Kontroversi Charlie Hebdo: Kebebasan Berekspresi atau Intoleransi?

Kamis, 29 Oktober 2020 - 22:13 WIB
loading...
A A A
Pada 25 Desember 2016 silam, sebuah pesawat militer Rusia jatuh di wilayah Laut Hitam dan menewaskan 92 orang.

Setelahnya, Charlie Hebdo mengeluarkan karikatur bergambar pesawat jatuh dan gambar seorang tentara Rusia bernyanyi dan mengejek bahwa tentara yang bernyanyi tersebut gembira ketika pesawat mereka jatuh ke Laut Hitam.

Juru bicara pemerintah Rusia menanggapi hal ini sebagai penistaan murni. Ia menganggap kejadian pesawat jatuh ini tidak ada hubungannya dengan demokrasi atau kebebasan berekspresi. ( )

Karikatur Cabul Erdogan

Kontroversi terbaru yang mencuat adalah karikatur cabul Erdogan pada sampul Charlie Hebdo edisi terbaru. Erdogan digambarkan sedang memegang bir dan mengangkat rok seorang perempuan.

Karikatur ini dibuat sebagai balasan kepada Erdogan yang tidak terima adanya kartun Nabi Muhammad.

Pemerintah Turki memanggil Dubes Prancis di Ankara untuk dimintai keterangan. Menanggapi karikatur tersebut, Erdogan sampai tidak memiliki kata-kata lagi untuk orang-orang di balik majalah Charlie Hebdo.

Kontroversi Charlie Hebdo: Kebebasan Berekspresi atau Intoleransi?

Foto: Sky News

Budaya satire terhadap agama dan politik memang sudah menjadi tradisi di Prancis. Perilaku satire juga dilindungi konstitusi Prancis dan banyak negara Eropa lain karena lagi-lagi dianggap sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi.

Namun, menurut Roger J. Kreuz, profesor psikologi Universitas Memphis, Amerika Serikat, dalam tulisannya di theconversation.com, pada masa modern seperti saat ini, banyak yang menganggap bahwa fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi sering dibungkus dengan satire dengan dalih kebebasan berekspresi

Sementara itu, kontroversi yang terjadi antara Charlie Hebdo dan banyak komunitas agama adalah bentuk dari benturan budaya. Satire adalah budaya Eropa yang menekankan kebebasan berekspresi.

Di sisi lain, budaya dari komunitas agama seperti Islam menganggap bahwa menistakan Tuhan adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sehingga kekacauan lintas budaya pun terjadi ketika kedua budaya ini “dibenturkan”.

Karenanya, lagi menurut Roger J. Kreuz, sebagian orang bertanya-tanya apakah agama sebaiknya tidak dimasukkan menjadi topik dalam satire dan menganggap satire agama sebagai satire rendahan karena terlalu ofensif dan menyebabkan protes di banyak negara.

Namun tak sedikit juga yang menganggap bahwa pembatasan topik pada satire sama dengan membatasi kebebasan berekspresi.

Ulah Charlie Hebdo yang banyak memublikasikan satire kontroversial juga sering merugikan negara Prancis. ( )

Mulai dari sentimen terhadap warga Prancis yang tinggal di negara lain, pemanggilan dubes, sampai pemboikotan produk Prancis di berbagai negara telah menjadi masalah yang merepotkan.

Lantas apakah menurut kamu pembatasan satire tentang agama merupakan pembatasan kebebasan berekspresi?
(it)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1893 seconds (0.1#10.140)