CERMIN: Hanung Bramantyo dalam Karya Paling Provokatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun 1937. Penyair Amir Hamzah mempublikasikan buku kumpulan sajaknya yang paling terkenal, Nyanyi Sunyi. Salah satu puisi yang termuat di dalamnya memuat hubungan Amir dan Tuhan dalam bentuknya yang paling tak lazim.
Puisi itu berjudul Hanya Satu. Petikan syairnya bisa jadi membuat kening mereka yang membacanya menjadi berkerut. Amir melihat Tuhan bukanlah sesuatu yang agung, tapi Tuhan yang ganas dan cemburu. “Engkau cemburu, Engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas.”
Pada tahun 1930-an, puisi itu lantas dibaca oleh masyarakat banyak. Tapi Amir tak dihujat, ia tak digugat sebagai penista agama, juga tak pernah sekali pun terdengarkan ia dikafirkan atas karyanya itu. Amir malah lantas dianggap sebagai salah satu penyair paling religius yang pernah lahir di negeri ini.
Hanung Bramantyo bukan Amir Hamzah. Beberapa kali Hanung melontarkan kegelisahannya soal Tuhan dan keimanan dalam sejumlah karyanya. Dan ia beroleh hujatan.
Salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan filmnya , Perempuan Berkalung Sorban (2009), ditarik dari peredaran. Setahun setelahnya, filmnya yang lain, Tanda Tanya (2010), diprotes oleh organisasi Front Pembela Islam (FPI). Dan Hanung tak pernah sekal ipun beroleh predikat sebagai “sutradara paling religius”.
Seperti sebagian dari kita, termasuk saya, Hanung bisa jadi mengalami hubungan yang kompleks dengan Tuhan. Kita mempercayai Tuhan, mengimani keberadaannya tapi sesekali kita menuduhnya, menganggapnya pilih kasih.
Foto: MVP Pictures
Dalam usianya yang kini menginjak 48 tahun, Hanung masih ingin mengulik kompleksitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Kali ini ia memilih mengadaptasi novel dengan judul provokatif, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M Dahlan. Sesuai dengan materi novelnya pula, Hanung mendorong karya adaptasinya kali ini menjadi film paling provokatif yang pernah dihasilkannya.
Hanung meminjam mulut, hati, dan pikiran Kiran, tokoh utama dalam film Tuhan Izinkan Aku Berdosa, untuk mengutarakan kegelisahannya. Awalnya Kiran hidup dalam gelembung kecil yang aman dan tenteram: menjalani hidup sebagai mahasiswi dan sebagai muslimah dengan khusyuk.
Ia terus mendalami agama hingga sebuah kejadian mengubah hidupnya. Sebuah kejadian yang akan memutar balik hidupnya 180 derajat. Dan kita paham mengapa Kiran begitu geram tapi tetap gentar dengan Tuhan.
Setelah terbenam dalam dogma-dogma agama yang menutup diri dengan dialog dan pemikiran terbuka, Kiran lantas membenamkan dirinya dalam kehidupan yang berbeda total. Kiran menantang Tuhan dengan membiarkan dirinya terjebak dalam praktik pelacuran, mabuk-mabukan, mengonsumsi narkoba.
Kiran melihat segala kemunafikan terbentang telanjang di hadapannya: seorang profesor yang menjadi germo dan berlindung di balik citra suami dan ayah teladan, juga seorang anggota DPR yang didukung partai Islam terbesar yang justru berkelakuan tak Islami sama sekali.
Hanung memperlihatkan bahwa bagi sebagian orang, agama bisa saja hanyalah identitas, sekadar komoditi, yang bisa dibongkar pasang, yang bisa dipergunakan jika diperlukan. Agama tak ada kaitannya dengan iman, agama tak berhubungan dengan perilaku seseorang. Apa boleh buat, Hanung berani mempertontonkannya secara brutal.
Tapi seperti Kiran, juga Hanung dan saya, bisa jadi kita memang muak melihat segala kemunafikan di sekeliling kita. Segala topeng yang digunakan di depan umum, juga di media sosial, hanya untuk beroleh simpati, juga untuk memperoleh pengakuan “baik”. Topeng yang ketika dibuka memperlihatkan borok-borok yang begitu mengerikan. Topeng yang kelak menguarkan bau busuk dari baliknya dan mau tak mau harus dibuka.
Foto: MVP Pictures
Menelisik lebih jauh ke dalam, Tuhan Izinkan Aku Berdosa tak sekadar menggugat Tuhan. Ia juga menggugat patriarki yang menempatkan perempuan di pinggir arena, yang tak memberi kesempatan pada perempuan untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran kritisnya.
Hanung kembali mengelaborasi keberpihakannya pada perempuan sebagaimana yang sudah pernah diperlihatkannya dalam beberapa filmnya. Perempuan berjilbab seperti Kiran dengan berani diperlihatkannya menari-nari hingga mabuk di lantai disko sementara ibu kos yang senantiasa berbaju minim justru ditampilkannya berbudi mulia dan membela Kiran mati-matian.
Meski menjadi filmnya yang paling provokatif, Tuhan Izinkan Aku Berdosa tetap berusaha menjadi film berkualitas baik dari Hanung. Untungnya memang ia punya Aghniny Haque yang memanggul beban luar biasa berat dan memainkannya dengan total dan cemerlang.
Bisa jadi seperti Hanung, Aghniny pun merasakan kegelisahan yang sama atas ruwetnya hubungannya dengan Tuhan. Sehingga segala rasa marah dan kecewa bisa mencelat ke luar layar dan sampai di hati penonton.
Setelah segala gugatan, kemarahan dan kekecewaan pada Tuhan, apa lagi yang tersisa? Masihkah kita punya energi untuk menghardik Tuhan terus menerus? Padahal sesungguhnya diam-diam kita terus merindukannya?
Lamat-lamat terdengar Chairil Anwar melantunkan puisi dari sebuah masa yang jauh. “Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh.”
Tuhan Izinkan Aku Berdosa
Produser: Raam Punjabi
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis Skenario: Ifan Ismail, Hanung Bramantyo
Pemain: Aghniny Haque, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
Puisi itu berjudul Hanya Satu. Petikan syairnya bisa jadi membuat kening mereka yang membacanya menjadi berkerut. Amir melihat Tuhan bukanlah sesuatu yang agung, tapi Tuhan yang ganas dan cemburu. “Engkau cemburu, Engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas.”
Pada tahun 1930-an, puisi itu lantas dibaca oleh masyarakat banyak. Tapi Amir tak dihujat, ia tak digugat sebagai penista agama, juga tak pernah sekali pun terdengarkan ia dikafirkan atas karyanya itu. Amir malah lantas dianggap sebagai salah satu penyair paling religius yang pernah lahir di negeri ini.
Hanung Bramantyo bukan Amir Hamzah. Beberapa kali Hanung melontarkan kegelisahannya soal Tuhan dan keimanan dalam sejumlah karyanya. Dan ia beroleh hujatan.
Salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan filmnya , Perempuan Berkalung Sorban (2009), ditarik dari peredaran. Setahun setelahnya, filmnya yang lain, Tanda Tanya (2010), diprotes oleh organisasi Front Pembela Islam (FPI). Dan Hanung tak pernah sekal ipun beroleh predikat sebagai “sutradara paling religius”.
Seperti sebagian dari kita, termasuk saya, Hanung bisa jadi mengalami hubungan yang kompleks dengan Tuhan. Kita mempercayai Tuhan, mengimani keberadaannya tapi sesekali kita menuduhnya, menganggapnya pilih kasih.
Foto: MVP Pictures
Dalam usianya yang kini menginjak 48 tahun, Hanung masih ingin mengulik kompleksitas hubungan manusia dengan Tuhannya. Kali ini ia memilih mengadaptasi novel dengan judul provokatif, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M Dahlan. Sesuai dengan materi novelnya pula, Hanung mendorong karya adaptasinya kali ini menjadi film paling provokatif yang pernah dihasilkannya.
Hanung meminjam mulut, hati, dan pikiran Kiran, tokoh utama dalam film Tuhan Izinkan Aku Berdosa, untuk mengutarakan kegelisahannya. Awalnya Kiran hidup dalam gelembung kecil yang aman dan tenteram: menjalani hidup sebagai mahasiswi dan sebagai muslimah dengan khusyuk.
Ia terus mendalami agama hingga sebuah kejadian mengubah hidupnya. Sebuah kejadian yang akan memutar balik hidupnya 180 derajat. Dan kita paham mengapa Kiran begitu geram tapi tetap gentar dengan Tuhan.
Setelah terbenam dalam dogma-dogma agama yang menutup diri dengan dialog dan pemikiran terbuka, Kiran lantas membenamkan dirinya dalam kehidupan yang berbeda total. Kiran menantang Tuhan dengan membiarkan dirinya terjebak dalam praktik pelacuran, mabuk-mabukan, mengonsumsi narkoba.
Kiran melihat segala kemunafikan terbentang telanjang di hadapannya: seorang profesor yang menjadi germo dan berlindung di balik citra suami dan ayah teladan, juga seorang anggota DPR yang didukung partai Islam terbesar yang justru berkelakuan tak Islami sama sekali.
Hanung memperlihatkan bahwa bagi sebagian orang, agama bisa saja hanyalah identitas, sekadar komoditi, yang bisa dibongkar pasang, yang bisa dipergunakan jika diperlukan. Agama tak ada kaitannya dengan iman, agama tak berhubungan dengan perilaku seseorang. Apa boleh buat, Hanung berani mempertontonkannya secara brutal.
Tapi seperti Kiran, juga Hanung dan saya, bisa jadi kita memang muak melihat segala kemunafikan di sekeliling kita. Segala topeng yang digunakan di depan umum, juga di media sosial, hanya untuk beroleh simpati, juga untuk memperoleh pengakuan “baik”. Topeng yang ketika dibuka memperlihatkan borok-borok yang begitu mengerikan. Topeng yang kelak menguarkan bau busuk dari baliknya dan mau tak mau harus dibuka.
Foto: MVP Pictures
Menelisik lebih jauh ke dalam, Tuhan Izinkan Aku Berdosa tak sekadar menggugat Tuhan. Ia juga menggugat patriarki yang menempatkan perempuan di pinggir arena, yang tak memberi kesempatan pada perempuan untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran kritisnya.
Hanung kembali mengelaborasi keberpihakannya pada perempuan sebagaimana yang sudah pernah diperlihatkannya dalam beberapa filmnya. Perempuan berjilbab seperti Kiran dengan berani diperlihatkannya menari-nari hingga mabuk di lantai disko sementara ibu kos yang senantiasa berbaju minim justru ditampilkannya berbudi mulia dan membela Kiran mati-matian.
Meski menjadi filmnya yang paling provokatif, Tuhan Izinkan Aku Berdosa tetap berusaha menjadi film berkualitas baik dari Hanung. Untungnya memang ia punya Aghniny Haque yang memanggul beban luar biasa berat dan memainkannya dengan total dan cemerlang.
Bisa jadi seperti Hanung, Aghniny pun merasakan kegelisahan yang sama atas ruwetnya hubungannya dengan Tuhan. Sehingga segala rasa marah dan kecewa bisa mencelat ke luar layar dan sampai di hati penonton.
Setelah segala gugatan, kemarahan dan kekecewaan pada Tuhan, apa lagi yang tersisa? Masihkah kita punya energi untuk menghardik Tuhan terus menerus? Padahal sesungguhnya diam-diam kita terus merindukannya?
Lamat-lamat terdengar Chairil Anwar melantunkan puisi dari sebuah masa yang jauh. “Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh.”
Tuhan Izinkan Aku Berdosa
Produser: Raam Punjabi
Sutradara: Hanung Bramantyo
Penulis Skenario: Ifan Ismail, Hanung Bramantyo
Pemain: Aghniny Haque, Donny Damara, Djenar Maesa Ayu
Ichwan Persada
Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute, bisa dikontak via Instagram @ichwanpersada
(ita)