Mengulik Alasan Logis di Balik Manjurnya Ramalan Astrologi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seberapa sering kamu mendengar orang yang membaca ramalan zodiak terus bilang, “Sumpah ini gue banget!”
Atau mungkin kamu malah tergolong orang yang sering ngomong kira-kira begini, “Fix, sebagai capricornus gue kayaknya emang gak cocok sama Leo.”
Foto: Shutterstock
Di dunia ini, ada banyak orang yang merasakan hal sama ketika membaca ramalan astrologi karena merasa bahwa ramalan tersebut sesuai banget dengan diri mereka.
Yang bikin heran, kenapa ramalan astrologi sering kali terasa ngena banget dan bikin kita ngangguk-ngangguk karena merasa setuju akan isinya?
Pernah bertanya-tanya gak, sih, apakah informasi dari ramalan astrologi ini emang ada benarnya? Atau justru cuma trik yang berisi omong kosong belaka?
Well, ternyata ada alasan logis mengapa informasi yang berasal dari praktik-praktik paranormal seperti soal astrologi, pembacaan aura, atau berbagai jenis tes kepribadian terasa cukup akurat dan bisa diterima oleh banyak pihak.
Salah satu yang menjadi faktor di balik hal itu berada pada metode yang mereka gunakan.
Foto: Shutterstock
Pada umumnya, metode dalam praktik-praktik tersebut menggunakan prinsip-prinsip psikologis manusia berupa validasi subjektif dan penipuan diri sebagai trik untuk mendapatkan kepercayaan dari si orang yang diramal.
Validasi subjektif ini adalah bias kognitif yang terjadi ketika ekspektasi individu menuntut adanya benang merah antara dua peristiwa yang sebenarnya gak saling terkait.
Konsep inilah yang bisa membawa kita pada penjelasan logis mengapa ramalan astrologi dan semacamnya terasa akurat.
Sederhananya, sih, apa yang kita anggap benar dilatarbelakangi oleh pendapat diri yang dipengaruhi oleh validasi subjektif.
Inilah yang bikin kita menghubung-hubungkan sendiri isi ramalan tersebut dengan hal yang kita miliki atau sedang kita rasakan, bukan karena ramalan tersebut emang 100 persen akurat bisa membaca diri kita.
Foto: northwestern.edu
Selain itu, penjelasan lain yang mengulas akan hal ini juga dijelaskan dalam hal yang disebut sebagai Efek Forer atau biasa dikenal juga dengan sebutan Efek Barnum.
Efek Forer, sesuai dengan namanya, dikemukakan oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat bernama Bertram R. Forer dalam penelitiannya yang bertajuk “The Fallacy of Personal Validation: A Classroom Demonstration of Gullibility”.
Efek ini pada dasarnya memberi pendengar apa yang ingin mereka dengar atau ekspektasikan.Penelitian ini diadakan oleh Forer pada 1948 melalui sebuah tes kepribadian yang ia berikan kepada murid-muridnya.
Masing-masing siswa diberikan soal analisis berisi 13 deskripsi kepribadian yang seragam dan bersifat general, yang ia salin dari kolom astrologi di koran tanpa diketahui oleh para respondennya.
Selanjutnya, para siswa kemudian diminta untuk mengevaluasi 13 deskripsi tersebut dengan memberikan skala nol yang artinya benar-benar gak akurat sampai dengan skala lima yang artinya sempurna.
Foto: Maura Dwyer/The Atlantic
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai dari evaluasi yang diberikan oleh para siswa memiliki rata-rata nilai sebesar 4,26. Bahkan, ketika tes ini diulang ratusan kali setelahnya, nilai rata-rata yang diperoleh juga tetap berada pada angka 4,2.
Artinya, penelitian ini berhasil menjelaskan bahwa banyak orang mudah tertipu oleh daya muslihat astrologi.
Bayangin aja, masa, sih, dari 13 deskripsi kepribadian yang isinya sama persis bisa mendapatkan hasil yang akurat dari para siswa? Padahal tes kepribadian itu diisi oleh banyak orang yang tentunya memiliki karakter atau kepribadian yang beragam.
Nah, jadi Forer menjelaskan bahwa umumnya, jenis tes kepribadian sering kali bersifat universal dan berlaku untuk semua orang.
Makanya, banyak orang mudah tertipu karena merasa deskripsi kepribadian yang mereka terima adalah informasi khusus tentang dirinya, padahal sebenarnya, informasi tersebut bersifat umum dan siapapun bisa merasakan hal yang sama.
Silmi safriyantini
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @silmisafr
Lihat Juga: Sepekan Terjadi 2 Kasus Penembakan, Ketua MPR Dorong Psikologi Anggota Polisi Diperiksa Rutin
Atau mungkin kamu malah tergolong orang yang sering ngomong kira-kira begini, “Fix, sebagai capricornus gue kayaknya emang gak cocok sama Leo.”
Foto: Shutterstock
Di dunia ini, ada banyak orang yang merasakan hal sama ketika membaca ramalan astrologi karena merasa bahwa ramalan tersebut sesuai banget dengan diri mereka.
Yang bikin heran, kenapa ramalan astrologi sering kali terasa ngena banget dan bikin kita ngangguk-ngangguk karena merasa setuju akan isinya?
Pernah bertanya-tanya gak, sih, apakah informasi dari ramalan astrologi ini emang ada benarnya? Atau justru cuma trik yang berisi omong kosong belaka?
Well, ternyata ada alasan logis mengapa informasi yang berasal dari praktik-praktik paranormal seperti soal astrologi, pembacaan aura, atau berbagai jenis tes kepribadian terasa cukup akurat dan bisa diterima oleh banyak pihak.
Salah satu yang menjadi faktor di balik hal itu berada pada metode yang mereka gunakan.
Foto: Shutterstock
Pada umumnya, metode dalam praktik-praktik tersebut menggunakan prinsip-prinsip psikologis manusia berupa validasi subjektif dan penipuan diri sebagai trik untuk mendapatkan kepercayaan dari si orang yang diramal.
Validasi subjektif ini adalah bias kognitif yang terjadi ketika ekspektasi individu menuntut adanya benang merah antara dua peristiwa yang sebenarnya gak saling terkait.
Konsep inilah yang bisa membawa kita pada penjelasan logis mengapa ramalan astrologi dan semacamnya terasa akurat.
Sederhananya, sih, apa yang kita anggap benar dilatarbelakangi oleh pendapat diri yang dipengaruhi oleh validasi subjektif.
Inilah yang bikin kita menghubung-hubungkan sendiri isi ramalan tersebut dengan hal yang kita miliki atau sedang kita rasakan, bukan karena ramalan tersebut emang 100 persen akurat bisa membaca diri kita.
Foto: northwestern.edu
Selain itu, penjelasan lain yang mengulas akan hal ini juga dijelaskan dalam hal yang disebut sebagai Efek Forer atau biasa dikenal juga dengan sebutan Efek Barnum.
Efek Forer, sesuai dengan namanya, dikemukakan oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat bernama Bertram R. Forer dalam penelitiannya yang bertajuk “The Fallacy of Personal Validation: A Classroom Demonstration of Gullibility”.
Efek ini pada dasarnya memberi pendengar apa yang ingin mereka dengar atau ekspektasikan.Penelitian ini diadakan oleh Forer pada 1948 melalui sebuah tes kepribadian yang ia berikan kepada murid-muridnya.
Masing-masing siswa diberikan soal analisis berisi 13 deskripsi kepribadian yang seragam dan bersifat general, yang ia salin dari kolom astrologi di koran tanpa diketahui oleh para respondennya.
Selanjutnya, para siswa kemudian diminta untuk mengevaluasi 13 deskripsi tersebut dengan memberikan skala nol yang artinya benar-benar gak akurat sampai dengan skala lima yang artinya sempurna.
Foto: Maura Dwyer/The Atlantic
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai dari evaluasi yang diberikan oleh para siswa memiliki rata-rata nilai sebesar 4,26. Bahkan, ketika tes ini diulang ratusan kali setelahnya, nilai rata-rata yang diperoleh juga tetap berada pada angka 4,2.
Artinya, penelitian ini berhasil menjelaskan bahwa banyak orang mudah tertipu oleh daya muslihat astrologi.
Bayangin aja, masa, sih, dari 13 deskripsi kepribadian yang isinya sama persis bisa mendapatkan hasil yang akurat dari para siswa? Padahal tes kepribadian itu diisi oleh banyak orang yang tentunya memiliki karakter atau kepribadian yang beragam.
Nah, jadi Forer menjelaskan bahwa umumnya, jenis tes kepribadian sering kali bersifat universal dan berlaku untuk semua orang.
Makanya, banyak orang mudah tertipu karena merasa deskripsi kepribadian yang mereka terima adalah informasi khusus tentang dirinya, padahal sebenarnya, informasi tersebut bersifat umum dan siapapun bisa merasakan hal yang sama.
Silmi safriyantini
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @silmisafr
Lihat Juga: Sepekan Terjadi 2 Kasus Penembakan, Ketua MPR Dorong Psikologi Anggota Polisi Diperiksa Rutin
(it)