CERMIN: Budi Pekerti, Luluk Nuril, Prani, dan Cyberbullying
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 2022. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis data terkait peningkatan kasus kekerasan berbasis gender di dunia maya.
Tercatat ada 3.838 kasus kekerasan berbasis gender yang ditangani Komnas Perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.721 kasus merupakan kekerasan siber berbasis gender (KSBG), meningkat 83% dibandingkan tahun 2020 sejumlah 940 kasus.
Pada September 2023, seleb TikTok asal Probolinggo, Luluk Nuril, juga mengalami bagaimana rasanya dirundung oleh netizen di dunia maya. Luluk diketahui memarahi seorang siswi magang saat sedang berbelanja di sebuah toko swalayan di kotanya.
Entah bagaimana ceritanya hingga video tersebut tersebar luas, viral, dan akhirnya membuat Luluk panen kecaman. Luluk bisa jadi memang bersalah tapi apakah kesalahannya itu membuatnya pantas dihakimi masyarakat dari segala penjuru?
Prani dalam film Budi Pekerti bukanlah Luluk. Prani hanyalah seorang guru Bimbingan Konseling (BK) dan tak pernah pamer kemewahan di media sosial. Dunianya sedang runtuh. Usaha suaminya yang merosot membuat Didit, suaminya, mengalami depresi dan akhirnya didiagnosis mengidap bipolar. Lalu Prani mengambil alih tanggung jawab suaminya menjadi kepala keluarga untuk dua anaknya, Tita dan Muklas.
Foto: Rekata Studio
Prani bukan Luluk. Ia menegur seorang pengunjung saat sedang mengantre kue putu. Tapi tegurannya tidak diterima baik oleh pengunjung tersebut. Seharusnya seperti Luluk, masalahnya bisa berakhir dengan damai.
Tapi seseorang merasa perlu merekam momen pertengkaran Prani dengan pengunjung itu dan mengabarkannya kepada dunia luas. Kita tahu tindakan ini ibarat menyiram bensin ke api yang menyala.
Kita juga tahu dari data yang dipublikasikan Microsoft tahun 2021, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan di dunia maya paling rendah di Asia Tenggara. Pada akhirnya Prani mengalami apa yang dialami oleh Luluk, bahkan jauh lebih brutal.
Profesinya sebagai guru BK justru menjadi titik lemah dari peristiwa itu. Sikapnya yang membentak si pengunjung tersebut dianggap tak mencerminkan sejatinya seorang guru. Kita lupa, Prani sedang tak mengenakan bajunya sebagai guru. Dalam peristiwa itu, Prani adalah seorang manusia biasa yang juga bisa marah kala melihat seseorang yang bisa seenaknya saja melupakan etika antre di ruang publik.
Sosok Prani mengingatkan saya pada Topaz, karakter yang dimainkan pelawak, S Bagio, dalam filmSang Guru (1981). Topaz digambarkan sebagai guru yang miskin, tapi sangat jujur dan hidupnya lurus. Siswa-siswanya selalu terpesona kala Topaz mengajar soal budi pekerti dan selalu menekankan pada kejujuran.
Foto: Rekata Studio
Topaz bentrok dengan kepala sekolah tempatnya mengajar karena salah satu orang tua siswa protes keras dengan nilai rapor anaknya yang semuanya merah. Topaz tak ingin berkompromi sedikit pun. Seperti Prani yang juga bingung soal letak kesalahannya di mana.
“Ibu itu salah apa? Ibu mau minta maaf apa?” Muklas yang menjadi perwakilan generasi Z tahu betul bahwa soal benar atau salah tak lagi penting. “Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong!”
Tiga tahun lalu, Filipina merilis sebuah film mengesankan berjudulJohn Denver Trending. Kisahnya tentang seorang remaja bernama John Denver yang dituduh mencuri iPad oleh teman sekelasnya yang berujung pada sebuah perkelahian.
Peristiwa tersebut menjadi viral yang memberi tekanan besar pada John. Tak ada seorang pun yang percaya padanya bahwa ia tak mencuri iPad tersebut. Kisah ini berakhir dengan tragis dan membuat kita semakin paham betapa berbahayanya kamera dan media sosial di tangan mereka yang tak paham soal literasi digital.
Budi Pekertimemberi efek serupa sepertiJohn Denver Trending. Kita sadar bahwa kehausan kita soal viralitas akhirnya menjadi senjata yang memangsa kita sendiri. Ketika kita begitu mudah menghakimi orang yang tak kita kenal di media sosial, apa sesungguhnya yang kita dapatkan?
Foto: Rekata Studio
Mengapa pula kita begitu mudah menyebarluaskan kebencian untuk sebuah masalah yang sesungguhnya manusiawi dan bisa diselesaikan dengan mudah? Mengapa media sosial justru bisa menjadi alat untuk menghancurkan hidup seseorang?
Wregas Bhanuteja, Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, dan Dwi Sasono mengingatkan kembali pada kita soal menggunakan media sosial untuk hal-hal bermanfaat. Bukan untuk menjatuhkan seseorang apalagi menghancurkan hidup mereka yang dunianya sedang runtuh seperti Prani.
Kita bisa terus menyebarkan pesan positif ini secara berantai dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati agar kita tak lagi mudah menyebarkan kebencian untuk viralitas sesaat.
Setelah menyaksikanBudi Pekerti, saya pun teringat kutipan bijak dari salah satu kampanye Anti Cyber Bullying and Social Bullying, “Blowing out someone else’s candle doesn’t make yours shine any brighter”.
Budi Pekerti
Produser: Ridla An-Nuur, Adi Ekatama, Nurita Anandia W, Willawati
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Penulis Skenario: Wregas Bhanuteja
Pemain: Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Tercatat ada 3.838 kasus kekerasan berbasis gender yang ditangani Komnas Perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.721 kasus merupakan kekerasan siber berbasis gender (KSBG), meningkat 83% dibandingkan tahun 2020 sejumlah 940 kasus.
Pada September 2023, seleb TikTok asal Probolinggo, Luluk Nuril, juga mengalami bagaimana rasanya dirundung oleh netizen di dunia maya. Luluk diketahui memarahi seorang siswi magang saat sedang berbelanja di sebuah toko swalayan di kotanya.
Entah bagaimana ceritanya hingga video tersebut tersebar luas, viral, dan akhirnya membuat Luluk panen kecaman. Luluk bisa jadi memang bersalah tapi apakah kesalahannya itu membuatnya pantas dihakimi masyarakat dari segala penjuru?
Prani dalam film Budi Pekerti bukanlah Luluk. Prani hanyalah seorang guru Bimbingan Konseling (BK) dan tak pernah pamer kemewahan di media sosial. Dunianya sedang runtuh. Usaha suaminya yang merosot membuat Didit, suaminya, mengalami depresi dan akhirnya didiagnosis mengidap bipolar. Lalu Prani mengambil alih tanggung jawab suaminya menjadi kepala keluarga untuk dua anaknya, Tita dan Muklas.
Foto: Rekata Studio
Prani bukan Luluk. Ia menegur seorang pengunjung saat sedang mengantre kue putu. Tapi tegurannya tidak diterima baik oleh pengunjung tersebut. Seharusnya seperti Luluk, masalahnya bisa berakhir dengan damai.
Tapi seseorang merasa perlu merekam momen pertengkaran Prani dengan pengunjung itu dan mengabarkannya kepada dunia luas. Kita tahu tindakan ini ibarat menyiram bensin ke api yang menyala.
Kita juga tahu dari data yang dipublikasikan Microsoft tahun 2021, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan di dunia maya paling rendah di Asia Tenggara. Pada akhirnya Prani mengalami apa yang dialami oleh Luluk, bahkan jauh lebih brutal.
Profesinya sebagai guru BK justru menjadi titik lemah dari peristiwa itu. Sikapnya yang membentak si pengunjung tersebut dianggap tak mencerminkan sejatinya seorang guru. Kita lupa, Prani sedang tak mengenakan bajunya sebagai guru. Dalam peristiwa itu, Prani adalah seorang manusia biasa yang juga bisa marah kala melihat seseorang yang bisa seenaknya saja melupakan etika antre di ruang publik.
Sosok Prani mengingatkan saya pada Topaz, karakter yang dimainkan pelawak, S Bagio, dalam filmSang Guru (1981). Topaz digambarkan sebagai guru yang miskin, tapi sangat jujur dan hidupnya lurus. Siswa-siswanya selalu terpesona kala Topaz mengajar soal budi pekerti dan selalu menekankan pada kejujuran.
Foto: Rekata Studio
Topaz bentrok dengan kepala sekolah tempatnya mengajar karena salah satu orang tua siswa protes keras dengan nilai rapor anaknya yang semuanya merah. Topaz tak ingin berkompromi sedikit pun. Seperti Prani yang juga bingung soal letak kesalahannya di mana.
“Ibu itu salah apa? Ibu mau minta maaf apa?” Muklas yang menjadi perwakilan generasi Z tahu betul bahwa soal benar atau salah tak lagi penting. “Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak ngomong!”
Tiga tahun lalu, Filipina merilis sebuah film mengesankan berjudulJohn Denver Trending. Kisahnya tentang seorang remaja bernama John Denver yang dituduh mencuri iPad oleh teman sekelasnya yang berujung pada sebuah perkelahian.
Peristiwa tersebut menjadi viral yang memberi tekanan besar pada John. Tak ada seorang pun yang percaya padanya bahwa ia tak mencuri iPad tersebut. Kisah ini berakhir dengan tragis dan membuat kita semakin paham betapa berbahayanya kamera dan media sosial di tangan mereka yang tak paham soal literasi digital.
Budi Pekertimemberi efek serupa sepertiJohn Denver Trending. Kita sadar bahwa kehausan kita soal viralitas akhirnya menjadi senjata yang memangsa kita sendiri. Ketika kita begitu mudah menghakimi orang yang tak kita kenal di media sosial, apa sesungguhnya yang kita dapatkan?
Foto: Rekata Studio
Mengapa pula kita begitu mudah menyebarluaskan kebencian untuk sebuah masalah yang sesungguhnya manusiawi dan bisa diselesaikan dengan mudah? Mengapa media sosial justru bisa menjadi alat untuk menghancurkan hidup seseorang?
Wregas Bhanuteja, Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda, dan Dwi Sasono mengingatkan kembali pada kita soal menggunakan media sosial untuk hal-hal bermanfaat. Bukan untuk menjatuhkan seseorang apalagi menghancurkan hidup mereka yang dunianya sedang runtuh seperti Prani.
Kita bisa terus menyebarkan pesan positif ini secara berantai dari tangan ke tangan, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati agar kita tak lagi mudah menyebarkan kebencian untuk viralitas sesaat.
Setelah menyaksikanBudi Pekerti, saya pun teringat kutipan bijak dari salah satu kampanye Anti Cyber Bullying and Social Bullying, “Blowing out someone else’s candle doesn’t make yours shine any brighter”.
Budi Pekerti
Produser: Ridla An-Nuur, Adi Ekatama, Nurita Anandia W, Willawati
Sutradara: Wregas Bhanuteja
Penulis Skenario: Wregas Bhanuteja
Pemain: Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, Angga Yunanda
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)