DARVO: Cara Pelaku Kekerasan Seksual Membungkam Korban
Kamis, 17 Juni 2021 - 16:16 WIB
JAKARTA - Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan pengakuan seorang perempuan yang diduga terkena pelecehan oleh selebritas berinisial GH. Setelah korban berbicara dengan membuat utas di Twitter, GH pun membuat klarifikasi.
Dalam kasus-kasus pelecehan seksual, para pelaku kerap kali menggunakan taktik yang dinamakan DARVO. DARVO merupakan akronim dari Deny (Menyangkal), Attack (Menyerang), Reverse (Membalikkan), Victim (Korban), dan Offender (Pelaku).
Taktik ini digunakan oleh pelaku kekerasan seksual untuk membungkam korban agar mereka merasa malu dan bersalah atas kesaksiannya. Istilah ini hampir mirip dengan gaslighting, yaitu memanipulasi korban sehingga ia mempertanyakan kembali kebenaran pernyataannya.
Foto:Shutterstock
Dalam kasus kekerasan seksual, kesaksian dari korban seharusnya didengar terlebih dahulu. Perbuatan pelaku terkadang sangat membekas bagi korban sehingga ia sampai mengalami trauma.
Terlebih lagi, saat pelaku kekerasan memiliki kuasa yang tinggi dan merupakan seorang yang berpengaruh. Korban tentu akan semakin takut untuk melaporkan kasusnya. Karena itulah, banyak korban yang memilih berbicara di media sosial dibanding langsung melaporkannya. Apalagi, banyak peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa korban baru berani bicara ke publik setelah berhasil mengatasi trauma selepas kekerasan terjadi.
Baca Juga: Ini Dia Jenis-Jenis Pelecehan Seksual yang Perlu Kamu Tahu
ASAL MULA ISTILAH DARVO
Foto:Getty Images
Melansir dari SBS , istilah DARVO pada awalnya dikonsepkan oleh Jennifer J. Freyd. Ia mempublikasikan artikelnya pada 1997 tentang teori trauma pengkhianatan.
Dalam artikelnya tertulis bahwa DARVO mengacu pada reaksi para pelaku kejahatan saat telah melakukan kesalahan, khususnya pelaku kekerasan seksual. Oleh karena itu, dapat dikatakan DARVO digunakan pelaku untuk melindungi diri dan tidak mau mengakui kesalahan.
Jennifer juga menjelaskan bahwa melalui teknik ini pelaku bisa menyangkal pernyataan korban perilakunya, menyerang individu yang memberikan kesaksian, dan membalikkan peran antara pelaku dan korban. Dengan taktik terakhir, pelaku seolah-olah akan berperan sebagai "korban".
SAYANGNYA, STRATEGI DARVO EFEKTIF
Foto: Shutterstock
Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2017, Jennifer dan timnya juga menunjukkan bahwa korban yang terkena DARVO lebih cenderung merasa menyalahkan diri sendiri pada akhir wawancara. Penelitiannya pada 2020 juga menunjukkan bahwa orang-orang yang disajikan dengan laporan pelecehan diikuti oleh aksi DARVO, cenderung tidak mempercayai korban.
Melansir dari SBS, terdapat gagasan tentang himpati, yaitu istilah yang diciptakan oleh Filsuf Kate Manne dalam bukunya "Down Girl: The Logic of Misogyny". Himpati adalah simpati yang berlebihan kepada pelaku kekerasan seksual. Apabila dilakukan, pelaku akan semakin dilindungi keberadaannya dan korban terus diserang.
Dalam kasus-kasus pelecehan seksual, para pelaku kerap kali menggunakan taktik yang dinamakan DARVO. DARVO merupakan akronim dari Deny (Menyangkal), Attack (Menyerang), Reverse (Membalikkan), Victim (Korban), dan Offender (Pelaku).
Taktik ini digunakan oleh pelaku kekerasan seksual untuk membungkam korban agar mereka merasa malu dan bersalah atas kesaksiannya. Istilah ini hampir mirip dengan gaslighting, yaitu memanipulasi korban sehingga ia mempertanyakan kembali kebenaran pernyataannya.
Foto:Shutterstock
Dalam kasus kekerasan seksual, kesaksian dari korban seharusnya didengar terlebih dahulu. Perbuatan pelaku terkadang sangat membekas bagi korban sehingga ia sampai mengalami trauma.
Terlebih lagi, saat pelaku kekerasan memiliki kuasa yang tinggi dan merupakan seorang yang berpengaruh. Korban tentu akan semakin takut untuk melaporkan kasusnya. Karena itulah, banyak korban yang memilih berbicara di media sosial dibanding langsung melaporkannya. Apalagi, banyak peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa korban baru berani bicara ke publik setelah berhasil mengatasi trauma selepas kekerasan terjadi.
Baca Juga: Ini Dia Jenis-Jenis Pelecehan Seksual yang Perlu Kamu Tahu
ASAL MULA ISTILAH DARVO
Foto:Getty Images
Melansir dari SBS , istilah DARVO pada awalnya dikonsepkan oleh Jennifer J. Freyd. Ia mempublikasikan artikelnya pada 1997 tentang teori trauma pengkhianatan.
Dalam artikelnya tertulis bahwa DARVO mengacu pada reaksi para pelaku kejahatan saat telah melakukan kesalahan, khususnya pelaku kekerasan seksual. Oleh karena itu, dapat dikatakan DARVO digunakan pelaku untuk melindungi diri dan tidak mau mengakui kesalahan.
Jennifer juga menjelaskan bahwa melalui teknik ini pelaku bisa menyangkal pernyataan korban perilakunya, menyerang individu yang memberikan kesaksian, dan membalikkan peran antara pelaku dan korban. Dengan taktik terakhir, pelaku seolah-olah akan berperan sebagai "korban".
SAYANGNYA, STRATEGI DARVO EFEKTIF
Foto: Shutterstock
Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2017, Jennifer dan timnya juga menunjukkan bahwa korban yang terkena DARVO lebih cenderung merasa menyalahkan diri sendiri pada akhir wawancara. Penelitiannya pada 2020 juga menunjukkan bahwa orang-orang yang disajikan dengan laporan pelecehan diikuti oleh aksi DARVO, cenderung tidak mempercayai korban.
Melansir dari SBS, terdapat gagasan tentang himpati, yaitu istilah yang diciptakan oleh Filsuf Kate Manne dalam bukunya "Down Girl: The Logic of Misogyny". Himpati adalah simpati yang berlebihan kepada pelaku kekerasan seksual. Apabila dilakukan, pelaku akan semakin dilindungi keberadaannya dan korban terus diserang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda