Review Film ‘Laskar Pelangi’: Tagore, Totto-Chan, juga Hirata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rabindranath Tagore pernah begitu sebal pada sistem pendidikan bernama sekolah. Sistem yang dinilainya kaku dan lebih membuat dirinya merasa tepenjara dibanding memberinya kemerdekaan untuk berpikir.
Di lain pihak, juga ada Totto-Chan yang pernah dikeluarkan dari sekolah ketika usianya baru menginjak 6 tahun.
Tapi dibanding Tagore, Totto-Chan lebih beruntung. Karena ia menemukan sebuah sistem pendidikan yang juga bernama sekolah, tapi punya daya pikat luar biasa untuk seorang gadis yang suka melamun seperti dirinya.
Sekolah Tomoe menjelma sebagai sekolah yang mendobrak kekakuan yang dibenci Tagore. Karena para siswanya bisa belajar di mana saja dan belajar dari apa saja. Anak kecil seperti Totto-Chan pun seperti menemukan dirinya yang bisa bersenda gurau bersama burung sembari mendengarkan gurunya berceloteh.
Foto: Miles Films
Sementara Andrea Hirata tak pernah mengemukakan satu alasan pun bagi dirinya untuk membenci sekolah. Bahkan melalui "Laskar Pelangi", tetralogi pertama dari novel yang ditulisnya, ia justru merayakan kesempatan memperoleh pendidikan melalui bangku sekolah. Hirata jelas berseberangan dengan Tagore.
"Laskar Pelangi" justru memperlihatkan tokoh utamanya yang bernama Ikal (yang diidentikkan dengan dirinya) yang berkat pendidikan justru berhasil mengarungi lautan dari Belitong hingga ke Prancis.
Tapi "Laskar Pelangi" sebagai sebuah film bukanlah film yang mengalir begitu-begitu saja. Riri Riza , dengan filmografinya yang irit, terkenal dengan kegelisahan-kegelisahannya yang diungkapkan dalam film. Dan ia selalu berpihak pada yang muda.
Foto: Miles Films
Dalam "Eliana Eliana" (yang masih jadi karya terbaiknya hingga saat ini) adalah film yang begitu gamblang mempersoalkan jurang komunikasi antara anak dan orang tua.
Sementara lewat "Gie", Riri mendapat konten yang sangat pas untuk mencereweti pemerintah yang kadung takut pada pemikiran pemuda yang berapi-api. ( )
Dan dalam "3 Hari Untuk Selamanya", ia juga masih melihat betapa sosok anak muda bisa begitu tak peduli pada keadaan sekitar,tapipada saat bersamaan juga mempertanyakan banyak hal tentang apa yang terjadi di sekitarnya.
Namun dengan meletakkan khittah-nya sebagai family movie, Riri memang tak bisa terlalu meletakkan kegelisahan di depan yang bisa menyusutkan tema utama "Laskar Pelangi" yang mengobarkan semangat melawan kemiskinan sistematis.
Ia harus berkompromi dengan itu, tapi bukan berarti harus menjadi ’pelacur’ yang menjual jiwanya pada setan. Riri, dengan integritasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang kreator, mampu memadukan "Laskar Pelangi" sehingga tak perlu kering, tapi juga tak kehilangan pijakannya dengan niat menghibur keluarga Indonesia.
Foto: Miles Films
Melalui Ikal (Zulfani, versi dewasanya dimainkan Lukman Sardi) dan kawan-kawannya yang bersemangat baja bersekolah di sebuah tempat bobrok, Riri sesungguhnya ingin mengkritik ketidakpedulian pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan demi memajukan bangsa.
Ia juga mengecam kemiskinan yang menggerogoti Belitong, yang justru melimpah ruah sumber daya alamnya. Ironi, juga tragedi, dikemasnya sebagai tontonan yang tak menyesakkan, tapi meruapkan keinginan untuk bersyukur. Bersyukur di tengah keterbatasan dan mencoba menyiasati keterbatasan.
Seperti halnya tokohnya yang juga penting dalam film ini, Ibu Muslimah (Cut Mini). Sosok yang menjadi teladan bagi murid-muridnya dan juga bisa jadi bagi 4 juta penonton yang telah menonton film ini. ( )
Ia menolak melawan nasib yang seakan digariskan untuknya: menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihan orang tuanya. Ia memilih mengabdikan diri bagi anak-anak yang membutuhkan bimbingan. Ibu Muslimah juga membangkitkan harapan pada mereka.
Foto: Miles Films
Di lain pihak, juga ada Totto-Chan yang pernah dikeluarkan dari sekolah ketika usianya baru menginjak 6 tahun.
Tapi dibanding Tagore, Totto-Chan lebih beruntung. Karena ia menemukan sebuah sistem pendidikan yang juga bernama sekolah, tapi punya daya pikat luar biasa untuk seorang gadis yang suka melamun seperti dirinya.
Sekolah Tomoe menjelma sebagai sekolah yang mendobrak kekakuan yang dibenci Tagore. Karena para siswanya bisa belajar di mana saja dan belajar dari apa saja. Anak kecil seperti Totto-Chan pun seperti menemukan dirinya yang bisa bersenda gurau bersama burung sembari mendengarkan gurunya berceloteh.
Foto: Miles Films
Sementara Andrea Hirata tak pernah mengemukakan satu alasan pun bagi dirinya untuk membenci sekolah. Bahkan melalui "Laskar Pelangi", tetralogi pertama dari novel yang ditulisnya, ia justru merayakan kesempatan memperoleh pendidikan melalui bangku sekolah. Hirata jelas berseberangan dengan Tagore.
"Laskar Pelangi" justru memperlihatkan tokoh utamanya yang bernama Ikal (yang diidentikkan dengan dirinya) yang berkat pendidikan justru berhasil mengarungi lautan dari Belitong hingga ke Prancis.
Tapi "Laskar Pelangi" sebagai sebuah film bukanlah film yang mengalir begitu-begitu saja. Riri Riza , dengan filmografinya yang irit, terkenal dengan kegelisahan-kegelisahannya yang diungkapkan dalam film. Dan ia selalu berpihak pada yang muda.
Foto: Miles Films
Dalam "Eliana Eliana" (yang masih jadi karya terbaiknya hingga saat ini) adalah film yang begitu gamblang mempersoalkan jurang komunikasi antara anak dan orang tua.
Sementara lewat "Gie", Riri mendapat konten yang sangat pas untuk mencereweti pemerintah yang kadung takut pada pemikiran pemuda yang berapi-api. ( )
Dan dalam "3 Hari Untuk Selamanya", ia juga masih melihat betapa sosok anak muda bisa begitu tak peduli pada keadaan sekitar,tapipada saat bersamaan juga mempertanyakan banyak hal tentang apa yang terjadi di sekitarnya.
Namun dengan meletakkan khittah-nya sebagai family movie, Riri memang tak bisa terlalu meletakkan kegelisahan di depan yang bisa menyusutkan tema utama "Laskar Pelangi" yang mengobarkan semangat melawan kemiskinan sistematis.
Ia harus berkompromi dengan itu, tapi bukan berarti harus menjadi ’pelacur’ yang menjual jiwanya pada setan. Riri, dengan integritasnya yang tak terbantahkan sebagai seorang kreator, mampu memadukan "Laskar Pelangi" sehingga tak perlu kering, tapi juga tak kehilangan pijakannya dengan niat menghibur keluarga Indonesia.
Foto: Miles Films
Melalui Ikal (Zulfani, versi dewasanya dimainkan Lukman Sardi) dan kawan-kawannya yang bersemangat baja bersekolah di sebuah tempat bobrok, Riri sesungguhnya ingin mengkritik ketidakpedulian pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan demi memajukan bangsa.
Ia juga mengecam kemiskinan yang menggerogoti Belitong, yang justru melimpah ruah sumber daya alamnya. Ironi, juga tragedi, dikemasnya sebagai tontonan yang tak menyesakkan, tapi meruapkan keinginan untuk bersyukur. Bersyukur di tengah keterbatasan dan mencoba menyiasati keterbatasan.
Seperti halnya tokohnya yang juga penting dalam film ini, Ibu Muslimah (Cut Mini). Sosok yang menjadi teladan bagi murid-muridnya dan juga bisa jadi bagi 4 juta penonton yang telah menonton film ini. ( )
Ia menolak melawan nasib yang seakan digariskan untuknya: menikah dengan laki-laki yang menjadi pilihan orang tuanya. Ia memilih mengabdikan diri bagi anak-anak yang membutuhkan bimbingan. Ibu Muslimah juga membangkitkan harapan pada mereka.
Foto: Miles Films