Bosan di Rumah Terus? Ini Waktu yang Pas untuk Merenungi Kebosananmu
Selasa, 02 Juni 2020 - 21:46 WIB
JAKARTA - Merasa bosan setelah kurang lebih tiga bulan di rumah aja adalah hal yang wajar. Masalahnya, kamu mengalami kebosanan yang jenis apa, nih?
Tahun ini emang jadi tahun yang banyak memberi kesan. Siapa sangka, udah setengah jalan tahun 2020, tapi kita lebih banyak ada di dalam rumah aja dibanding di luar rumah.
Dari yang awalnya bosan, lalu terbiasa, lalu mulai bosan lagi, mungkin udah kamu alami. Kamu pun mungkin bingung, walau lebih banyak makan, tidur, dan nonton serial, tapi kamu merasa capek dan bosan secara bersamaan.
Mengutip healthline.co, bahwa ada orang-orang yang mengalami quarantine fatigue atau kelelahan dalam karantina selama masa pandemi virus corona. Mary Fristad, psikolog di The Ohio State University Wexner Medical Center, mengatakan bahwa hal ini disebabkan banyak alasan, salah satunya adalah karena adanya banyak perubahan dan ketidakpastian.
Foto:health.harvard.edu
Tugas kuliah yang semakin hari semakin menumpuk, masalah keuangan, kesepian, dan sebagainya turut andil dalam hal ini.
Mengutip artikel Psychology Today yang ditulis Gregg Levoy, penulis buku "Vital Signs: The Nature and Nurture of Passion" dan "Callings: Finding and Following an Authentic Life", ada dua jenis kebosanan yang mungkin kita alami pada masa pandemi ini, yaitu kebosanan situasional dan kebosanan eksistensial.
Kebosanan situasional menyangkut lockdown atau PSBB, yang bikin aktivitas kita jadi terbatas. Sementara kebosanan eksistensial lebih serius lagi, karena kita jadi mempertanyakan soal jalan hidup yang kita pilih dan mungkin akan kita jalani pada masa depan.
Kalau yang pertama bisa hilang cuma dengan nonton serial, bikin video TikTok, ngobrol bareng teman, atau belanja daring, kalau yang kedua, kita mesti lebih memikirkan dengan serius.
Foto: Shutterstock
Yang perlu diingat, merasa bosan mirip sebuah penyakit. Mau gak mau kita harus mengatasinya. Ini bisa jadi katarsis buat kita, tapi kalau kita gagal menanganinya, bisa bikin kita lumpuh.
Nah untuk mengatasi kebosanan ini, terutama kebosanan eksistensial, Gregg menyarankan kita untuk 'duduk bersama' kebosanan tersebut. Maksudnya, kita merenungi lagi mengapa hal tersebut bisa terjadi, dan apa yang salah.
Jadikan kebosanan sebagai kesempatan untuk melakukan kontemplasi, menyelidiki diri sendiri, sekaligus mencari cara kreatif untuk mengatasinya.
Indah Lutfiyati
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @indah_lutf
Tahun ini emang jadi tahun yang banyak memberi kesan. Siapa sangka, udah setengah jalan tahun 2020, tapi kita lebih banyak ada di dalam rumah aja dibanding di luar rumah.
Dari yang awalnya bosan, lalu terbiasa, lalu mulai bosan lagi, mungkin udah kamu alami. Kamu pun mungkin bingung, walau lebih banyak makan, tidur, dan nonton serial, tapi kamu merasa capek dan bosan secara bersamaan.
Mengutip healthline.co, bahwa ada orang-orang yang mengalami quarantine fatigue atau kelelahan dalam karantina selama masa pandemi virus corona. Mary Fristad, psikolog di The Ohio State University Wexner Medical Center, mengatakan bahwa hal ini disebabkan banyak alasan, salah satunya adalah karena adanya banyak perubahan dan ketidakpastian.
Foto:health.harvard.edu
Tugas kuliah yang semakin hari semakin menumpuk, masalah keuangan, kesepian, dan sebagainya turut andil dalam hal ini.
Mengutip artikel Psychology Today yang ditulis Gregg Levoy, penulis buku "Vital Signs: The Nature and Nurture of Passion" dan "Callings: Finding and Following an Authentic Life", ada dua jenis kebosanan yang mungkin kita alami pada masa pandemi ini, yaitu kebosanan situasional dan kebosanan eksistensial.
Kebosanan situasional menyangkut lockdown atau PSBB, yang bikin aktivitas kita jadi terbatas. Sementara kebosanan eksistensial lebih serius lagi, karena kita jadi mempertanyakan soal jalan hidup yang kita pilih dan mungkin akan kita jalani pada masa depan.
Kalau yang pertama bisa hilang cuma dengan nonton serial, bikin video TikTok, ngobrol bareng teman, atau belanja daring, kalau yang kedua, kita mesti lebih memikirkan dengan serius.
Foto: Shutterstock
Yang perlu diingat, merasa bosan mirip sebuah penyakit. Mau gak mau kita harus mengatasinya. Ini bisa jadi katarsis buat kita, tapi kalau kita gagal menanganinya, bisa bikin kita lumpuh.
Nah untuk mengatasi kebosanan ini, terutama kebosanan eksistensial, Gregg menyarankan kita untuk 'duduk bersama' kebosanan tersebut. Maksudnya, kita merenungi lagi mengapa hal tersebut bisa terjadi, dan apa yang salah.
Jadikan kebosanan sebagai kesempatan untuk melakukan kontemplasi, menyelidiki diri sendiri, sekaligus mencari cara kreatif untuk mengatasinya.
Indah Lutfiyati
Kontributor GenSINDO
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Instagram: @indah_lutf
(it)
tulis komentar anda