Review Film Ghostbusters: Afterlife: Sebuah Nostalgia di Era Gen Z

Rabu, 01 Desember 2021 - 13:02 WIB
Ghostbuster: Afterlife adalah hiburan ringan yang penuh nostalgia. Film ini tidak bisa dikatakan jelek, tapi juga tidak terlalu bagus. Tapi, layak ditonton. (Foto-Foto: Sony Pictures)
Ghostbusters: Afterlife adalah usaha baru untuk meluncurkan ulang franchise berusia tua ini. Membuat namanya pada 80an, Ghostbusters adalah legenda untuk orang-orang yang lahir dan menjalani masa kecil dan remajanya di era tersebut. Untuk GENSINDO, Ghostbusters mungkin pernah dinikmati ayah, bunda, tante, atau oom kalian.

Berdurasi 2 jam 4 menit, film ini jelas dibuat untuk para penggemarnya. Film ini akan mengajak mereka untuk bernostalgia mengenang masa-masa ketika sekawanan pria bersenjatakan Proton Pack, PKE Meter dan Trap. Mengendarai Ecto-1, mereka akan membantu orang-orang yang diganggu hantu.

Pada 1980-an, Ghostbusters melepas dua film. Film pertama dirilis pada 1986 dan film kedua pada 1989. Kedua film ini disutradarai Ivan Reitman dan sama-sama berhasil menguasai box office saat itu. Usaha untuk menghidupkan kembali franchise ini berlanjut dengan dirilisnya serial di televisi.



Kini, putra Ivan, Jason Reitman, berusaha menghidupkan franchise ini dengan Ghostbusters: Afterlife. Film ini aslinya dijadwalkan dirilis pada Juli 2020. Namun, akibat pandemi, peluncurannya mengalami beberapa kali penundaan hingga dipastikan diluncurkan pada akhir 2021.



Ghostbusters: Aferlife ber-setting setelah 32 tahun setelah film Ghostbusters kedua (1989). Film ini adalah tribute untuk Harold Ramis, pemeran asli Egon Spengler di franchise ini yang meninggal dunia pada 2014dan berfokus pada putri Egon, Callie, yang bankrut. Di film ini, Egon juga diceritakan telah meninggal dunia dan meninggalkan warisan berupa rumah tua dan tanah yang luas di Summerville, Oklahoma.

Callie yang tidak punya rumah lagi membawa dua anaknya, Finn Wolfhard, eh, Trevor, dan Phoebe, ke rumah ayahnya dengan dalih untuk liburan musim panas. Phoebe yang sangat suka sains segera menemukan gairahnya untuk berpetualang setelah menemukan MKE Meter dan Perangkap Hantu milik kakek yang tidak dia kenal.



Karena Podcast, temannya dari sekolah musim panas, Phoebe jadi tahu apa yang terjadi di Summerville. Gurunya, Gary Gooberson, juga memberitahu dia tentang fenomena aneh yang terjadi kota terpencil itu. Gary jadi bersemangat saat melihat Ghost Trap yang dibawa Phoebe ke sekolah.

Sebagai sebuah usaha untuk meluncurkan ulang sebuah franchise legendaris, usaha Jason ini bisa dibilang berhasil. Ghostbusters: Afterlife memamerkan apa yang bisa dilakukan Ghostbusters di eranya dalam bentuk yang lebih muda sekarang, yaitu anak kecil berusia 12 tahun yang dibantu teman dan keluarganya. Selain itu, elemen nostalgia dengan penampilan 5 cast asli dari franchise Ghostbusters menambah warna film ini. Tapi, ya begitu saja.

Dari segi cerita, film ini jadi terkesan seperti film petualangan anak-anak. Berfokus pada sepak terjang Phoebe, Ghostbusters: Afterlife jadi terkesan seperti formula film musim panas yang pas ditonton anak-anak, di mana seorang anak cerdas, aneh, tidak punya teman, tiba-tiba menemukan benda aneh yang mengubah hidupnya. Dia menemui masalah dan menyelesaikannya dengan cara yang juga cara anak-anak.



Kehadiran orang dewasa di film ini adalah bumbu. Begitu juga dengan remajanya. Karakter yang diperankan Finn Wolfhard adalah kakak Phoebe yang sama sekali tidak tertarik pada sains. Dia mungkin lebih tertarik pada permesinan karena dialah yang mengutak atik Ecto-1 di gudang tua milik kakek mereka yang dia temukan secara tidak sengaja saat mencari sinyal untuk smartphone-nya. Namun, ini pun tidak didalami dengan baik, karena film ini lebih berfokus pada sepak terjang Phoebe.

Peran lainnya adalah sebagai sopir untuk Phoebe dan Podcast. Meski tidak lulus ujian SIM sebanyak 3 kali, Trevor tetap nekat mengendarai Ecto-1. Mungkin, ini cara lain baginya untuk bisa mendekati Lucky, seorang gadis pelayan restoran fast food di Summerville yang dia taksir. Padahal, akting Finn pun lumayan di film ini. Sayang, arc-nya tidak tergarap dengan baik dan dia terkesan hanya tampil sebagai pemain pendukung.



Kehadiran Paul Rudd sebagai guru aneh bernama Gary Gooberson menambah formula komedi di film ini. Ya, Ghostbusters: Afterlife memang banyak mengundang tawa karena kekonyolan Gary ini salah satunya. Sementara, Callie digambarkan sebagai sosok ibu yang sayang pada kedua anaknya.

Ghostbusters: Afterlife juga memberikan sentuhan baru pada Slime, hantu khas franchise ini. Tidak lagi berwarna hijau, Slime tampil dengan warna biru dan punya banyak tangan. Dia masih mengacau dan menjadi sasaran tembak Phoebe dan teman-temannya setelah mereka menemukan Proton Pack dan lain-lain.

Ghostbusters: Afterlife adalah hiburan ringan yang penuh nostalgia. Film ini tidak bisa dikatakan jelek, tapi juga tidak terlalu bagus. Tengah-tengah saja. Tapi, layak ditonton.

Semua orang bisa menikmati film ini, terutama dengan aksi Ecto-1, Proton Pack dan para “Ghostbuster” cilik yang mengejar Slime atau hantu lain di film ini. Ya, ini adalah salah satu elemen paling menarik di sini. Bagaimana teknologi era 80-an berada di tangan anak-anak Gen Z yang sepertinya tidak terlalu kesulitan mengoperasikan dan memahaminya. Dan, bagaimana teknologi kuno ini masih relatable untuk membasmi ancaman dari dunia gaib.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. SINDOnews.com tidak terlibat dalam materi konten ini.
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More