Review Film Imperfect: Ketidaksempurnaan Menjadikan Kita Manusia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kita hidup di dunia yang dipenuhi kode. Berseliweran di segala lini, berkelindan di seantero waktu.
Hingga kita tak sadar betapa kode-kode itu menyelusup ke bawah benak sadar dan menyetel sebuah pemahaman baru. Salah satunya tentang sosok perempuan.
Kode-kode itu menjebak kita dengan pemahaman sempit bahwa perempuan bisa disebut cantik jika ia tinggi, langsing dan berkulit putih/mulus. Kode-kode itu menyerbu ke semua orang, tak terkecuali saya.
Saya adalah ayah dengan dua orang anak perempuan. Yang tertua terlahir cantik dengan standar yang kita pahami. ( )
Sementara adiknya terlahir dengan rupa biasa-biasa saja. Tanpa sadar, saya sempat membedakan perlakuan saya terhadap kedua anak perempuan saya itu hingga kesadaran baru datang pada saya: adiknya ternyata punya kualitas yang tidak dipunyai kakaknya, yaitu ia cekatan, gesit, selalu ingin tahu.
Foto: Starvision Plus
Saya segera mengoreksi perlakuan berbeda itu dan menganggap kedua anak perempuan saya sama cantiknya. Kecantikan itu sesungguhnya tidak satu dimensi, ia tidak bisa dikategorikan dalam beberapa penilaian yang ajek. Kecantikan harusnya selalu lentur karena perempuan pun sangat heterogen.
Di rumah ibu Debby (Karina Suwandi), kita akan berhadapan langsung dengan Rara [Jessica Mila] dan Lulu [Yasmin Napper]. Rara sedari kecil memang terlahir gemuk dan berkulit sawo matang, sementara Lulu berkulit bersih dan langsing.
Debby selalu memperlakukan kedua anaknya berbeda. Ketika keduanya dewasa, kita melihat bahwa Rara dikaruniai kecerdasan yang mungkin bisa menutupi “kelemahan” penampilannya. Tapi ternyata tidak. ( )
Ketika ada kesempatan menjadi manajer, oleh bosnya, Kelvin (Dion Wiyoko), Rara berhadapan dengan the brutal truth: bahwa penampilan menjadi faktor penting.
Foto: Starvision Plus
Saya teringat sosok Andy (Anne Hathaway) dalam film “The Devil Wears Prada” (2006). Ketika memutuskan menerima pekerjaan di majalah Runway, Andy bilang dengan gamblang pada pacarnya bahwa ia tidak akan mengubah penampilan hanya untuk sebuah pekerjaan.
Sayangnya memang, dunia tidak bekerja seperti itu, Ferguso. Bekerja di majalah fesyen tentu menuntutnya menyesuaikan diri. Hal yang sama pun pada akhirnya dilakukan Rara.
Namun pertanyaan terpenting dari sosok seperti Rara atau Andy adalah apakah mengubah penampilan adalah segalanya? Tak cukupkah “sekadar” menyesuaikan, bukan terobsesi secara terus menerus untuk menjadi sempurna?
Bekerja sama dengan istrinya, Meira Anastasia, Ernest Prakasa menggarap skenario film “Imperfect” dengan sangat baik. Jika di karya-karya sebelumnya, beberapa adegan yang di-set untuk menguras tawa penonton bisa dilepaskan dengan plot utama, maka di sini, semua adegan terasa berkesinambungan.
Geng cewek kost yang sejatinya memang di-plot untuk menghadirkan tawa ternyata bisa diintegrasikan sebagai bagian penting dari dunia tak sempurna yang ingin diperlihatkan Rara.
Foto: Starvision Plus
Geng empat cewek kost dengan kekhasan fisik masing-masing menjadi corong bagi Ernest dan Meira untuk menyuarakan soal ketidaksempurnaan itu. ( )
Dan ketidaksempurnaan sesungguhnya yang menjadikan kita manusia. “Imperfect” menyadarkan kita dengan cara yang lembut untuk bertoleransi dengan segala perbedaan, bukan sekadar ras, agama, tapi juga fisik.
Tentu saja kita akan terus-terusan diberondong iklan-iklan yang menyeragamkan definisi kecantikan, tapi kita juga selalu punya pilihan untuk bisa mendefinisikan ulang standar kecantikan itu.
“Imperfect” tayang di Netflix.
*Ichwan Persada adalah seorang sutradara/produser film, sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran.
Hingga kita tak sadar betapa kode-kode itu menyelusup ke bawah benak sadar dan menyetel sebuah pemahaman baru. Salah satunya tentang sosok perempuan.
Kode-kode itu menjebak kita dengan pemahaman sempit bahwa perempuan bisa disebut cantik jika ia tinggi, langsing dan berkulit putih/mulus. Kode-kode itu menyerbu ke semua orang, tak terkecuali saya.
Saya adalah ayah dengan dua orang anak perempuan. Yang tertua terlahir cantik dengan standar yang kita pahami. ( )
Sementara adiknya terlahir dengan rupa biasa-biasa saja. Tanpa sadar, saya sempat membedakan perlakuan saya terhadap kedua anak perempuan saya itu hingga kesadaran baru datang pada saya: adiknya ternyata punya kualitas yang tidak dipunyai kakaknya, yaitu ia cekatan, gesit, selalu ingin tahu.
Foto: Starvision Plus
Saya segera mengoreksi perlakuan berbeda itu dan menganggap kedua anak perempuan saya sama cantiknya. Kecantikan itu sesungguhnya tidak satu dimensi, ia tidak bisa dikategorikan dalam beberapa penilaian yang ajek. Kecantikan harusnya selalu lentur karena perempuan pun sangat heterogen.
Di rumah ibu Debby (Karina Suwandi), kita akan berhadapan langsung dengan Rara [Jessica Mila] dan Lulu [Yasmin Napper]. Rara sedari kecil memang terlahir gemuk dan berkulit sawo matang, sementara Lulu berkulit bersih dan langsing.
Debby selalu memperlakukan kedua anaknya berbeda. Ketika keduanya dewasa, kita melihat bahwa Rara dikaruniai kecerdasan yang mungkin bisa menutupi “kelemahan” penampilannya. Tapi ternyata tidak. ( )
Ketika ada kesempatan menjadi manajer, oleh bosnya, Kelvin (Dion Wiyoko), Rara berhadapan dengan the brutal truth: bahwa penampilan menjadi faktor penting.
Foto: Starvision Plus
Saya teringat sosok Andy (Anne Hathaway) dalam film “The Devil Wears Prada” (2006). Ketika memutuskan menerima pekerjaan di majalah Runway, Andy bilang dengan gamblang pada pacarnya bahwa ia tidak akan mengubah penampilan hanya untuk sebuah pekerjaan.
Sayangnya memang, dunia tidak bekerja seperti itu, Ferguso. Bekerja di majalah fesyen tentu menuntutnya menyesuaikan diri. Hal yang sama pun pada akhirnya dilakukan Rara.
Namun pertanyaan terpenting dari sosok seperti Rara atau Andy adalah apakah mengubah penampilan adalah segalanya? Tak cukupkah “sekadar” menyesuaikan, bukan terobsesi secara terus menerus untuk menjadi sempurna?
Bekerja sama dengan istrinya, Meira Anastasia, Ernest Prakasa menggarap skenario film “Imperfect” dengan sangat baik. Jika di karya-karya sebelumnya, beberapa adegan yang di-set untuk menguras tawa penonton bisa dilepaskan dengan plot utama, maka di sini, semua adegan terasa berkesinambungan.
Geng cewek kost yang sejatinya memang di-plot untuk menghadirkan tawa ternyata bisa diintegrasikan sebagai bagian penting dari dunia tak sempurna yang ingin diperlihatkan Rara.
Foto: Starvision Plus
Geng empat cewek kost dengan kekhasan fisik masing-masing menjadi corong bagi Ernest dan Meira untuk menyuarakan soal ketidaksempurnaan itu. ( )
Dan ketidaksempurnaan sesungguhnya yang menjadikan kita manusia. “Imperfect” menyadarkan kita dengan cara yang lembut untuk bertoleransi dengan segala perbedaan, bukan sekadar ras, agama, tapi juga fisik.
Tentu saja kita akan terus-terusan diberondong iklan-iklan yang menyeragamkan definisi kecantikan, tapi kita juga selalu punya pilihan untuk bisa mendefinisikan ulang standar kecantikan itu.
“Imperfect” tayang di Netflix.
*Ichwan Persada adalah seorang sutradara/produser film, sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran.
(it)