjanji untuk melakukan pencegahan, yang ditulis oleh fasilitator KiVa.
Tindak Lanjut
Dua minggu setelah sesi negosiasi, diadakan pertemuan untuk menindaklanjuti kedua belah pihak. Jika pada pertemuan ini masih ada masalah, maka fasilitator ditambah, dan orang tua kedua pihak diberitahu.
Baca Juga: 5 Drama Korea Favorit Penonton Internasional, tapi Ratingnya Rendah di Korea
Vanessa A. Green dalam jurnalnya menyatakan tujuan KiVa adalah membuat peserta didik sadar akan bahaya perisakan. Mereka dibuat agar tidak menjadi saksi pasif saat melihat temannya menjadi korban perisakan. Mereka pun menjadi tahu cara menghadapi pelaku perisakan dibanding harus menjadi pengikutnya.
Septi Kurnia
Kontributor GenSINDO
Universitas Negeri Jakarta
Instagram: @septikurnia28
(ita)